KULI KONTRAK
Kumpulan Cerita Pendek Mochtar Lubis Penerbit Sinar Harapan,
1982, 164 halaman.
CERITA pendek Mochtar Lubis adalah cerita pendek yang praktis.
Ia tidak suka berbelit-belit. Ia pun leih cenderung meringkas
suasana: gambaran lokasi, profil tokoh cerita, cukup disebutkan
yang penting saja. Lampu-lampu di beranda dan di kamar depan
telah dipadamkan. Ayah sedang menulis di kamar kantornya. Dan
kami anak-anak berkumpul di kamar tidur . . . ('Kuli Kontrak').
Kita tak tahu bagaimana kondisi rumah itu, di mana letak kamar
kantor dan kamar tidur.
Maka yang kemudian bisa mengikat pembaca adalah isi kisah.
Bagaimana nasib lima kuli kontrak yang melarikan diri, betulkah
traktor akan benar-benar merobohkan rumah Ismail, bisakah warna
merah-putih rambut si Jamal kembali menjadi warna rambut biasa.
Selebihnya adalah kalimat-kalimat lancar, ungkapan-ungkapan umum
dan dialog yang tanpa warna. Hampir sulit dibedakan apakah
seorang tokoh yang bicara sedang marah, membujuk atau sekedar
ngomong. Kemarahan seorang Nyonya Hartowidagdo yang menjawab
dengan kata 'tidak', baru diketahui pembaca dari keterangan ini:
. . . sahutnya, dan dalam tekanan suaranya seakan dia melawan.
Karena bobot cerita tergantung isinya, agak sulit dipahami bahwa
tema-tema yang biasa saja, tidak unik, ternyata bisa
menggerakkan Mochtar untuk menulis. Soal kecemburuan dalam rumah
tangga, soal orang-orang jujur yang bernasib malang, atau
kelompok masyarakat yang masih mempercayai takhyul, misalnya.
Benar tema-tema itu relevan. Hanya, penceritaannya yang lurus
tanpa nuansa sering terasa sebagai hasil simplifikasi masalah.
Alternatif lain, cerita menjadi karikatural.
Dan untunglah bila yang terakhir itu yang terjadi. 'Cemburu',
misalnya, yang menceritakan seorang istri yang tiba-tiba
mencurigai suaminya mempunyai simpanan, boleh menjadi contoh.
Sang suami diceritakan kini sering rapat dan dinas luar, dan
Mochtar lantas menyuruh si istri mengikuti ke mana suami pergi.
Terjadilah kelucuan-kelucuan: si istri ikut sidang, pertemuan
pesta . . . sampai akhirnya muak sendiri dan "membebaskan" sang
suami. Dan justru di saat itulah sang suami mengantar pulang
seorang bawahannya, perempuan tentu saja, dan baru kembali ke
hotel pukul tiga dini hari.
Tapi yang paling berhasil agaknya 'Nasionalis Nomor Satu',
cerita terakhir. Tidak saja karikatur kuat di sini, tapi pun
kepadatan kisah terjaga hingga akhir. Jamal, yang bertekad
menjadi nasionalis tulen, ternyata berhasil -- dan dewa-dewa
memberinya anugerah: rambutnya yang sudah beruban berubah
menjadi merah dan putih. Kebanggaan yang muncul pada awalnya
akhirnya berubah menjadi kesulitan, tentu saja.
Jamal lantas berusaha tidak menjadi nasionalis. Caranya:
pokoknya melakukan hal-hal yang jahat, termasuk korupsi dan
tindak asusila. Tapi meski Jamal selalu meningkatkan
penyelewengannya -- sampai-sampai menipu rakyat sebagai seorang
presiden -- warna rambutnya tetap ganjil. Ia tetap nasionalis
nomor satu.
Kumpulan iri menyuguhkan karangan Mochtar yang ditulisnya di
tahun-tahun 1950-an dan beberapa di awal zaman Orde Baru. Bahkan
empat cerita telah pernah masuk dalam kumpulan cerita pendeknya,
Perempuan (1956). Mochtar adalah pengarang novel yang bagus,
Jalan Tak Ada Ujung (1952), dan juga Harimau! Harimau! (1975).
Dibanding cerita-cerita pendeknya, Jalan Tak Ada Ujung terutama
terasa lebih pekat, memberi suasana dengan tokoh-tokoh yang
hidup dan manusiawi.
Adapun cerpen-cerpennya, yang dulunya dimuat di berbagai majalah
(Kisah, Siasat Baru), mungkin juga sangatrekvan dengan zamannya
-- sebagaimana cerita-cerita pendek Iwan Simatupang di surat
kabar Warta Harian dulu. Bedanya dengan Iwan, Mochtar tidak
mengesankan seorang tukang cerita yang tangkas. Dan, seperti
juga sejumlah besar "cerita pendek berbahasa lancar" di majalah
Horison misalnya, kapan saja "isi yang penting" tidak terdapat,
ia memang mudah terlupakan.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini