Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hadji Agus Salim the Grand Old Man menjadi buku terbaru yang mengisahkan biografi Agus Salim.
Buku terbitan Yayasan Hadji Agus Salim ini berisi tulisan 22 tokoh besar tentang Agus Salim, termasuk karya Bung Hatta dan A.R. Baswedan.
Agus Salim mengubah pandangan para diplomat dan politikus Amerika tentang Indonesia yang bukan komunis.
MISI diplomatik itu hampir gagal. Tiba di Kairo, Mesir, pada Maret 1947, Republik Indonesia yang baru seumur jagung hendak memperoleh pengakuan resmi negara lain sebagai syarat pembentukan negara setelah adanya penduduk, wilayah, dan pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delegasi itu dipimpin Haji Agus Salim, H.M. Rasjidi, A.R. Baswedan, dan Nazir Pamuntjak. Mereka ingin menemui Perdana Menteri Mesir Mahmoud El Nokrashy Pasha yang sebelumnya telah mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto. Namun, hingga hampir tiga bulan berselang, pintu tak kunjung terbuka. Para diplomat ini sampai hidup terkatung-katung di Kairo. Mereka menumpang dari kediaman satu pelajar Indonesia ke pelajar lain. Tak tahan menunggu lebih lama, Agus Salim menyurati El Nokrashy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya ingin memberitahu Anda dari lubuk hati saya yang terdalam. Tolong mengerti, kami tidak datang ke Kairo untuk mohon pengakuan. Tidak! Kami datang untuk menghargai bantuan dari orang-orang yang juga merasakan pahitnya kolonialisme.
Uluran tangan dari sesama muslim yang telah menjadi saudara di negara kami sejak ratusan tahun lalu, dalam iman dan kemanusiaan di bawah Allah. Jadi, jika ada kemungkinan uluran tangan Anda menyebabkan Anda menderita atau menyebabkan kemalangan politik Anda, kami akan memahaminya. Dan itu tidak akan mengubah hubungan di antara kita.
Tetapi itu akan mengubah nasib banyak negara di bawah kolonialisme yang akan terus menderita. Karena itu, saya ingin dengan rendah hati mengingatkan Anda sebagai sesama muslim, dampak dari keputusan Anda untuk negara Anda, yang memiliki ribuan tahun peradaban besar, dan untuk setiap muslim di seluruh dunia yang diperintahkan selalu siap membantu sesama muslim dalam iman, apa pun taruhannya."
Usut punya usut, pertemuan Mesir-Indonesia dihambat Belanda. Negara kolonialis ini mengatakan pengakuan kedaulatan bagi Indonesia akan merusak hubungan Belanda-Mesir. Namun surat itu meluluhkan hati El Nokrashy. Pada 10 Juni 1947, berlangsung penandatanganan perjanjian persahabatan antara Indonesia dan Mesir.
Negeri Piramida itu menjadi negara pertama yang secara de jure mengakui kemerdekaan Indonesia. Berikutnya, Suriah, Libanon, dan Vatikan memberikan dukungan serupa. Pengakuan kedaulatan ini melengkapi pengakuan de facto pertama yang hadir dari Palestina, setahun sebelum proklamasi kemerdekaan.
Penggalan perjuangan diplomasi itu dimuat dalam Hadji Agus Salim the Grand Old Man: Jurnalis, Ulama, Diplomat yang dirilis di kampus Universitas YARSI, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 30 November 2024. Buku terbitan Yayasan Hadji Agus Salim itu memuat tulisan karya 22 tokoh besar, termasuk Bung Hatta dan A.R. Baswedan. Seperti judulnya, tulisan-tulisan ini menyoroti peran Agus Salim dari berbagai sisi. Dari ulama moderat, jurnalis yang kritis, perintis diplomasi Indonesia, hingga negarawan yang oleh Bung Karno dijuluki The Grand Old Man alias Sang Sesepuh Agung.
(dari kiri) Aktivis Hariman Siregar, Rektor Universitas YARSI Jakarta Fasli Jalal, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak periode 2004-2009, Meutia Hatta dan Guru besar Universitas Indonesia, Emil Salim hadir dalam diskusi buku "Hadji Agus Salim, The Grand Old Man: Jurnalis, Ulama, Diplomat" di Universitas YARSI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 November 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884, orang tuanya, Sutan Mohamad Salim dan Siti Zainab, menamainya Masjhoedoel Haq yang berarti pembela kebenaran. Pada masa kecil, pengasuhnya yang berasal dari Jawa memanggilnya Den Bagus—panggilan hormat untuk anak laki-laki. Nama Agus Salim pun melekat hingga dewasa.
Agus Salim adalah anak jenius yang menguasai banyak bahasa, termasuk Belanda, Inggris, dan Arab, serta bahasa Minang, Jawa, dan Melayu. Dia menjadi lulusan terbaik Koning Willem III di Batavia, sekolah lanjutan yang hanya diperuntukkan bagi anak Belanda dan bangsawan. Nilainya juga mengalahkan lulusan sekolah serupa di Semarang, Jawa Tengah; dan Surabaya, Jawa Timur. Kegagalan mendapat beasiswa sekolah dokter di Belanda mengubah hidupnya. Dia meninggalkan studinya di Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera atau STOVIA—kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pusat—untuk bekerja sebagai sekretaris penerjemah Konsul Belanda di Jeddah, Arab Saudi.
Selain melayani jemaah haji dari Tanah Air, dia memperdalam ilmu agama dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama asal Koto Tuo, Sumatera Barat, yang menjadi imam besar Masjidil Haram. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari, dan pembangun Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, juga berguru kepada Al-Minangkabawi.
Setelah lima tahun di Tanah Suci, Agus Salim kembali ke Tanah Air dan bergerak di dunia jurnalistik. Dia menjadi wakil redaktur di koran Neratja. Dia mengundurkan diri saat pemilik perusahaan penerbitan itu memintanya berhenti menulis kritik kepada pemerintah kolonial. Di periode yang sama, Agus Salim menikahi Zainatun Nahar pada 1912. Pasangan ini dikaruniai sepuluh anak—dua di antaranya meninggal saat bayi.
Penulis Belanda, Jef Last, menceritakan perkenalan pertamanya dengan Agus Salim pada 1929. Saat itu, Agus Salim datang ke Belanda memenuhi undangan Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP). Last menyebutnya sebagai orang yang punya prinsip dan nilai religius yang kuat. Sang tamu tidak segan berbicara tentang Islam di tengah para politikus Eropa yang berpaham Marxisme. "Kami semua mempunyai kesan telah bertemu dengan seorang yang sungguh bijaksana dan luhur budi pekertinya," kata Last dikutip dari Hadji Agus Salim the Grand Old Man halaman 108.
Setelah lama aktif sebagai pengurus Sarekat Islam, Agus Salim bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dari 67 anggota, dia termasuk yang mewakili kelompok Islam. Agus Salim tergabung dalam Panitia Sembilan pimpinan Bung Karno yang bertugas merumuskan dasar negara. Mereka melahirkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Agus Salim dan Bung Karno menjadi penengah perdebatan panas soal frasa "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Dua bulan setelah kemerdekaan, Agus Salim mendapat tugas diplomatik perdananya, yaitu sebagai wakil republik dalam perundingan pendahuluan Indonesia-Belanda di Jakarta pada 25 Oktober 1945, saat Belanda ingin kembali ke Indonesia. Saat itu, Agus Salim menyatakan Belanda tidak lagi punya dasar kekuasaan atas Hindia Belanda karena telah kalah oleh Jepang pada 1942.
Soedjatmoko (kiri) bersama Sjahrir, Haji Agus Salim, Soemitro Djojohadikusumo di markas PBB, pada 1947. Dok. Keluarga
Perjuangan Agus Salim lewat jalur diplomatik membawa perhatian dunia ke Indonesia. Misalnya, pada 10 Agustus 1947, bersama Sutan Sjahrir dan Sumitro Djojohadikusumo—ayah Presiden Prabowo Subianto, Agus Salim menyuarakan protes Indonesia atas Agresi Militer Belanda I dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, di New York. Tekanan internasional seperti ini pada akhirnya memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949.
Lebih dari satu dekade setelah berpulang pada 4 November 1954 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, H. Agus Salim terus mendorong negara-negara sahabat membantu Indonesia lewat pemikiran-pemikirannya. Fakta ini dikisahkan Emil Salim. Menurut ekonom sekaligus begawan lingkungan ini, krisis multidimensi bisa menghancurkan Indonesia pada 1960-an sehingga membutuhkan bantuan asing. Kekuatan ekonomi saat itu dipegang Amerika Serikat. Masalahnya, pemerintah Orde Lama memusuhi Barat dengan jargon "Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis" dan sebagainya.
Menurut Emil, yang tak lain keponakan Agus Salim, ada jasa Sang Sesepuh Agung dalam perubahan pandangan Amerika Serikat terhadap Indonesia. Melunaknya sikap Washington tak lepas dari pendekatan sejumlah akademikus yang digalang oleh George Kahin dari Cornell University, New York. Guru besar ilmu politik penentang perang Vietnam itu meyakinkan pemerintahnya bahwa Indonesia mendekati blok komunis semata-mata untuk menegakkan kedaulatannya sebagai negara merdeka. "Dari mana saya yakin Indonesia bukan negara komunis? Ya, dari pamanmu," kata Emil, mengulang ucapan Kahin sekian dekade lalu.
Cornell University mengundang Agus Salim untuk mengisi kuliah tentang keislaman pada 1953. Kahin kerap membawakan tas sang tamu, juga menyiapkan rokok kreteknya. Saat petang, dia mendampingi orang tua itu menikmati teh. Dari obrolan-obrolan itu, Kahin yakin Indonesia berhaluan nasionalis, bukan komunis. "Cerita ini belum ada di mana pun," kata Emil Salim.
Agustanzil Sjahroezah, Ketua Dewan Pembina Yayasan Hadji Agus Salim, mengatakan Hadji Agus Salim the Grand Old Man diterbitkan agar orang tidak melupakan jasa pahlawan nasional tersebut. Saat ini, dari wawancaranya dengan sejumlah orang dari generasi Z, hampir semua tidak mengenal Agus Salim.
Sebelumnya, ada setidaknya 20 buku yang mengisahkan kakeknya itu. Dari Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional terbitan 1965 hingga Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik yang dirilis pada 2013. Semuanya tak lagi dijual di toko-toko buku besar.
Agustanzil mengatakan penerbit besar relatif tak antusias saat ditawari menerbitkan The Grand Old Man. Karena itu, keluarga memilih mencetak dan menyebarkannya secara independen. Untuk tahap awal, mereka mencetak 200 eksemplar yang ludes pada hari peluncuran. Mereka yang tak kebagian bisa memesan secara online pada pencetakan berikutnya, sebanyak 800 eksemplar. "Kalau habis lagi, baru kami cetak lagi," kata Agustanzil.
Buku kumpulan tulisan tentang pelopor kemerdekaan Agus Salim berjudul, "Hadji Agus Salim, The Grand Old Man: Jurnalis, Ulama, Diplomat", di Jakarta, 1 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Pengoleksi buku-buku Agus Salim, Muhammad Ali, mengatakan buku tentang tokoh bangsa tidak wajib menghadirkan sesuatu yang baru. Sebab, subyek utamanya telah lama berpulang dan telah banyak buku yang mengulasnya. "Yang lebih penting, penyajiannya," ujar Ali, 33 tahun.
Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor yang menjadi pengusaha bahan bangunan di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, itu tertarik pada Agus Salim setelah membaca Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik. Buku yang dicetak dari laporan khusus majalah Tempo edisi 17 Agustus 2013 ini, Ali melanjutkan, tidak lebih lengkap ketimbang terbitan-terbitan terdahulu, bahkan jauh lebih tipis. "Tapi paling meninggalkan kesan," katanya.
Sayangnya, semua kitab tentang Agus Salim tak lagi tersedia di toko-toko buku besar. Hanya ada di penjual perorangan di pasar online. Ali berharap buku terbaru, Hadji Agus Salim the Grand Old Man, bisa menjangkau pasar yang lebih luas sehingga lebih banyak orang mengenal pahlawan nasional tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Reza Maulana berkontribusi dalam penulisan artikel ini