Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Nenek-nenek itupun menari

Tari sadawuh sebuah tari pembuka upacara adat syukuran sehabis panen di daerah banten, suatu kesenian yang hampir punah. asal-usul tari ini tak jelas yang jelas berkait erat dengan tradisi islam.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pagi yang cerah awal Desember itu para nayaga telah duduk bersila di atas tikar, di halaman sebuah rumah berdinding gedek. Di hadapan mereka tersusun seperangkat instrumen musik: bonang, tiga buah kendang besar, dua kendang kecil, sepasang sarron, gong bende, gambang, ketuk dan kecrek. Para penabuh musik itu semua memakai peci hitam. Di halaman rumah itu pun sudah duduk bersila beberapa kelompok penonton. Di sebelah beranda rumah terlihat kelompok alim-ulama setempat. Di sebelah kanan kelompok ini, si tuan rumah alias si empunya hajat, lengkap dengan keluarganya, duduk sambil melempar senyum ke sana sini. Di seberang sana adalah tempat duduk kelompok pejabat desa. Para warga desa yang menonton sambil berdiri, semakin ramai dan berdesak. Di tengah arena itu, tergeletak sbuah lesung penumbuk padi, dengan tujuh buah alu. Di dekatnya terlihat sebuah niru berisi beberapa ikat padi. Di salah satu ujung lesung, terletak sebuah bokor tempat sirih. Para nayaga mulai memperdengarkan tabuhan alat musik masing-masing. Maka ke-7 penari Sadawuh itu pun muncul ke tengah gelanggang, diiringi dua orang bobodor (pelawak). Kedua orang ini mengalungkan untaian kue-kue kecil, dengan wajah di-make-up tebal. Sambil melenggang-lenggok para penari itu langsung mengambil alu, memasukkan untaian buah padi ke lubang lesung dan menumbuk: tak-tek-tok..... Suara lesung terhenti. Sambil kembali menari-nari, dan memanggul alu, ke-7 penari itu sekarang berzikir: la ilaha illallah, la ilaba illallah . . . Tapi tiba-tiba mereka berlari, terus berlari beriringan mengelilingi rumah sambil memanggul palu masing-masing. Para penonton pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah kedua orang bobodor yang sengaja memancing ketawa sambil turut berlari-lari anjing. Tapi tari Sadawuh belum berakhir. Setelah tiga kali berlari keliling rumah mereka kembali menumbuk padi. Musik pun semakin keras, seakan takut ditenggelamkan suara alu. Ketika terdengar lagu Teropongan, para penari melepaskan alu masing-masing -- dan kembali menari-nari. Tarian ini berakhir setelah lagu ketiga, Giro Tutup Gonjing, pelanpelan mengendur, selesai. Dan selesailah pula Sadawuh, sebuah tari pembuka upacara adat syukuran sehabis panen di Kampung Kepuh, Desa Sumur Bandung, Balaraja Banten. Tamu Dari Mana? Tak jelas dari mana asal usul tari Sadawuh. Yang pasti erat kaitannya dengan tradisi Islam, setidak-tidaknya di daerah Banten. Sebab selain dalam upacara itu para ulama diberi tempat khusus, juga katanya, alat musik gambang yang dibuat bersusun 17 merupakan lambang 17 rukun sembahyang. Begitu pula sepasang saron yang terdiri dari enam buah, karena rukun iman juga enam. Dalam upacara selanjutnya, yaitu setelah tari Sadawuh selesai, para penarisecara serempak mengucapkan assalamu'alaikum kepada tuan rumah. Setelah si empunya hajat ini menjawab salam ia pun bertanya: "Tamu dari mana?" Seorang tamu harus menjawab: "Tamu dari Kahuripan." Tapi tamu yang lain harus menjawab pula: "Tamu dari kasugihan," atau: "Tamu dari kemulyaan". Selanjutnya semua yang berada di arena itu salam-menyalami. Upacara berakhir dengan menyantap kue-kue yang sudah terhidang sejak tadi di tras rumah. Tari Sadawuh hanya ditarikan oleh wanita-wanita lanjut usia. Berkain kebaya, wanita-wanita sepuh itu tampil dengan wajah yang dirias tipis tapi dengan bibir yang dimerahi air sirih. Mak Enong salah seorang penari, misalnya, meskipun tak tahu persis usianya, mengaku sudah memiliki 18 cucu dari delapan anaknya yang semua sudah berumahtangga. Penari-penari yang lain, Aminah dan Arwiyah, sudah memiliki beberapa cucu yang mulai beranjak dewasa. Menurut Aminah, ia tak pernah mempelajari tari Sadawuh, tapi bisa menari begitu saja sejak beberapa tahun lalu, karena sering menyaksikannya. Khawatir Tarian maupun keseluruhan upacara syukuran semacam itu, hanya terdapat di Sumur Bandung. Tak setiap habis panen dipertunjukkan, tapi hanya pada waktu-waktu tertentu bila ada warga yang sudah merasa harus melakukan upacara syukuran. Karena itu tak heran jika banyak penduduk sekitar sana yang tak mengenalnya. Mempertunjukkan tarian dan upacara itu sendiri baru dua kali dilakukan di luar daerah Banten. Yaitu pada upacara pembukaan museum Jawa Barat di Bandung dan rekaman untuk siaran di TVRI Jakarta belum lama ini. Tak heran jika Penilik Kebudayaan Kecamatan Balaraja, Djunaedi, khawatir suatu saat pertunjukan itu akan punah sama sekali - seperti yang dialami kesenian Domblang dan Angklung Gubrak. "Untungnya para pemain Sadawuh selalu kompak, meski tak pernah mendatangkan uang," sambung kepala grup Sadawuh, Jaro Ikat. Grup Sadawuh yang masih ada sekarang terdiri dari pemain-pemain dari Kampung Kepuh, Dupa dan Banteng-semua di Desa Sumur Bandung. Desa yang berpenduduk 6.000 jiwa lebih itu termasuk miskin. Rumah-rumah yang ada di kampung-kampuno sana umumnya terbuat dari gedek, beratap rumbia dan berlantai tanah. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh tani. Tapi di musim kemarau sawah-sawah di kawasan desa itu tak memiliki air -- bahkan sumur-sumur penduduk juga kering.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus