Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Cerita pendek yang praktis

Pengarang: mochtar lubis jakarta: sinar harapan, 1982 resensi oleh: bambang bujono. (bk)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KULI KONTRAK Kumpulan Cerita Pendek Mochtar Lubis Penerbit Sinar Harapan, 1982, 164 halaman. CERITA pendek Mochtar Lubis adalah cerita pendek yang praktis. Ia tidak suka berbelit-belit. Ia pun leih cenderung meringkas suasana: gambaran lokasi, profil tokoh cerita, cukup disebutkan yang penting saja. Lampu-lampu di beranda dan di kamar depan telah dipadamkan. Ayah sedang menulis di kamar kantornya. Dan kami anak-anak berkumpul di kamar tidur . . . ('Kuli Kontrak'). Kita tak tahu bagaimana kondisi rumah itu, di mana letak kamar kantor dan kamar tidur. Maka yang kemudian bisa mengikat pembaca adalah isi kisah. Bagaimana nasib lima kuli kontrak yang melarikan diri, betulkah traktor akan benar-benar merobohkan rumah Ismail, bisakah warna merah-putih rambut si Jamal kembali menjadi warna rambut biasa. Selebihnya adalah kalimat-kalimat lancar, ungkapan-ungkapan umum dan dialog yang tanpa warna. Hampir sulit dibedakan apakah seorang tokoh yang bicara sedang marah, membujuk atau sekedar ngomong. Kemarahan seorang Nyonya Hartowidagdo yang menjawab dengan kata 'tidak', baru diketahui pembaca dari keterangan ini: . . . sahutnya, dan dalam tekanan suaranya seakan dia melawan. Karena bobot cerita tergantung isinya, agak sulit dipahami bahwa tema-tema yang biasa saja, tidak unik, ternyata bisa menggerakkan Mochtar untuk menulis. Soal kecemburuan dalam rumah tangga, soal orang-orang jujur yang bernasib malang, atau kelompok masyarakat yang masih mempercayai takhyul, misalnya. Benar tema-tema itu relevan. Hanya, penceritaannya yang lurus tanpa nuansa sering terasa sebagai hasil simplifikasi masalah. Alternatif lain, cerita menjadi karikatural. Dan untunglah bila yang terakhir itu yang terjadi. 'Cemburu', misalnya, yang menceritakan seorang istri yang tiba-tiba mencurigai suaminya mempunyai simpanan, boleh menjadi contoh. Sang suami diceritakan kini sering rapat dan dinas luar, dan Mochtar lantas menyuruh si istri mengikuti ke mana suami pergi. Terjadilah kelucuan-kelucuan: si istri ikut sidang, pertemuan pesta . . . sampai akhirnya muak sendiri dan "membebaskan" sang suami. Dan justru di saat itulah sang suami mengantar pulang seorang bawahannya, perempuan tentu saja, dan baru kembali ke hotel pukul tiga dini hari. Tapi yang paling berhasil agaknya 'Nasionalis Nomor Satu', cerita terakhir. Tidak saja karikatur kuat di sini, tapi pun kepadatan kisah terjaga hingga akhir. Jamal, yang bertekad menjadi nasionalis tulen, ternyata berhasil -- dan dewa-dewa memberinya anugerah: rambutnya yang sudah beruban berubah menjadi merah dan putih. Kebanggaan yang muncul pada awalnya akhirnya berubah menjadi kesulitan, tentu saja. Jamal lantas berusaha tidak menjadi nasionalis. Caranya: pokoknya melakukan hal-hal yang jahat, termasuk korupsi dan tindak asusila. Tapi meski Jamal selalu meningkatkan penyelewengannya -- sampai-sampai menipu rakyat sebagai seorang presiden -- warna rambutnya tetap ganjil. Ia tetap nasionalis nomor satu. Kumpulan iri menyuguhkan karangan Mochtar yang ditulisnya di tahun-tahun 1950-an dan beberapa di awal zaman Orde Baru. Bahkan empat cerita telah pernah masuk dalam kumpulan cerita pendeknya, Perempuan (1956). Mochtar adalah pengarang novel yang bagus, Jalan Tak Ada Ujung (1952), dan juga Harimau! Harimau! (1975). Dibanding cerita-cerita pendeknya, Jalan Tak Ada Ujung terutama terasa lebih pekat, memberi suasana dengan tokoh-tokoh yang hidup dan manusiawi. Adapun cerpen-cerpennya, yang dulunya dimuat di berbagai majalah (Kisah, Siasat Baru), mungkin juga sangatrekvan dengan zamannya -- sebagaimana cerita-cerita pendek Iwan Simatupang di surat kabar Warta Harian dulu. Bedanya dengan Iwan, Mochtar tidak mengesankan seorang tukang cerita yang tangkas. Dan, seperti juga sejumlah besar "cerita pendek berbahasa lancar" di majalah Horison misalnya, kapan saja "isi yang penting" tidak terdapat, ia memang mudah terlupakan. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus