KALEIDOSKOP POLITIK DI INDONESIA.
Oleh: K.H. Saifuddin Zuhri
Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta, 1981.
Jilid I dan II, masing-masing 229 halaman.
TIDAK banyak diterbitkan, buku yang menghimpun tulisan yang
sudah pernah disiarkan di media massa. Buku semacarn ini punya
kelemahan: ulasannya bisa kehilangan relevansi karena sudah
lewatnya topik yang dibicarakan.
Namun tulisan dalam kedua jilid buku ini -- yang disingkat dari
berbagai koran, plus beberapa ceramah antara 1976 dan
1980--tetap terasa layak dibaca. Rupanya selama lima tahun
terakhir ini hampir tak ada perubahan politik yang mendasar di
Indonesia.
Bahasa yang dipakainya populer. Kiai Haji yang pernah menjabat
menteri agama ini mengutip Al Qur'an, Socrates dan Homerus, tapi
juga Jayabaya, Kartini dan Bung Karno. Saifuddin, 62 tahun,
bekas pemimpin redaksi Duta MAsyarakat, memang cenderung
mengadakan studi perbandingan antara yang terjadi di Indonesia
dengan di negara lain.
Terkadang terlalu banyak -- terlalu luas--yang ingin dibahasnya,
sehingga permasalahan menjadi kurang terfokus. Di jilid II
misalnya, ia berbicara mengenai "Generasi mendatang di Tengah
Ledakan Penduduk." Ia sekaligus mengulas populasi, situasi
pangan dunia, gejala kemerosotan nilai akhlak serta etika dan
norma hukum Islam.
Ironis
Yang juga tidak membantu adalah gaya tulisannya yang cenderung
berkepanjangan dan berputar-putar. Juga pengulang-ulangan. Untuk
mengingatkan masalah regenerasi serta sopan santun politik, ia
mengawali dengan chauvinisme, mengutip Hitler, Tojo, Homerus
serta Machiavelli dan menghiasinya denganbeberapa istilah Jawa
tanpa terjemahan seperti jinjanen, kasinungan dan adiluhung. Isi
tulisan bukan tidak menarik, namun inflasi contoh bisa
mengalihkan jalur pikiran. Lewat sedikit editing jelas tulisan
akan lebih enak.
Tapi salah satu kelebihan yang membuat tulisan kedua buku ini
enak dibaca ialah kekayaan anekdot yang segar dan menyentuh.
Seperti juga pada bukunya yang terdahulu, Guruku Orang-orang
Dari Pesantren. Dengan bagus ia bercerita tentang aman
revolusi, mengenai mbah Subekti, kiai berusia 90 tahun dari
Parakan Jawa Tengah. Kiai ini bingung karena ribuan pemuda,
tentara dan laskar tiap hari mendatanginya meminta agar bambu
runcing, pedang dan karaben mereka "di suwuk" sebelum bertempur
melawan Sekutu, Belanda dan Jepang. Lewat tulisan Saifuddin kita
bisa tahu bahwa Munawir, Dirjen Politik Deplu, serta Dubes RI di
Inggris B.S. Arifin, adalah bekas pimpinan Hizbullah di zaman
revolusi.
Contoh anekdot lain adalah tentang usul Saifuddin kepada Bung
Karno--setelah "perdebatan" dengan beberapa menteri -- untuk
mengganti "Pusat Olahraga Bung Karno" yang direncanakan itu
dengan 'Gelanggang Olah Raga Bung Karno' atau disingkat "Gelora
Bung Karno'. Juga mengusulkan sebuah masjid di situ. Dan itulah
Istora Senayan sekarang.
Tapi yang paling enak dibaca dari kumpulan ini mungkin laporan
perjalanan ke luar negeri. Bahasanya lancar, datanya lengkap
disertai warna yang memikat. Para wartawan muda bisa belajar
dari gaya tulisan tokoh NU ini.
Kupasannya tentang masalah politik, sekalipun tajam nadanya
terasa terlalu banyak menggugat tentang "apa yang seharusnya
terjadi"--agak kurang berpijak pada realita. Gambarannya tentang
peranan parpol dan demokrasi misalnya, terasa terlalu indah dan
berlebihan. Dalam hal ini Saifuddin memang seorang tokoh parpol
yang ada "di luar", hingga tulisannya sarat dengan das Sollen.
Mengenai pembangunan politik Saifuddin antara lain menulis
"Dalam lingkungan parpol tradisi perbedaan pendapat memang
dipupuk dengan bijaksana." Ini terasa ironis bila dikaitkan
dengan kemelut dalam parpol saat ini: penulisnya sendiri akhir
November lalu terpaksa memilih mengundurkan diri dari
kepemimpinan PPP.
Betapapun buku ini patut disimak. Ia kaya dengan gagasan,
penilaian dan informasi. Saifuddin dengan rajin mencatat
perkembangan politik yang terjadi di Indonesia lewat
kacamatanya. Yang masih bisa diperbaiki: penusunan dan
pembagian permasalahannya yang kacau.
Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini