Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Wartawan Di Mata Hukum

Seminar tentang segi-segi hukum dalam kegiatan jurnalistik, diselenggarakan PWI. Pelanggaran hukum wartawan akan menjadi urusan polisi, tanpa membedakan perkara yang dibuat wartawan berupa delik pers.(md)

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMINAR soal wartawan, "Segi-segi Hukum Dalam Kegiatan Jurnalistik" yang diselenggarakan PWI Pusat bersama Deppen, berlangsung tertutup --bagi pemberitaan wartawan. Pembicaraan di dalam seminar, antar pimpinan redaksi dan pihak pemerinuh, tentu hangat -- terbukti dari prasaran yang tak boleh disiarkan--kecuali beberapa makalah. Dan dari makalah dan sambutan pejabat yang boleh disiarkan, pada seminar di Sala 9-13 Desember itu diketahui bahwa "persoalan hukum" profesi wartawan di masa datang akan penuh diskusi. Semuanya tentu menyangkut peraturan perundang-undangan. Khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) baru yang akan segera berlaku. Misalnya tentang tatacara pemanggilan wartawan- sebagai tersangka atau saksi suatu perkara delik pers--maupun tentang hak tolak atau hak ingkar wartawan untuk tidak menyebutkan suatu sumber berita yang patut dirahasiakan. Sebuah konsensus antara PWI dengan Jaksa Agung (1977), antara lain menyebutkan, pemanggilan wartawan yang berhubungan dengan delik pers hanya dilakukan kejaksaan. Alasannya, di samping perlu kepastian hukum, wartawan juga memerlukan ketenangan bekerja. Sebab menurut hukum acara yang kini berlaku, polisi punya wewenang menyidik perkara apa pun seperti halnya jaksa. Sedangkan KUHAP yang bakal berlaku ternyata memberikan wewenang penyidikan hanya kepada polisi, tanpa membedakan perkara yang dibuat wartawan berupa delik pers atau bukan. Setelah meneliti berbagai ketentuan KUHAP, menurut makalah Kapolri, Jenderal Awaludin Djamin, tidak ditemukan ketentuan yang membedakan penyidikan terhadap wartawan dan yang bukan-baik yang menyangkut kewajiban dan haknya sebagai tersangka maupun saksi. Itu berarti berakhirlah konsensus antara PWI dan Jaksa Agung. Meskipun, menurut Pem-Red Pikiran Rakyat (Bandung), Atang Ruswita, "bisa dibuat konsensus baru PWI dengan Kapolri." Apakah perlu? Atang mengakui banyak tokoh pers merasa tak perlu. "Cuma, yang kita harapkan," kata Atang Ruswita dalam makalahnya, "pemanggilan terhadap wartawan baiknya dilakukan polisi yang pangkatnya lebih tinggi dari kopral." Dipanggil dan diperiksa kopral maupun perwira--apakah hak ingkar atau hak tolak wartawan masih dihargai? Undang-undang Pokok Pers (1966) menjamin hak tersebut, meskipun dibatasi dalam perkara yang membahayakan keselamatan negara, yang kepastiannya harus dinyatakan pengadilan, Namun, menurut Kapolri Awaludin, jaminan tersebut kelak tercabut oleh KUHAP. Perudang-undangan, kata Kapolri, menentukan si empunya hak ingkar (karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia--Pasal 170 KUHAP) adalah petugas agama, dokter, notaris dan pengacara. Meskipun, tambah Awaludin, "dalam hal dunia pers memang perlu menuntut adanya kekhususan . . . mungkin saja." Bagi Menteri Kehakiman Ali Said, menurut pidato sambutannya dalam seminar itu, ketentuan hak ingkar berlaku pula bagi wartawan. "Masalahnya," kata Ali Said, "apakah hak ingkar tersebut secara mutlak harus digunakan wartawan dalam segala situasi." Menteri mengingatkan bahwa setiap warganegara, apa pun profesinya, wartawan tak terkecuali, "diharapkan setiap saat menyediakan diri membantu kepentingan umum dan menghindarkan negara dari bahaya." Bertolak dari situ, kata Ali Said, "tidak menggunakan hak ingkar bukan merupakan pelanggaran kode etik kewartawanan . . . " Tiga Kriteria Karena itu tak perlu lagi wartawan merasa diperlakukan khusus di muka hukum. Padabal profesi ini masih tetap "paling banyak" menggunakan "kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (UUD 1945)" yang penuh ranjau--tersebar di berbagai pasal KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan bahkan dekat dengan jerat UU Subversi. Betapa tidak. Menurut Kepala Pembinaan Hukum ABRI, Mayjen Kanter, ada tiga kriteria delik pers: pertama dilakukan dengan barang cetakan. Kedua, berupa pernyataan, pikiran atau perasaan. Dan yang terakhir, akibat dari publikasi tersebut, menimbulkan suatu kejahatan. Dan bila yang terakhir tersebut "dapat diketahui atau patut diketahui dapat memutarbalikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara . . .", seperti tercantum dalam pasal 1 UU Subversi, maka kata Kanter: "Delik tersebut bukan lagi dapat dikualifikasikan sebagai delik pers biasa, melainkan menjadi delik subversi." Apalagi jika kegiatan wartawan yang bersangkutan dianggap mempunyai latar belakang politik. Namun begitu, Jenderal Kanter tak lupa mengetengahkan pernyataan yang selama ini memang telah tumbuh: "Dengan sangat luasnya ruang lingkup Undang-undang tindak pidana subversi, menimbulkan pertanyaan, apakah hal tersebut tidak mengurangi asas kebebasan pers . . . " Oleh karena itu Koordinator Opstib Pusat tersebut berpendapat: "Seyogyanya perumusan tindak pidana subversi lebih kongkrit kriterianya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus