Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Catatan orang yang di luar

Pengarang: k.h. saifuddin zuhri jakarta: gunung agung. 1981 resensi oleh: susanto pujomartono.(bk)

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALEIDOSKOP POLITIK DI INDONESIA. Oleh: K.H. Saifuddin Zuhri Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta, 1981. Jilid I dan II, masing-masing 229 halaman. TIDAK banyak diterbitkan, buku yang menghimpun tulisan yang sudah pernah disiarkan di media massa. Buku semacarn ini punya kelemahan: ulasannya bisa kehilangan relevansi karena sudah lewatnya topik yang dibicarakan. Namun tulisan dalam kedua jilid buku ini -- yang disingkat dari berbagai koran, plus beberapa ceramah antara 1976 dan 1980--tetap terasa layak dibaca. Rupanya selama lima tahun terakhir ini hampir tak ada perubahan politik yang mendasar di Indonesia. Bahasa yang dipakainya populer. Kiai Haji yang pernah menjabat menteri agama ini mengutip Al Qur'an, Socrates dan Homerus, tapi juga Jayabaya, Kartini dan Bung Karno. Saifuddin, 62 tahun, bekas pemimpin redaksi Duta MAsyarakat, memang cenderung mengadakan studi perbandingan antara yang terjadi di Indonesia dengan di negara lain. Terkadang terlalu banyak -- terlalu luas--yang ingin dibahasnya, sehingga permasalahan menjadi kurang terfokus. Di jilid II misalnya, ia berbicara mengenai "Generasi mendatang di Tengah Ledakan Penduduk." Ia sekaligus mengulas populasi, situasi pangan dunia, gejala kemerosotan nilai akhlak serta etika dan norma hukum Islam. Ironis Yang juga tidak membantu adalah gaya tulisannya yang cenderung berkepanjangan dan berputar-putar. Juga pengulang-ulangan. Untuk mengingatkan masalah regenerasi serta sopan santun politik, ia mengawali dengan chauvinisme, mengutip Hitler, Tojo, Homerus serta Machiavelli dan menghiasinya denganbeberapa istilah Jawa tanpa terjemahan seperti jinjanen, kasinungan dan adiluhung. Isi tulisan bukan tidak menarik, namun inflasi contoh bisa mengalihkan jalur pikiran. Lewat sedikit editing jelas tulisan akan lebih enak. Tapi salah satu kelebihan yang membuat tulisan kedua buku ini enak dibaca ialah kekayaan anekdot yang segar dan menyentuh. Seperti juga pada bukunya yang terdahulu, Guruku Orang-orang Dari Pesantren. Dengan bagus ia bercerita tentang aman revolusi, mengenai mbah Subekti, kiai berusia 90 tahun dari Parakan Jawa Tengah. Kiai ini bingung karena ribuan pemuda, tentara dan laskar tiap hari mendatanginya meminta agar bambu runcing, pedang dan karaben mereka "di suwuk" sebelum bertempur melawan Sekutu, Belanda dan Jepang. Lewat tulisan Saifuddin kita bisa tahu bahwa Munawir, Dirjen Politik Deplu, serta Dubes RI di Inggris B.S. Arifin, adalah bekas pimpinan Hizbullah di zaman revolusi. Contoh anekdot lain adalah tentang usul Saifuddin kepada Bung Karno--setelah "perdebatan" dengan beberapa menteri -- untuk mengganti "Pusat Olahraga Bung Karno" yang direncanakan itu dengan 'Gelanggang Olah Raga Bung Karno' atau disingkat "Gelora Bung Karno'. Juga mengusulkan sebuah masjid di situ. Dan itulah Istora Senayan sekarang. Tapi yang paling enak dibaca dari kumpulan ini mungkin laporan perjalanan ke luar negeri. Bahasanya lancar, datanya lengkap disertai warna yang memikat. Para wartawan muda bisa belajar dari gaya tulisan tokoh NU ini. Kupasannya tentang masalah politik, sekalipun tajam nadanya terasa terlalu banyak menggugat tentang "apa yang seharusnya terjadi"--agak kurang berpijak pada realita. Gambarannya tentang peranan parpol dan demokrasi misalnya, terasa terlalu indah dan berlebihan. Dalam hal ini Saifuddin memang seorang tokoh parpol yang ada "di luar", hingga tulisannya sarat dengan das Sollen. Mengenai pembangunan politik Saifuddin antara lain menulis "Dalam lingkungan parpol tradisi perbedaan pendapat memang dipupuk dengan bijaksana." Ini terasa ironis bila dikaitkan dengan kemelut dalam parpol saat ini: penulisnya sendiri akhir November lalu terpaksa memilih mengundurkan diri dari kepemimpinan PPP. Betapapun buku ini patut disimak. Ia kaya dengan gagasan, penilaian dan informasi. Saifuddin dengan rajin mencatat perkembangan politik yang terjadi di Indonesia lewat kacamatanya. Yang masih bisa diperbaiki: penusunan dan pembagian permasalahannya yang kacau. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus