Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cinta Ditolak, Muncullah Padi

Kisah Goro-Goro: Mahabarata 2 tak jauh dari urusan hati dan kendali emosi.

30 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pementasan Teater Koma, Goro-Goro: Mahabarata 2, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu, 24 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi Lokawati (Netta Kusumah Dewi) hanya diam seribu bahasa. Ia duduk bersimpuh di hadapan Batara Guru (Slamet Rahardjo Djarot), raja para dewa di kayangan. Sang raja dewa menanyakan kesediaan Dewi yang pandai menembang dan menari itu untuk menjadi istrinya. Namun Dewi tak menjawab sepatah kata pun. Marah karena tidak diacuhkan, Batara Guru mengucap kata yang menjadi kutukan, "Kamu diam selayaknya sebatang tanaman!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak lama kemudian, Dewi Lokawati berubah wujud menjadi serumpun tanaman. Batara Guru menyesal karena telah kalap dan sembarangan berucap. "Kakang Narada, ingsun harus belajar lagi mengendalikan diri dengan ucapan ingsun," ujar Batara Guru kepada Narada. Batara Guru seperti sedang menyindir dirinya sendiri yang "keceplosan" menyumpahi Dewi Lokawati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumpun itu bertangkai-tangkai dengan bulir-bulir biji yang gemuk-gemuk. Kelak itulah tanaman yang disebut padi. Batara Guru kemudian memerintahkan Batara Narada untuk menurunkan padi ke marcapada, ke Kerajaan Medangkamulyan, untuk makanan para wayang.

Namun rupanya kutukan Batara Guru ini berbuntut panjang hingga ke marcapada. Keributan dan kegegeran tak dielakkan di Medangkamulyan, ketika pasukan raksasa kerajaan Sonyantaka menyerbu kerajaan para wayang ini. Di Medangkamulyan ada Semar (Budi Ros), sementara di Sonyantaka ada Togog (Bayu Darmawan Saleh), yang ditugasi turun ke marcapada.

Demikianlah Nano Riantiarno, penulis naskah dan sutradara Teater Koma, menerjemahkan kisah Mahabarata dengan cerita berjudul Goro-Goro: Mahabarata 2. Teater Koma mengisahkan lakon lanjutan dari kisah sebelumnya, Mahabarata: Asmara Raja, ini di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 25 Juli-4 Agustus 2019. Lakon kali ini juga tak jauh dari urusan cinta dewa. Cinta ditolak, muncullah goro-goro atau keributan.

Seperti dalam lakon-lakon sebelumnya, Nano menghadirkan kisahnya dengan durasi panjang, hampir empat jam. Ia memulainya dengan kilas balik di Mayapada, juga kehadiran Togog, Semar, dan Batara Guru. Lalu transformasi para dewa yang sakti rupawan menjadi punakawan yang bertugas mengabdi kepada para wayang. Kilas balik dan adegan Kerajaan Mayapada Batara Guru ditonjolkan di panggung dengan properti dan latar layar dengan sorotan konten multimedia. Kali ini, konten multimedia terlihat lebih rapi dan tidak berlebihan.

Cerita Mahabarata ini tak hanya berfokus pada satu kisah, tapi juga lapisan kisah yang lain. Ada kisah Batara Kala (Hengky Gunawan), anak Batara Guru, raksasa pemakan wayang, yang diperbolehkan memangsa wayang yang lahir dengan kondisi tertentu dan membunuh wayang itu dengan gadanya. Batara Kala digambarkan sebagai raksasa yang seram, tapi bertingkah kekanak-kanakan. Ia kemudian datang ke Medangkamulyan untuk mengejar Dewi Srinandi (Tuti Hartati), putri Batara Wisnu (Rangga Riantarno). Dewi Srinandi bersembunyi dan menyamar sebagai padi dan kelak ia menyatu dengan Dewi Lokawati.

Batara Kala bersekutu dengan Raja Sonyantaka, Bukbangkalan (Idries Pulungan), yang menyerbu Medangkamulyan, untuk menjarah padi yang menguning. Adegan itu ditunjukkan dengan konten multimedia ratusan tikus dan belalang di layar dan penampil berkostum tikus di panggung. Sebuah kritik muncul dari dialog para raksasa Sonyantaka, yang menyorot tindakan menggarong padi siap panen adalah tindakan mau enaknya saja, pikiran yang terbiasa instan, dan tak mau berproses. "Kami bukan peminta-minta," ujar Bukbangkalan.

Beberapa kali penonton dibuat tertawa. Misalnya ketika Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berceloteh dan menyindir situasi sosial-politik, menyentil para elite politik negeri ini. Penonton Koma pasti mafhum sentilan-sentilan khas kelompok teater ini.

Hal yang cukup menjadi perhatian dalam pementasan kali ini adalah hadirnya aktor kawakan Slamet Rahardjo Djarot. Pada usianya yang ke-70 tahun ini, Slamet masih cukup prima berperan sebagai Batara Guru, tokoh sentral dalam lakon ini. Kemampuannya berakting di panggung boleh diacungi jempol. Slamet mengaku kembali ke dunia teater seperti detoks baginya.

Aktor film ini terjun ke dunia akting berangkat dari dunia teater di Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Pentas ini menjadi ajang reuni bagi Slamet dan Nano di panggung. Nano dan Slamet adalah kawan seangkatan di Akademi Teater Nasional Indonesia. Mereka juga pernah bersama-sama bermain di Teater Populer, meski Nano tak bertahan lama dan kemudian mendirikan Teater Koma. Kini, "goro-goro" mempertemukan mereka.

DIAN YULIASTUTI

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus