Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Melihat Goenawan dari Aneka Kacamata

Komunitas Utan Kayu meluncurkan buku berjudul Membaca Goenawan Mohamad pada Kamis lalu. Buku setebal 453 halaman itu memuat 16 pandangan tokoh tentang pemikiran dan karya Goenawan Mohamad.

1 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sembari memetik gitar akustik, Ayu Utami menyanyikan sejumlah lagu di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, Kamis lalu. Lagu-lagu itu merupakan musikalisasi dari kumpulan puisi dan sajak ciptaan Goenawan Mohamad, sastrawan sekaligus pendiri majalah Tempo. 

Penampilan perempuan berusia 54 tahun itu merupakan bagian dari acara peluncuran buku Membaca Goenawan Mohamad. Ayu Utami adalah salah satu penulis sekaligus penyunting buku itu. 

Menurut Ayu Utami, lantunan lagu bisa menjadi salah satu cara untuk menikmati dan menyelami puisi-puisi karya Goenawan Mohamad. Bahkan ia mengaku sedang menyiapkan beberapa lagu berbekal sejumlah puisi bikinan Mas Goen, begitu ia menyapa Goenawan Mohamad. 

Deretan puisi tersebut, antara lain, Sajak Anak-anak Mati (1973), Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi (1966), Dingin Tak Tercatat pada Termometer (1971), dan Lagu Pekerja Malam (1962). Menurut Ayu Utami, puisi Goenawan Mohamad selama ini sekadar dikagumi. "Tidak banyak yang sampai menggalinya secara dalam," katanya. 

Lewat lagu pula, ia berharap puisi-puisi Goenawan Mohamad bisa masuk ke telinga anak muda. Secara garis besar, buku Membaca Goenawan Mohamad punya misi yang sama, yakni menggaungkan pemikiran pria yang kini berusia 81 tahun itu. 

Bedanya, Ayu Utami dan para penulis lainnya menyajikan respons mereka atas karya dan pemikiran Goenawan Mohamad yang tertuang dalam berbagai media, seperti puisi, novel, karya seni rupa, tulisan Catatan Pinggir di majalah Tempo, hingga ke ranah gerakan sosial. "Kami ingin melakukan pembacaan yang serius dan kritis terhadap pemikiran Mas Goen," tutur Ayu Utami.

Ayu mencontohkan, novel Goenawan Mohamad sudah diakui kualitasnya oleh pembaca. Namun itu semua sebatas pengakuan kehebatan. Amat sedikit pembaca yang mengkaji dan menyelami makna dari novel tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis Ayu Utami menyanyikan lagu dari kumpulan puisi dan sajak ciptaan Goenawan Mohamad dalam peluncuran buku Membaca Goenawan Mohamad di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, 29 Desember 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, Ayu Utami mengatakan penerbitan buku Membaca Goenawan Mohamad bertujuan untuk menumbuhkan tradisi pembacaan sejarah intelektual di Indonesia. Di luar negeri sudah lazim membaca pemikiran-pemikiran tokoh penting terdahulu secara gamblang dan kritis. "Kalau di sini (Indonesia), kalaupun ada, biasanya dilakukan dengan puja-puji, bukan bicara secara kritis."

Penulis lain dalam buku itu, Agus Sudibyo, menyebut Goenawan Mohamad tak bisa lepas dari Tempo. Sikap dan kritik Goenawan teramat melekat pada media yang ia dirikan itu. Goenawan menjadikan aktivisme dan independensi sebagai titik tolak menjalankan organisasi media serta profesi wartawan Tempo.

Goenawan mengajarkan bahwa kebebasan pers bukan sekadar urusan kebebasan mendirikan media dan mewartakan peristiwa. Kebebasan pers adalah sarana mewujudkan nilai yang lebih tinggi. "Katakanlah kemanusiaan dan keadilan," demikian anggota Dewan Pers periode 2019-2022 itu menulis dalam buku tersebut. 

Bersama Tempo, Goenawan Mohamad melawan rezim otoriter Orde Baru. Keduanya mengemuka sebagai episentrum perjuangan politik untuk menumbangkan rezim Orde Baru. Agus mengatakan banyak orang yang mempertanyakan asas netralitas media pada Tempo kala itu.

Namun, menurut Agus, dalam situasi darurat saat itu, di mana terjadi pembagian kekuatan yang tak seimbang, Tempo dan GM memainkan peran penting. Keduanya berpihak kepada gerakan pro-demokrasi. 

Setelah reformasi, Tempo tetap memainkan peran sebagai aktivisme jurnalistik dengan tetap kritis demi membela demokrasi. Sikap Tempo merupakan cerminan sikap politik Goenawan Mohamad. Menurut Agus, Goenawan mengajarkan penggunaan akal sehat dan sikap kritis dalam berpolitik.

Pada Pemilu 2019, GM mengaku dirinya sebagai pendukung Joko Widodo. Namun ia tak mau menjadi tameng atas kritisisme publik terhadap Jokowi. "GM ibaratnya adalah soft supporter yang sewaktu-waktu juga siap menyampaikan kritik terhadap Jokowi," demikian Agus menulis. 

Adapun Setyo Wibowo, dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, mencatat sikap Goenawan Mohamad yang yakin pada demokrasi tampak kental dalam tulisan-tulisannya pada 2009 ke atas. Rezim reformasi, dengan kebebasan dan demokrasi yang mapan di Indonesia sejak 1998, disadari mulai mentok. 

Walhasil, Goenawan mencoba mencari terobosan untuk menghindari kutukan "kurva lonceng" pada reformasi Indonesia. Goenawan teramat galau demokrasi di era reformasi menurun, bahkan kembali ke titik nadir sebelum reformasi itu muncul. 

GM pun membaca pemikiran sejumlah filsuf, seperti Ernesto Laclau, Alain Badiou, dan Jacques Ranciere, hingga ilmuwan politik asal Belgia, Chantal Mouffe. Dari merekalah, Goenawan menemukan gairah baru berdemokrasi. 

Buku Membaca Goenawan Mohamad di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, 29 Desember 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis



Filsuf kontemporer Ranciere menjadi salah satu yang mengilhami Goenawan Mohamad menulis buku Demokrasi dan Kekecewaan pada 2009. Menurut Ranciere, runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an membuat paham demokrasi menjadi pemenang mutlak. Namun hilangnya paham musuh membuat unsur-unsur internal yang semula menjadi penopang kokohnya demokrasi liberal menjadi tampak saling cekcok sendiri. 

Saat itulah demokrasi menunjukkan dirinya sebagai sistem yang penuh kekurangan. Di satu sisi, pada oligarki, utamanya kekuatan ekonomi dan keuangan, makin melebarkan cengkeramannya. "Di sisi lain, demokrasi yang prinsipnya 'kekuasaan bagi siapa saja' makin tampak sebagai oposisi tak bertaring di depan para oligarki," kata Setyo Wibowo dalam tulisannya. 

Adapun Rizal Mallarangeng menyebut Goenawan Mohamad sebagai seorang pemikir yang punya fondasi lengkap. Menurut Rizal, GM dan seperti tokoh bangsa lainnya tumbuh dengan tradisi marxisme. Marxisme bagai pedang bermata dua, yakni membuat orang kreatif, tapi juga bisa mengungkung. "Tapi Goenawan berhasil keluar dari tradisi itu," demikian Rizal menulis.

Menurut Rizal, solidaritas sosial menjadi sisi marxisme yang paling kentara dari sosok Goenawan. Meski begitu, ia juga dianggap sosok yang liberal. Sebab, pada dasarnya, GM sangat percaya dengan kebebasan, baik secara eksplisit maupun implisit.

Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, pada 1941. Kecintaannya terhadap puisi bermula sejak duduk di sekolah dasar. Dia kerap mendengarkan acara puisi yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI). Menginjak usia 19 tahun, Goenawan Mohamad menggubah puisi penyair wanita Amerika Serikat, Emily Dickinson, ke dalam bahasa Indonesia.

Setamat dari sekolah menengah atas, Goenawan Mohamad melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Indonesia. Dia mengambil kuliah di Fakultas Psikologi. Nama Goenawan Mohamad mulai dikenal di kalangan intelektual pada 1960-an. Menjelang keruntuhan Orde Lama, bersama rekan-rekannya, antara lain Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan H.B. Jassin, dia ikut menyusun Manifesto Kebudayaan pada 1964.

Presiden Sukarno melarang Manifesto Kebudayaan karena dianggap menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik 1964. Dampaknya, Goenawan Mohamad yang ikut menandatangani pernyataan sikap itu dilarang menulis di berbagai media umum. 

Setelah Orde Lama berakhir, Goenawan Mohamad seolah-olah menyingkir. Dia menuntut ilmu ke College of Europe, Belgia. Sepulang dari Eropa, Goenawan Mohamad sempat menjadi wartawan dan redaktur harian KAMI pada 1969-1970. Ia pernah pula menjadi redaktur majalah Horison pada 1969-1974, serta turut mendirikan majalah Ekspres dan menjadi pemimpin redaksi pada 1970-1971. Selanjutnya, ia mendirikan Tempo.

Untuk aktivitasnya di dunia jurnalistik, GM dianugerahi sejumlah penghargaan, seperti Louis M. Lyons for Conscience and Integrity in Journalism dari Universitas Harvard Nieman Fellowship pada 1997. Ia juga memperoleh Penghargaan Kebebasan Pers Internasional dari Committee to Protect Journalists pada 1998. Tak lupa, penghargaan Editor of the Year dari World Press Review pada 1999.

Sementara itu, untuk dunia sastra, Goenawan Mohamad telah menerbitkan banyak buku, antara lain Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972); Seks, Sastra, Kita (1980); Kesusastraan dan Kekuasaan (1993); Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001); Kata, Waktu (2001); Eksotopi (2003); serta Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai (2007). Sedangkan untuk puisi, dia kumpulkan dalam bukunya berjudul Pariksit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001), Don Quixote (2011), Tujuh Puluh Puisi (2011), dan Fragmen, Sajak-Sajak Baru (2017).

Goenawan Mohamad menulis naskah drama, antara lain Wisanggeni (1995) dan Alap-alapan Surtikanti (2002), serta drama tari Panji Sepuh. Belakangan ia juga giat melukis. Sejumlah lukisan dan seni rupa lain karyanya pernah tersaji dalam pameran tunggal.

INDRA WIJAYA

Judul: Membaca Goenawan Mohamad
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal: 453 halaman
Penyunting: Ayu Utami
Penulis: 
1. Setyo Wibowo (dosen STF Driyarkara)
2. Agus Sudibyo (Ketua Komisi Hubungan Antar-Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers periode 2019-2022)
3. Andy Budiman (pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman dan salah satu Ketua AJI periode 2006-2010)
4. Ayu Utami (Direktur Literature and Ideas Festival)
5. Bambang Sugiharto (pengajar di Unpar, Pascasarjana FSRD ITB, dan UIN Sunan Gunung Djati)
6. Donny Danardono (pengajar di Program Studi Ilmu Hukum serta Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang)
7. Fitzerald Kennedy Sitorus (dosen ilmu filsafat di Universitas Pelita Harapan, Tangerang)
8. Martin Suryajaya (penulis asal Semarang yang mendapat beberapa penghargaan)
9. Ni Made Purnama Sari (anggota tim bidang program di Bentara Budaya)
10. Nirwan Dewanto (sastrawan, editor, dan kurator seni)
11. Rizal Mallarangeng (pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Freedom Institute)
12. Sri Indiyastutik (Direktur Fundraising di YAPPIKA-ActionAid)
13. Triyanto Triwikromo (sastrawan dan dosen penulisan kreatif)
14. Ulil Abshar-Abdalla (penulis dan pemikir muslim)
15. Y.D. Anugrahbayu (penerjemah)
16. Yulius Tandyanto (penekun filsafat secara akademis)

Catatan: Artikel ini telah diperbarui pada pukul 14.30, Rabu, 11 Januari 2023, dengan merevisi dan menambahkan informasi baru dari narasumber.  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus