Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cerita tentang Kematian

Aktor Anthony Hopkins dan Brad Pitt dipertemukan kembali. Namun, dengan skenario yang tersendat dan keinginan kuat untuk melucu (tapi gagal), film ini jadi serba tanggung.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEET JOE BLACK
Sutradara:Martin Brest
Skenario:Ron Osborn, Jeff Reno, Kevin Wade, Bo Goldman
Pemain:Anthony Hopkins, Brad Pitt
Produksi:Universal Pictures

Perkenalkan. Nama saya Joe Black. Aku adalah roh gentayangan yang melayang-layang selama satu milenium dan penasaran ingin mencicipi kehidupan modern. Ah, kebetulan seorang pemuda ganteng tewas tertabrak mobil. Maka, aku pun masuk menyelusup ke dalam raga pemuda itu. Siapa yang enggak mau? Wong pemuda ganteng itu diperankan oleh Brad Pitt, pasti semua wanita jatuh cinta padaku....

Demikianlah inti cerita hantu-hantuan yang manis ini. Pada 30 menit pertama, film ini seolah-olah memperlihatkan sebuah kisah intrik bisnis yang terjadi dalam perusahaan holding Bill Parrish. Parrish berniat melakukan merger dengan perusahaan lain yang berniat menjual kembali—dengan mengupas perusahaan itu menjadi "onderdil" kecil untuk kemudian dijual kembali. Pendiri dan pemiliknya, Bill Parrish (Anthony Hopkins), hampir saja menyetujui usul merger itu—mengingat utang yang membebani perusahaannya—sampai saat terakhir ketika tiba-tiba ia dikunjungi "roh gentayangan" itu, sang Joe Black (Brad Pitt). Tugas Joe Black adalah mengajak Parrish ke dunia baka pada saat Parrish mencapai usianya yang ke-65 (yang akan dirayakan hanya beberapa hari lagi). Dan selama mendampingi Parrish, Joe meminta Parrish untuk mendidik dirinya menikmati petualangannya di dunia—termasuk menikmati hidupnya dengan raga—hingga saatnya mereka harus bersama-sama kembali ke alam baka.

Maka, isi film ini kemudian menjadi sebuah "komedi romantis" yang berakhir dengan kecengengan. Saya sebut "komedi romantis" karena sutradara Martin Brest punya keinginan untuk menertawakan keluguan roh nyasar itu di dunia modern (pertama kali berciuman, pertama kali bersetubuh, pertama kali menikmati selai kacang hingga ketagihan). Tetapi, melucu dan ingin melucu adalah dua hal yang berbeda. Melucu adalah salah satu pekerjaan yang terberat dalam kesenian, ingin melucu adalah sebuah keinginan yang—biasanya—gagal karena cita-cita itu jauh lebih besar dan berat daripada kemampuan pelaku. Sutradara Jerry Zucker, yang berhasil membuat komedi yang semarak tentang kematian dan roh yang gentayangan dalam film Ghost, tergolong sutradara yang bisa melucu. Brest tergolong dalam pencipta yang kedua. Dia ingin melucu tentang kematian. Namun, tokoh Joe Black, yang merupakan personifikasi kematian, tidak lucu karena dia menjadi begitu serius dan sendu.

Dia jatuh cinta pada Susan Parrish, putri bungsu Parrish yang jelita.Tiba-tiba saja dia tak ingin pergi karena menikmati apa yang didapatnya dalam kehidupan di milenium kedua ini, sebuah abad yang baru dikenalnya. Apa daya, dia harus pergi sekaligus membawa roh Bill Parrish bersamanya.

Martin Brest memang bukan Woody Allen atau Jim Carrey, yang mampu menertawakan kematian dan tragedi. Bagi Allen, kematian harus dihadapi seperti kehidupan. Maka, tokoh-tokoh Allen yang sekarat atau roh gentayangan dalam film-filmnya seperti The New York Stories adalah tokoh-tokoh yang menikmati perannya di antara dunia yang fana dan alam baka. Namun, Bill Parrish dan Joe Black begitu serius menghadapi hari-hari akhir; begitu dramatis tapi begitu klise hingga reuni dua aktor besar ini—setelah pertemuan mereka dalam film The Legends of the Fall—menjadi sia-sia.

Brest, yang memiliki reputasi setelah sukses film Midnight Run dan Scent of a Woman, bukannya sutradara tanpa humor. Hidup getir bekas kolonel yang kehilangan penglihatan dalam film Scent of a Woman (dibintangi Al Pacino yang meraih piala Oscar terbaik pada 1992) ini menjadi sebuah komedi-tragis yang bisa menimbulkan tawa sekaligus air mata.

Meet Joe Black menjadi sebuah film yang serba tanggung. Humor dan keinginan untuk serius dan pretensi untuk berpuisi (perhatikan dialog "akhir hidup" Joe dan Parrish yang memandang langit di atas bukit sebelum mereka melepas nyawa) tak kunjung mencapai getar atau pesona. Film ini memang film Hollywood, tapi Brest tak perlu menjatuhkan karyanya menjadi klise yang berkepanjangan. Apalagi, di situ ada Anthony Hopkins dan Brad Pitt. Betapa mubazir.…

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus