Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bunga rampai orang yang tertindas

Karya : george orwell jakarta : a. setiawan abadi dan masri maris jakarta : yayasan obor indonesi, 1990 resensi oleh : leila s. chudori.

16 Maret 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA YANG TERTINDAS -- Kumpulan Esei Karya: George Orwell Penerjemah: A. Setiawan Abadi dan Masri Maris Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1990, 204 halaman APA perbedaan antara wartawan dan sastrawan? Sambil tertawa seseorang akan menjawab, wartawan menulis berdasarkan fakta, sedangkan sastrawan menulis berdasarkan imajinasi. Itu tak salah. Namun, bagi George Orwell, penulis Inggris terkenal itu, ada persamaan mendasar antara keduanya, yakni mencoba menulis jujur. Keduanya membutuhkan kebebasan berekspresi. Orwell menulis esei berjudul The Prevention of Literature (Pencegahan terhadap Kesusastraan) ini dengan nada menggebu-gebu. Ditulis tahun 1946 -- dua tahun sebelum ia menulis novel 1984 yang monumental itu -- esei ini digabung dengan esei-esei lainnya menjadi The Collected Essays, Journalism and Letters of George Orwell yang terdiri dari empat bab. Penerbit Yayasan Obor Indonesia kemudian menerjemahkan 17 esei itu dengan judul Mereka yang Tertindas. Dana penerjemahan sebagian datang dari British Council, dan sisanya ditanggung penerbitnya sendiri. "Maklum, di negara-negara Eropa, hak cipta pengarang sangat dihargai. Jadi, biaya menerbitkan terjemahan ini sangat mahal," kata Mochtar Lubis dari Yayasan Obor Indonesia tanpa menyebutkan angkanya. Tujuh belas esei yang diterjemahkan oleh Achmad Setiawan Abadi dan Masri Maris ini adalah catatan pemikiran Orwell yang kritis, dan jujur tentang orang-orang yang tertindas. Orwell, lahir di Bengal, India, 1903, dengan nama Eric Blair, memang orang yang sangat dekat dengan kemiskinan dan penderitaan. Ia sendiri datang dari keluarga kelas menengah Inggris dan bahkan sempat mengecap pendidikan di Eton -- sebuah sekolah paling mahal dan snob. Namun, pengalamannya bergabung dengan Kepolisian Imperial India membuat ia sadar betapa kejamnya imperialisme, seperti yang diakuinya sendiri dalam Preface to the Ukrainian Edition of Animal Farm. Di dalam esei ini, Orwell bercerita tentang mengapa ia menaruh perhatian besar kepada orang-orang yang dijajah, baik oleh bangsa lain maupun oleh bangsanya sendiri, seperti yang terjadi di Spanyol ketika dikuasai komunis. Orwell dan istrinya merasakan sepak terjang "orang yang tertindas" itu ketika mereka diburu oleh kaum komunis. Pada suatu hari, Orwell melihat seorang anak laki-laki yang mengendarai pedati yang ditarik kuda. Anak itu memecut kudanya setiap kali binatang itu mencoba belok. "Hal ini mengesankan bagi saya bahwa seandainya saja binatang seperti itu menyadari kekuatannya, maka kita tak akan punya kekuatan di atasnya. Manusia telah mengeksploatasi binatang dengan cara yang sangat mirip si kaya memeras kaum proletar," katanya. Maka, kesadaran kelas inilah yang melatarbelakangi novel Animal Farm yang terbit 1945. Di dalam karyanya ini, terlihat kritik khas sosialis Barat terhadap sebuah masyarakat sosialisme yang tengah diperjuangkan Uni Soviet saat itu. "Sejak 1930, saya tak melihat banyak bukti bahwa Uni Soviet sedang maju ke arah sesuatu yang benar-benar sosialisme," tulis Orwell. Yang terjadi adalah justru pemerintahan yang luar biasa hierarkis, propaganda, penghancuran pemikiran akal sehat kolektif, dan pembantaian oposisi. Ini semua akhirnya menjadi kosakata Orwell di dalam karya berikutnya berjudul 1984 yang melambungkan namanya. Esei-esei lainnya yang menarik adalah A Hanging dan Shooting an Elephant. Keduanya mencerminkan pengalamannya ketika ia menjadi polisi di Asia Selatan. A Hanging adalah deskripsi tentang detik-detik terakhir ketika seorang terhukum digantung. Orwell menceritakan perasaannya dengan jujur tentang orang yang akan menemui ajalnya itu digiring ke tiang gantungan dan masih sempat meloncat untuk menghindari genangan air. "Kukunya akan tetap tumbuh ketika ia berdiri di lantai perangkap, ketika ia hidup selama sepersepuluh detik sebelum jatuh terjerat ... otaknya masih mampu mengingat -- bahkan berpikir mengenai genangan air ..." dan setelah itu ia menggelepar dan mati kaku di tiang gantungan. Sungguh absurd. "... tak pernah terpikir oleh saya apa artinya membinasakan seorang manusia yang sehat dan sadar," katanya tanpa ingin bernada cengeng. Dengan jujur, Orwell mengaku bagaimana ia ikut-ikutan tertawa bersama koleganya tepat setelah hukuman mati berlangsung. Ini menunjukkan, Orwell adalah satu dari sedikit manusia yang berani mengambil jarak dari dirinya sendiri dan mengkritik apa yang pernah menjadi sejarah dirinya. Di dalam pemerintahan yang totalitarian, menurut Orwell, seniman dianggap sebagai penghibur belaka. Atau mungkin mereka mengira seniman bisa dianggap sebagai sosok yang "dapat beralih dari satu garis propaganda ke garis lainnya, semudah seorang pengamen orgel mengganti lagu," tulisnya dengan keras. Sementara itu, masyarakat di bawah pemerintah totaliter akan menjadi masyarakat yang "tak mampu menjadi toleran atau stabil secara intelektual." Masyarakat juga tak akan dapat mengizinkan pencatatan fakta yang benar atau kejujuran emosional yang dibutuhkan dalam kreasi sastra. Ditulis dengan bahasa yang lancar dan spontan, kumpulan esei ini sangat menarik untuk dibaca. Meski penerjemahan masih perlu dirapikan dan judul yang dipilih agak bombastis, buku ini patut dihargai sebagai usaha memperkenalkan pemikiran Orwell yang universal sekaligus kontekstual hingga saat ini. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus