Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI titik tertinggi Pulau Nusa Penida, Bali, sembilan kincir itu berdiri. Bukit Puncak Mundi—setinggi 500 meter—menyajikan pemandangan ciamik ke segala penjuru: dari Samudra Indonesia di selatan, Pulau Lombok di timur, hingga Gunung Agung, gunung tertinggi Bali, di utara. Pembangkit listrik tenaga bayu menjulang 30 meter dengan baling-baling tiga sirip bergaris tengah 18 meter, terlihat gagah dari kejauhan.
Tapi kesan itu mendadak luntur saat Tempo mendekat. Karat menggerus tiang-tiang besinya. Rumput tumbuh liar menghalangi pandangan, membuatnya cocok jadi tempat mojok. Sepasang remaja yang lagi asyik indehoi langsung ngacir saat Tempo menghampiri. Parahnya, hanya dua kincir yang beroperasi. Tujuh lainnya mulai sering ngadat pada akhir 2009 dan mogok total sejak pertengahan tahun lalu. Pengelola tidak tahu pasti penyebab kerusakan itu.
"Mungkin karena digunakan paralel dengan PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel)," kata I Wayan Rumawan, anggota staf distribusi Perusahaan Listrik Negara bagian Bali, kepada Tempo dua pekan lalu. Pasokan listrik di Kepulauan Nusa—terdiri atas Nusa Penida, Nusa Ceningan, dan Nusa Lembongan—bertumpu pada 14 PLTD di Desa Kutampi dan Jungut Batu. Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) berfungsi sebagai tenaga pendukung. Operator PLTB, I Nengah Tika, mengatakan perbaikan tidak bisa segera dilakukan karena menunggu komponen datang dari Jakarta. Beberapa suku cadang malah kudu diimpor dari Cina. Pengelola belum mendapat kepastian kapan barang-barang itu tiba.
Si Bayu ibarat layu sebelum berkembang. Pembangkit seharga Rp 3 miliar per unit ini baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada November 2007, sebulan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim. Saat itu kincir angin jadi simbol sumber energi alternatif dari bahan yang terbarukan—menggantikan bahan bakar fosil yang menipis dan harganya terus naik.
Kepala PLN Nusa Penida, Abraham Haurrisa, menilai Puncak Mundi merupakan lokasi tepat karena angin terus berembus dari lautan lepas. Jika semuanya beroperasi, pembangkit itu mampu menghasilkan 700 kilowatt, dua kali lebih tinggi daripada PLTD Jungut Batu—yang cuma 300 kilowatt.
Jauh panggang dari api. Di samping banyak yang mangkrak, dua unit yang masih berputar pun tidak selalu mampu menggenjot setrum. Sistem generator menerapkan syarat minimal angin tiga meter per detik untuk menghasilkan satu kilowatt. Sayangnya, angin di Puncak Mundi tidak melulu berlari secepat itu, sehingga putaran kincir sering sonder hasil. "Puncak embusan angin biasanya datang di pertengahan tahun, yakni Juli dan Agustus," kata Tika.
Itu bukan berarti proyek ini sia-sia. Warga Banjar Rata, Desa Klumpu, Nusa Penida, ini menikmati pembangkit tenaga diesel di Desa Kutampi sejak lima tahun lalu. Namun, sebelum PLTB berfungsi, lampu masih sering byar-pet dan mati di malam hari. "Sekarang lebih stabil," ujar I Nyoman Sudara, 32 tahun, warga banjar tersebut. Namun sekadar penstabil tegangan tidak memberikan ponten biru untuk proyek senilai Rp 27 miliar itu. "Terlalu mahal dan banyak yang rusak," ujar Ngurah Alit, 30 tahun, warga Desa Tanglad, sekitar 10 kilometer dari PLTB.
Sampai tulisan ini diturunkan, tujuh dari sembilan kincir itu masih mati suri. Pengelola tidak menjadikan perbaikan sebagai agenda utama. Rumawan mengatakan PLN lebih berfokus memasok listrik dengan diesel, sembari menyiapkan kabel bawah laut dari Bali ke Nusa Penida.
Toh, seperti disampaikan Abraham, PLTB cuma berperan sebagai pemain cadangan. Sedangkan pemain utama, PLTD, berdiri kokoh dengan daya 3.730 kilowatt, surplus 1.570 kilowatt dari puncak beban di Kepulauan Nusa. Si Bayu masih harus menunggu lebih lama, entah sampai kapan, agar bisa kembali bermain angin di Puncak Mundi.
Reza Maulana, Wayan Agus (Nusa Penida)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo