DI pagi yang cerah awal Desember itu para nayaga telah duduk
bersila di atas tikar, di halaman sebuah rumah berdinding gedek.
Di hadapan mereka tersusun seperangkat instrumen musik: bonang,
tiga buah kendang besar, dua kendang kecil, sepasang sarron,
gong bende, gambang, ketuk dan kecrek. Para penabuh musik itu
semua memakai peci hitam.
Di halaman rumah itu pun sudah duduk bersila beberapa kelompok
penonton. Di sebelah beranda rumah terlihat kelompok alim-ulama
setempat. Di sebelah kanan kelompok ini, si tuan rumah alias si
empunya hajat, lengkap dengan keluarganya, duduk sambil melempar
senyum ke sana sini. Di seberang sana adalah tempat duduk
kelompok pejabat desa. Para warga desa yang menonton sambil
berdiri, semakin ramai dan berdesak.
Di tengah arena itu, tergeletak sbuah lesung penumbuk padi,
dengan tujuh buah alu. Di dekatnya terlihat sebuah niru berisi
beberapa ikat padi. Di salah satu ujung lesung, terletak sebuah
bokor tempat sirih.
Para nayaga mulai memperdengarkan tabuhan alat musik
masing-masing. Maka ke-7 penari Sadawuh itu pun muncul ke tengah
gelanggang, diiringi dua orang bobodor (pelawak). Kedua
orang ini mengalungkan untaian kue-kue kecil, dengan wajah
di-make-up tebal. Sambil melenggang-lenggok para penari itu
langsung mengambil alu, memasukkan untaian buah padi ke lubang
lesung dan menumbuk: tak-tek-tok.....
Suara lesung terhenti. Sambil kembali menari-nari, dan memanggul
alu, ke-7 penari itu sekarang berzikir: la ilaha illallah, la
ilaba illallah . . . Tapi tiba-tiba mereka berlari, terus
berlari beriringan mengelilingi rumah sambil memanggul palu
masing-masing. Para penonton pun tertawa terbahak-bahak melihat
tingkah kedua orang bobodor yang sengaja memancing ketawa sambil
turut berlari-lari anjing.
Tapi tari Sadawuh belum berakhir. Setelah tiga kali berlari
keliling rumah mereka kembali menumbuk padi. Musik pun semakin
keras, seakan takut ditenggelamkan suara alu. Ketika terdengar
lagu Teropongan, para penari melepaskan alu masing-masing -- dan
kembali menari-nari. Tarian ini berakhir setelah lagu ketiga,
Giro Tutup Gonjing, pelanpelan mengendur, selesai. Dan
selesailah pula Sadawuh, sebuah tari pembuka upacara adat
syukuran sehabis panen di Kampung Kepuh, Desa Sumur Bandung,
Balaraja Banten.
Tamu Dari Mana?
Tak jelas dari mana asal usul tari Sadawuh. Yang pasti erat
kaitannya dengan tradisi Islam, setidak-tidaknya di daerah
Banten. Sebab selain dalam upacara itu para ulama diberi tempat
khusus, juga katanya, alat musik gambang yang dibuat bersusun 17
merupakan lambang 17 rukun sembahyang. Begitu pula sepasang
saron yang terdiri dari enam buah, karena rukun iman juga enam.
Dalam upacara selanjutnya, yaitu setelah tari Sadawuh selesai,
para penarisecara serempak mengucapkan assalamu'alaikum kepada
tuan rumah. Setelah si empunya hajat ini menjawab salam ia pun
bertanya: "Tamu dari mana?" Seorang tamu harus menjawab: "Tamu
dari Kahuripan." Tapi tamu yang lain harus menjawab pula: "Tamu
dari kasugihan," atau: "Tamu dari kemulyaan". Selanjutnya semua
yang berada di arena itu salam-menyalami. Upacara berakhir
dengan menyantap kue-kue yang sudah terhidang sejak tadi di
tras rumah.
Tari Sadawuh hanya ditarikan oleh wanita-wanita lanjut usia.
Berkain kebaya, wanita-wanita sepuh itu tampil dengan wajah yang
dirias tipis tapi dengan bibir yang dimerahi air sirih. Mak
Enong salah seorang penari, misalnya, meskipun tak tahu persis
usianya, mengaku sudah memiliki 18 cucu dari delapan anaknya
yang semua sudah berumahtangga. Penari-penari yang lain, Aminah
dan Arwiyah, sudah memiliki beberapa cucu yang mulai beranjak
dewasa. Menurut Aminah, ia tak pernah mempelajari tari Sadawuh,
tapi bisa menari begitu saja sejak beberapa tahun lalu, karena
sering menyaksikannya.
Khawatir
Tarian maupun keseluruhan upacara syukuran semacam itu, hanya
terdapat di Sumur Bandung. Tak setiap habis panen
dipertunjukkan, tapi hanya pada waktu-waktu tertentu bila ada
warga yang sudah merasa harus melakukan upacara syukuran. Karena
itu tak heran jika banyak penduduk sekitar sana yang tak
mengenalnya.
Mempertunjukkan tarian dan upacara itu sendiri baru dua kali
dilakukan di luar daerah Banten. Yaitu pada upacara pembukaan
museum Jawa Barat di Bandung dan rekaman untuk siaran di TVRI
Jakarta belum lama ini. Tak heran jika Penilik Kebudayaan
Kecamatan Balaraja, Djunaedi, khawatir suatu saat pertunjukan
itu akan punah sama sekali - seperti yang dialami kesenian
Domblang dan Angklung Gubrak. "Untungnya para pemain Sadawuh
selalu kompak, meski tak pernah mendatangkan uang," sambung
kepala grup Sadawuh, Jaro Ikat.
Grup Sadawuh yang masih ada sekarang terdiri dari pemain-pemain
dari Kampung Kepuh, Dupa dan Banteng-semua di Desa Sumur
Bandung. Desa yang berpenduduk 6.000 jiwa lebih itu termasuk
miskin. Rumah-rumah yang ada di kampung-kampuno sana umumnya
terbuat dari gedek, beratap rumbia dan berlantai tanah.
Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh tani. Tapi di musim
kemarau sawah-sawah di kawasan desa itu tak memiliki air --
bahkan sumur-sumur penduduk juga kering.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini