SEMINAR soal wartawan, "Segi-segi Hukum Dalam Kegiatan
Jurnalistik" yang diselenggarakan PWI Pusat bersama Deppen,
berlangsung tertutup --bagi pemberitaan wartawan.
Pembicaraan di dalam seminar, antar pimpinan redaksi dan pihak
pemerinuh, tentu hangat -- terbukti dari prasaran yang tak boleh
disiarkan--kecuali beberapa makalah. Dan dari makalah dan
sambutan pejabat yang boleh disiarkan, pada seminar di Sala 9-13
Desember itu diketahui bahwa "persoalan hukum" profesi wartawan
di masa datang akan penuh diskusi.
Semuanya tentu menyangkut peraturan perundang-undangan.
Khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang hukum
acara pidana (KUHAP) baru yang akan segera berlaku. Misalnya
tentang tatacara pemanggilan wartawan- sebagai tersangka atau
saksi suatu perkara delik pers--maupun tentang hak tolak atau
hak ingkar wartawan untuk tidak menyebutkan suatu sumber berita
yang patut dirahasiakan.
Sebuah konsensus antara PWI dengan Jaksa Agung (1977), antara
lain menyebutkan, pemanggilan wartawan yang berhubungan dengan
delik pers hanya dilakukan kejaksaan. Alasannya, di samping
perlu kepastian hukum, wartawan juga memerlukan ketenangan
bekerja. Sebab menurut hukum acara yang kini berlaku, polisi
punya wewenang menyidik perkara apa pun seperti halnya jaksa.
Sedangkan KUHAP yang bakal berlaku ternyata memberikan wewenang
penyidikan hanya kepada polisi, tanpa membedakan perkara yang
dibuat wartawan berupa delik pers atau bukan. Setelah meneliti
berbagai ketentuan KUHAP, menurut makalah Kapolri, Jenderal
Awaludin Djamin, tidak ditemukan ketentuan yang membedakan
penyidikan terhadap wartawan dan yang bukan-baik yang menyangkut
kewajiban dan haknya sebagai tersangka maupun saksi.
Itu berarti berakhirlah konsensus antara PWI dan Jaksa Agung.
Meskipun, menurut Pem-Red Pikiran Rakyat (Bandung), Atang
Ruswita, "bisa dibuat konsensus baru PWI dengan Kapolri." Apakah
perlu? Atang mengakui banyak tokoh pers merasa tak perlu. "Cuma,
yang kita harapkan," kata Atang Ruswita dalam makalahnya,
"pemanggilan terhadap wartawan baiknya dilakukan polisi yang
pangkatnya lebih tinggi dari kopral."
Dipanggil dan diperiksa kopral maupun perwira--apakah hak ingkar
atau hak tolak wartawan masih dihargai? Undang-undang Pokok Pers
(1966) menjamin hak tersebut, meskipun dibatasi dalam perkara
yang membahayakan keselamatan negara, yang kepastiannya harus
dinyatakan pengadilan, Namun, menurut Kapolri Awaludin, jaminan
tersebut kelak tercabut oleh KUHAP.
Perudang-undangan, kata Kapolri, menentukan si empunya hak
ingkar (karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia--Pasal 170 KUHAP) adalah petugas
agama, dokter, notaris dan pengacara. Meskipun, tambah Awaludin,
"dalam hal dunia pers memang perlu menuntut adanya kekhususan .
. . mungkin saja."
Bagi Menteri Kehakiman Ali Said, menurut pidato sambutannya
dalam seminar itu, ketentuan hak ingkar berlaku pula bagi
wartawan. "Masalahnya," kata Ali Said, "apakah hak ingkar
tersebut secara mutlak harus digunakan wartawan dalam segala
situasi." Menteri mengingatkan bahwa setiap warganegara, apa pun
profesinya, wartawan tak terkecuali, "diharapkan setiap saat
menyediakan diri membantu kepentingan umum dan menghindarkan
negara dari bahaya." Bertolak dari situ, kata Ali Said, "tidak
menggunakan hak ingkar bukan merupakan pelanggaran kode etik
kewartawanan . . . "
Tiga Kriteria
Karena itu tak perlu lagi wartawan merasa diperlakukan khusus di
muka hukum. Padabal profesi ini masih tetap "paling banyak"
menggunakan "kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan (UUD 1945)" yang penuh ranjau--tersebar di berbagai
pasal KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan bahkan dekat
dengan jerat UU Subversi.
Betapa tidak. Menurut Kepala Pembinaan Hukum ABRI, Mayjen
Kanter, ada tiga kriteria delik pers: pertama dilakukan dengan
barang cetakan. Kedua, berupa pernyataan, pikiran atau perasaan.
Dan yang terakhir, akibat dari publikasi tersebut, menimbulkan
suatu kejahatan. Dan bila yang terakhir tersebut "dapat
diketahui atau patut diketahui dapat memutarbalikkan, merongrong
atau menyelewengkan ideologi negara . . .", seperti tercantum
dalam pasal 1 UU Subversi, maka kata Kanter: "Delik tersebut
bukan lagi dapat dikualifikasikan sebagai delik pers biasa,
melainkan menjadi delik subversi." Apalagi jika kegiatan
wartawan yang bersangkutan dianggap mempunyai latar belakang
politik.
Namun begitu, Jenderal Kanter tak lupa mengetengahkan pernyataan
yang selama ini memang telah tumbuh: "Dengan sangat luasnya
ruang lingkup Undang-undang tindak pidana subversi, menimbulkan
pertanyaan, apakah hal tersebut tidak mengurangi asas kebebasan
pers . . . " Oleh karena itu Koordinator Opstib Pusat tersebut
berpendapat: "Seyogyanya perumusan tindak pidana subversi lebih
kongkrit kriterianya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini