Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cukong Baru, Siap Dikorup

Badan Penyehatan Perbankan Nasional menjelma menjadi satu konglomerasi baru dengan kekayaan Rp 360 triliun. Akan menjadi sumber korupsi baru?

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APALAH artinya sebuah nama. Lihat saja Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kalau cuma melihat labelnya, lembaga di bawah Departemen Keuangan itu mestinya jadi semacam tempat perawatan bagi bank-bank yang sakit. Tapi tengoklah bisnis macam apa yang sedang dikerjakan BPPN saat ini. Lembaga "penyehatan perbankan" itu bak sebuah konglomerasi raksasa. Ia mengelola lebih dari Rp 360 triliun kekayaan negara, baik berupa tagihan maupun penyertaan modal, yang tersebar di pelbagai perusahaan. Hari-hari ini, BPPN memang telah beralih menjadi berfungsi dalam dua peran. Yang pertama, sebagai kreditur alias pemberi utang. Peran ini diperoleh setelah bank-bank, baik swasta maupun BUMN, menyerahkan piutang mereka yang macet. Dari tujuh bank pemerintah, BPPN telah mendapatkan Rp 100 triliun. Dari 10 bank yang dibekukan tahun lalu, BPPN memperoleh Rp 30 triliun. Sekitar Rp 70 triliun lagi akan digaet BPPN dari 38 bank yang ditutup Maret lalu. Total jenderal, lembaga yang berumur setahun itu kini sudah punya tagihan sekitar Rp 200 triliun. Peran kreditur ini dimainkan oleh salah satu unit BPPN yang disebut sebagai Asset Management Credit alias AMC. Yang kedua, BPPN sebagai cukong alias pemilik modal. Peran ini didapat karena para pemilik bank, baik yang ditutup maupun diambil alih, tak mampu membayar kewajibannya secara kontan. Sebagai ganti, para pemilik bank itu menjaminkan aset-aset, saham-saham, dan harta kekayaan mereka ke BPPN. Dari 12 bank yang ditutup dan diambil oper tahun lalu (termasuk BCA, Danamon, BDNI, BUN, dan Bank Modern), BPPN memiliki penyertaan modal di ratusan perusahaan senilai Rp 112 triliun. Dari bank-bank yang ditutup dan diambil alih tahun ini (seperti Bank Nusa Nasional, Bank Duta, dan Bank Bira), diperkirakan BPPN akan menggaet harta penyertaan saham Rp 48 triliun. Peran cukong ini dimainkan oleh Asset Management Investment alias AMI. Lalu, bagaimana BPPN memainkan kedua peran ini? Sang cukong memang belum banyak beraksi. Aset-aset milik para bankir itu memang akan segera dijual. Untuk itu, BPPN akan segera melakukan pamer keliling (road show) ke sejumlah negara yang lagi banyak duit. Tapi, rencana ini tak akan digelar sebelum suhu politik di Indonesia mendingin. Masuk akal, mestinya sulit mengharapkan para investor mau bermurah hati di tengah risiko politik yang begini besar. Nah, yang kini sedang sibuk "cuci-cuci" adalah peran BPPN sebagai kreditur. Selain sibuk, peran ini memang menyita perhatian publik. Wajar saja, dalam daftar 800 perusahaan yang punya tunggakan utang Rp 100 triliun itu, ditemui proyek-proyek raksasa milik nama-nama besar yang pernah punya koneksi politik begitu kuat. Misalnya, PT Timor Putra Nasional, pemegang proyek mobil nasional. Perusahaan milik Tommy Soeharto ini tercatat sudah mencairkan pinjaman US$ 400 juta?dari US$ 625 juta yang direncanakan?melalui tiga bank pemerintah. Selain Timor, ada pula megaproyek Chandra Asri (dengan pinjaman US$ 2,7 miliar), lalu pengelola tata niaga cengkeh BPPC (Rp 900 miliar), Apac Centertext (nama baru raksasa tekstil Kanindotex) milik Bambang Trihatmodjo (Rp 900 miliar), dan pabrik petrokimia Trans-Pacific Petrochemical Indotama milik Hashim Djojohadikusumo (Rp 500 miliar). Yang lain? Sabar, tunggu saja. Daftar lengkapnya masih dikumpulkan. Menurut Wakil Ketua BPPN yang membawahi AMI, Eko Santoso Budianto, daftar para penunggak itu akan segera diumumkan. Yang lebih penting: bagaimana BPPN akan menangani tagihan-tagihan macet itu? Tampaknya mustahil bagi sang cukong untuk memaksa para penunggak utang membayar sesuai aturan. Yang benar saja. Para peminjam itu sedang menghadapi iklim usaha yang tengah sembelit. Mereka harus bertarung dengan ongkos produksi yang makin menggila (biaya impor bahan baku menanjak seiring naiknya dolar, cicilan utang ikut membengkak) serta pasar yang melemah. Akibatnya, biaya membengkak, penjualan gagal didongkrak. Mau main paksa seperti apa pun, mereka tetap tak mampu menunaikan kewajibannya. Jadi, alternatif lain harus dicari. Yang paling lazim adalah menjadwal ulang masa pelunasan utang. Bisa diperpanjang, tentu dengan penyesuaian suku bunga yang lebih mahal, atau bisa juga diperpendek dengan insentif haircut. Maksudnya, nilai utang didiskon jika masa pelunasannya bisa lebih cepat dari jadwal. Selain penjadwalan, utang yang macet bisa juga "dicairkan" dengan mengubahnya menjadi penyertaan saham alias debt to equity swap. Pemerintah mengubah tagihan utang menjadi penyertaan saham. Tentu saja, tak semua utang yang macet bisa begitu saja diubah menjadi penyertaan saham. Langkah ini hanya bisa diterima jika masa depan debiturnya masih oke. Kecuali itu, nilai perusahaan yang diambil oper juga harus masuk akal. Cara lain? Masih banyak. Misalnya, mencarikan investor baru yang mau menambah modal sehingga kemampuan perusahaan membiayai dirinya sendiri, termasuk membayar tagihan utang, meningkat. Atau, kalau perlu, dengan memberi injeksi pinjaman baru agar roda perusahaan berputar. Terakhir, dengan politik bumi hangus. Jika perusahaan memang tak punya prospek, apa boleh buat, mestinya dilikuidasi, ditutup. Tapi, menurut Eko, cara ini dipilih jika jalan lain sudah buntu. Cuma, masalahnya, cara apa pun yang dipilih, tampaknya tak mudah bagi BPPN untuk menarik tagihan-tagihan macet ini. Ada banyak hambatan. Yang pertama, tak semua penunggak utang itu masih atau sudah beroperasi. Banyak contoh. Proyek cengkeh dalam BPPC, misalnya, sudah ditutup sejak hampir dua tahun lalu. Proyek mobil nasional di Timor Putra Nasional juga sudah layu sebelum berkembang. Pabrik perakitannya di Cikampek kini terbengkalai tanpa pernah bisa diselesaikan. Proyek petrokimia dalam Trans-Pacific di Tuban juga setali tiga uang. Proyek bernilai triliunan rupiah itu ditunda sampai waktu yang tak ditentukan. Pemiliknya, pengusaha Hashim Djojohadikusumo, memang masih rajin mencari investor baru. Tapi, hingga kini, pembangunan proyek di Tuban belum bisa dilanjutkan. Belum lagi sejumlah proyek konstruksi, misalnya jalan tol dan proyek properti (hotel, gedung perkantoran) yang baru setengah jadi. Dalam hal proyek Tuban atau properti, barangkali BPPN masih bisa menemukan investor yang ingin melanjutkan. Tapi, bagaimana dengan BPPC atau Timor? Apakah untuk itu tata niaga cengkeh dan insentif istimewa pembebasan pajak untuk "mobil nasional" harus diberikan lagi? Coba saja. Itu baru beberapa kesulitan yang gampang dilihat. Yang lain, BPPN bukanlah satu-satunya lembaga yang punya tagihan kepada perusahaan-perusahaan ini. Masih banyak kreditur lain. Dalam hal proyek Timor, misalnya, ada Direktorat Jenderal Pajak yang lagi berusaha menyita pabrik perakitan di Cikampek. Setelah pelbagai fasilitasnya dicabut, Timor memang diharuskan membayar tunggakan pajak berupa bea masuk, pajak pen-jualan barang mewah (PPn-BM), dan kewajiban pajak yang lain. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 3,1 triliun. Jika BPPN mau mengambil Timor baik dengan mengubah utang menjadi penyertaan saham maupun dengan melikuidasinya, lembaga ini harus bertarung dulu dengan aparat pajak. Penyelesaian dengan penjadwalan utang juga bukan tanpa masalah. BPPN harus pintar-pintar menyesuaikan kemampuan perusahaan dengan pelunakan utang yang bisa diberikan. Kalau penjadwalannya terlalu ketat, bisa-bisa kreditnya akan tetap macet. Tapi, sebaliknya, jika subsidinya terlalu longgar, tak akan ada uang yang masuk ke kantong pemerintah. Ketat longgarnya penjadwalan utang ini, agaknya, bisa menjadi sumber permainan baru. Seorang ekonom mengingatkan trik satu bank BUMN yang menjadwalkan utang sebuah raksasa industri tekstil di Jawa Tengah dengan insentif yang luar biasa empuk. Ketika itu, kredit komersial jangka pendek berbunga 20 persen dijadwalkan dengan suku bunga cuma dua persen untuk masa pelunasan delapan tahun! Begitu lunaknya sampai seperti tak perlu bayar. "Kalau yang seperti ini juga terjadi di BPPN, ya, sama saja bohong," katanya. Repotnya, hingga kini memang tak ada ukuran evaluasi bagi BPPN. Dari aset macet Rp 200 triliun itu, berapa yang bisa dikembalikan ke tangan pemerintah? Tak ada target yang jelas. Mengenai hal ini, seorang pejabat di Departemen Keuangan meminta diberi pengertian. Katanya, tugas BPPN hanyalah mengurangi, sampai sedikit mungkin, kerugian yang diderita pemerintah. Jadi, "Bukan mengembalikan uang rakyat yang sudah dikemplang para pengusaha besar itu," katanya. Boleh-boleh saja. Asal, longgarnya target itu tak dimanfaatkan sebagai sumber korupsi baru. Dwi Setyo, M. Taufiqurahman, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus