Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kamus baru, bukan baru kamus

Jakarta : departemen p dan k, balai pustaka, 1988 resensi oleh : slamet djabarudi.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA Penerbit: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1.090 balaman, 1988 SELAMA lebih dari 30 tahun, dunia "perkamusan" bahasa Indonesia "dikuasai" oleh kamus umum susunan W.J.S. Poerwadarminta. Disusul kemudian dengan kamus susunan Sutan Mohamad Zain dan juga Soewojo Wojowasito. Mereka -- yang pekan lalu memperoleh Penghargaan Kebahasaan -- dari Departemen P & K, memang bisa disebut "Bapak Kamus Indonesia". Kini, 36 tahun setelah kamus Poerwadarminta terbit, barulah lahir Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ini memang kamus baru. Namun, bisakah ia disebut "ini baru kamus"? Tampaknya, belum. Tetapi jelas ia merupakan langkah awal yang baik dalam kegiatan pembakuan bahasa Indonesia. Terbitan perdana kamus ini berisi 62.100 butir masukan, termasuk ungkapan, dilengkapi dengan lampiran Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Pelengkap lain berupa Aksara Daerah, Aksara Asing Singkatan dan Akronim, Nama Geografi, Mata Uang, Sukatan dan Timbangan, serta Tanda dan Lambang. Sumber utama kamus ini adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwardarminta (1976), Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (1983), Kamus Modern Bahasa Indonesia Sutan Mohamad Zain (tanpa tahun), dan Kamus Umum Indonesia E. St. Harahap (1951), kamus bidang ilmu, buku pelajaran, dan berbagai media massa cetak. Kata Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Prof. Dr. Anton M. Moeliono, karena namanya kamus besar, bukan kamus baku, kamus ini menampung kata-kata yang ada di dalam masyarakat yang bermakna baik maupun yang buruk. Dalam masalah penyerapan kata asing, penyusunan kamus ini menghadapi sejumlah persoalan. Ketika ia mulai memimpin Pusat Bahasa, terdapat kecenderungan menyerap kata-kata asing dengan penulisan yang tidak terlalu jauh dari ejaan asli bahasa asing itu. Misalnya kata object dan subject diserap menjadi objek dan subjek, seperti yang tercantum di kamus tahun 1983, sedangkan Anton sudah terbiasa dengan obyek dan subyek. Maka baik objek dan subjek maupun obyek dan subyek dimasukkan ke dalam kamus besar ini. Hal lain yang berbeda dengan kamus 1983 adalah hilangnya penyukuan kata pada kamus 1988 ini. Tindakan itu diambil karena terdapat kesulitan menyukukan kata-kata serapan, misalnya kata biografi. Menurut Anton, kita belum dapat menentukan apakah penyukuannya menjadi bi-og-ra-fi atau bi-og-raf-i. Kalau bi-og-raf-i yang diambil, akan timbul soal apakah i itu sebagai afiks karena kita punya kata bi-og-raf. Bahkan mengeja kata bagaimana menimbulkan soal apakah ejaannya ba-ga-i-ma-na atau bagai-ma-na. Sayang, penjelasan ini tidak dicantumkan dalam kamus ini. Dibandingkan dengan kamus Poerwardarminta, kamus ini berbeda dalam hal pencantuman tanda salib. Dalam kamus terdahulu, tanda itu dipasang untuk menyatakan bahwa kata yang bersangkutan disangsikan, jarang dipakai, sudah usang atau mati, dan hanya hidup sejenak lalu tenggelam. Karena generalisasinya seperti itu, Anton khawatir orang takut menggunakan kata yang bersalib, sehingga kata-kata itu bakal mati. Padahal, kalau dilepaskan begitu saja, kata-kata itu mungkin dipakai orang dan bahkan mungkin bisa produktif. Maka, kamus ini tidak lagi diberi salib. Beleid mengeja kata serapan tampak berubah mulai kamus 1983. Misalnya kata praktek pada kamus Poerwadarminta diubah menjadi praktik, dengan pertimbangan mendekati ejaan bahasa sumber dan sejalan dengan bentukan lain praktikum, praktis, dan kepraktisan. Dalam lema (entri) kamus baru ini yang muncul tetap praktik walaupun dalam prakteknya hampir tidak ada dokter yang menuliskan jam praktik. Kamus ini berani memasang dekret tanpa memberi alternatif dekrit, yang sudah memasyarakat. Keberanian lain yang ditunjukkan kamus ini ialah penulisan kota madia sedangkan secara resmi ejaannya adalah kotamadya. Kamus ini mengeja Sumatra, sedangkan Sumatera digunakan secara resmi oleh segenap provinsi di pulau itu. Ada kebimbangan dalam menulis nama lembaga. Untuk nama organisasi kepramukaan, terdapat ejan Kuarcab, Kuarda, Kuarnas sedangkan nama resminya Kwarcab, Kwarda, Kwarnas. Namun. untuk Badan Koordinasi Survey dan Pemetaaan Nasional, tidak ada perubahan menjadi Survai seperti tertulis di lema. Terdapat nama Nerlandia sebagai alternatif Belanda dan Olanda. Juga ada Sailan, selain Srilanka dan Srilangka. Namun, tidak semua negara ditemukan dalam lema. Ejaan yang tampak baru adalah Kampucia, Uruguai, dan Paraguai. Dalam penyerapan kata asing dan daerah tampak hal-hal yang kurang taat asas. Kristal setelah berafiks menjadi meng-kristal sedangkan kritik menjadi mengritik. Menentukan suatu kata sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia atau belum ini agak sulit. Dan itu tampak pada kata tatag (tabah). Kata-kata lain, seperti beduk, budek, mandek sudah berakhir dengan k, bukan lagi g. Anton mengakui bahwa ia belum dapat benar-benar taat asas. Sebagai kamus besar, kamus ini agak kurang menampung kata-kata yang sudah populer. Tidak ada gule, yang ada gulai, dan asem dalam sayur asem pun tiada. Kata habitat dan hablur tidak kita temukan di sini. Adanya pelengkap di bagian belakang kamus sangat membantu pemakainya. Misalnya akronim. Hanya saja, kurang jelas kriteria pemilihannya dan cara menulisnya. Peruri masuk tetapi Perumnas tidak. Tertulis brigjen dengan b kecil sedangkan mayjen dengan M. Dengan perbaikan kriteria, penertiban penulisan, dan peningkatan ketaatasasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ini bisa tampil sebagai rujukan yang mantap. Slamet Djabarudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus