ORANG Jepang mulai bosan dijuluki sebagai bangsa keranjingan kerja (workaholic). Kebosanan itu, seperti dilaporkan kantor berita Reuters, terlihat dengan munculnya gerakan besar kaum pekerja yang menuntut penyunatan jam kerja agar bisa libur lebih panjang dari biasanya. Tuntutan pengurangan jam kerja ini dilontarkan oleh serikat buruh (Nikkeiren) dan serikat dagang (Rengo) -- dua lembaga terbesar yang beranggota 8.000.000 karyawan -- dalam sidang tahunan buruh dengan pihak manajemen (shunto) di Tokyo pekan lalu. Kata sepakat yang dimunculkan kedua organisasi itu ternyata bergaung keras karena sidang ini biasanya lebih banyak membahas pengupahan. "Peduli amat negosiasi soal upah. Yang penting, bisa libur lebih panjang," ujar seorang sopir taksi di Tokyo. Ia mengaku hanya bisa libur tiga hari dalam sebulan. Gelombang tuntutan ini cukup bikin pusing para pengusaha mengingat tenaga kerja di Jepang sekarang ini sangat kurang. Menurut pengamat-pengamat masalah perburuhan di Jepang, para juragan, yang dihadapkan pada kondisi memilih buah simalakama, sudah tak mungkin mengabaikan tuntutan pengurangan jam kerja yang kian santer. Tuntutan libur lebih panjang mulai santer di Jepang sejak angkatan kerja muda memasuki pasar tahun silam. Mereka, sejak dini, mematok ihwal libur pada peringkat tinggi ketika melamar. "Jumlah mereka yang tak terlalu mendewakan karier meningkat cepat sekali," kata juru bicara Recruit Co. Ltd. Menurut penelitian perusahaan jasa terbesar yang melayani pengadaan tenaga kerja di Jepang itu, sebanyak 48% sarjana lulusan 1990 sangat mempersoalkan masalah libur dan lembur. Kecenderungan kaum pekerja Jepang untuk bersenang-senang lebih panjang, dilaporkan Recruit, melonjak dua kali lipat lebih dibandingkan dengan sepuluh tahun silam. Padahal, dua tahun terakhir, pemerintah telah menciutkan total jam kerja per tahun. Pada 1989, misalnya, total jam kerja seorang karyawan tercatat 2.159 jam, termasuk lembur 254 jam. Pada 1990, turun menjadi 2.052 jam. Namun, jumlah itu tetap lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara industri lain: di Amerika Serikat, total jam kerja sebanyak 1.957 jam, termasuk lembur 198 jam, sedangkan di Jerman Barat tercatat 1.638 jam, dengan 94 jam kerja lembur. Pemerintah Jepang dikabarkan baru akan melaksanakan jam kerja yang dianggap "ideal", yakni 1.800 jam per tahun, pada akhir Maret 1993. Sekilas orang Jepang tampak sangat menikmati pekerjaan. Mereka jarang berhandai-handai di rumah -- mereka, kata sebuah olok-olok, pulang hanya untuk sekadar meluruskan tulang punggung. Mereka, begitu usai kerja, langsung ke bar atau klub malam sambil bicara bisnis dan pekerjaan di kantor. Kini perilaku mendewakan kerja di kalangan bangsa Jepang mulai meleleh. Tapi tentu bukan karena itu lantas kita bangga tak sampai terperangkap jadi bangsa yang bekerja gila-gilaan. "Manfaat workaholic adalah membuat produktivitas meningkat, sebab kita bekerja keras, meski saya tak melihat korelasinya dengan prestasi," kata Sartono Mukadis kepada Indrawan dari TEMPO. Menurut psikolog lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu, di negeri kita, sedikit sekali orang yang keran- jingan kerja. Ia, dengan mengecualikan bangsa Korea yang punya kultur dekat dengan Jepang, tak yakin workaholic bisa ditransfer dari bangsa lain. "Kita tak bisa meniru cara Jepang melatih manajer yang menganggap seniornya bagaikan dewa. Sebab, ada faktor sosiobiologis dan kultur yang tak cocok," ujarnya. Sartono menambahkan, yang dimaksud dengan sosiobiologis adalah faktor biologis bawaan -- baik hormonal, metabolisme, pola makan, genetika, maupun enzim tertentu, yang semuanya sesuai dengan tuntutan alam. "Ada genetika yang mendorong kita klemar-klemer karena ternyata alam tak siap menerima kita sebagai bangsa workaholic," katanya. Selain takdir alamiah itu, Sartono juga melihat faktor lain yang membuat bangsa kita sukar meniru perilaku kerja orang Jepang. "Kita sulit menjadi bangsa workaholic. Pranata kita, subkultur kita, tidak menyokong. Kita masih bangsa petanan, tidak neurotik kalau kehilangan hak. Tenang, kalem, meskipun ikut istri," katanya. Bangsa kita, Sartono melanjutkan, belum sampai pada kesadaran memberi yang terbaik dalam bekerja. Maka, Sartono meragukan kelayakan kita mengatakan ada stres dalam pekerjaan. "Selama masih bisa ngomong, bertukar pikiran dengan oran lain, kita tidak layak menyebut stres," katanya. Berbeda dengan di luar negeri, pekerja memang hanya berhubungan dengan mesin. Akibatnya, manusia bisa kesepian di tengah keramaian. Untuk ukuran Indonesia, menuru Sartono, yang penting dipupuk adalah sadar tanggung jawab dan tenggang rasa. Misalnya, sekalipun jam kerja resmi bubar pukul 4 sore, apa enak membiarkan ada kawan lain lembur di kantor? "Tak perlu sampai workaholic, sebab jika lingkungannya tidak, yang lain akan terganggu atau antipati karena dianggap ngoyo," katanya. Mendewakan kerja belum sendirinya benar, apalagi mengabaikan kerja. Tampaknya, benar juga pesan nenek, sebaik-baik pilihan adalah yang di tengah. Atau seperti diingatkan Sartono, "Yang terbaik adalah menjadi pekerja keras yang happy, yaitu pekerja keras yang mencintai pekerjaannya. Dirinya bahagia, keluarga juga," ujar Sartono. Karena selalu bahagia dengan pekerjaan, sekalipun sudah pensiun secara resmi, orang tak harus menjadi gamang seakan kehilangan tali tempat bergayut. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini