Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

D. Zawawi Imron Penerima Penghargaan Achmad Bakrie Awards 2024: Yang Hebat Bukan Saya, tapi Ayah dan Ibu Saya

Sastrawan D. Zawawi Imron menjadi satu dari lima penerima Penghargaan Achmad Bakrie XX 2024, untuk kategori apa? Berikut profilnya.

17 Agustus 2024 | 18.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan D. Zawawi Imron menjadi satu dari lima penerima Penghargaan Achmad Bakrie XX Tahun 2024. Zawawi menerima anugerah di bidang Seni dan Budaya: Sastra. “Award” ini akan diserahkan pada Malam Penganugerahan Penghargaan Achmad Bakrie XX 2024 di Ciputra Artpreneur Theatre Jakarta, Ahad, 25 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Para penerima penghargaan dipilih oleh dewan juri yang kompeten dengan berbagai latar belakang dan kepakaran,” kata Ketua Penyelenggara Penghargaan Achmad Bakrie XX 2024, Aninditha Anestya Bakrie dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024, dikutip dari Antara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain budayawan Madura dan penyair Zawawi, keempat orang lain penerima Achmad Bakrie Awards 2024 adalah Jusuf Wanandi yang dianugerahi penghargaan di bidang Pemikiran Sosial, Afriyanti Sumboja di Sains dan Teknologi, dr Harapan di bidang Kesehatan, dan Grandprix Thomryes Marth Kadja yang mendapat Penghargaan Khusus: Ilmuwan Muda.

Zawawi Imron bukan hanya sastrawan tapi ia pun seorang budayawan, menanggapi anugerah yang diberikan kepadanya itu dengan rasa syukur. "Itu yg wajib saya syukuri, bahwa sejak kecil saya main-main dengan kata-kata tidak sia-sia. Ada orang yg mengerti dan menghargai kerja sastra saya. Itu lebih baik daripada puisi saya hanya dianggap angin lewat," katanya kepada Tempo.co, Sabtu, 17 Agustus 2024.

"Nilai-nilai yang tersurat dan tersirat dalam puisi saya berarti ada yg sampai pada hati pembaca. Berarti semua pembaca Itu otomatis menjadi sahabat saya dalam dunia seni. Persahabatan dan persaudaraan yg bertumpu pada rasa seni ini akan melahirkan kelembutan dan kasih sayang," kata pria kelahiran Batang-batang, Sumenep, 1 Januari 1945.

"Itulah kenapa penghargaan yang saya terima selama ini menjadi saran dan tantangan kepada saya bahwa saya harus menghargai orang lain, atau kerennya menghargai kemanusiaan,: kata dia. "Sebagian dari para formalis menganggap seni itu mainan anak muda. Padahal kalau kita menghidupkan intuisi dan "rasa yg dalam" kita akan dapat melembutkan jiwa dan memekarkan rasa kasih sayang, sehingga tak punya waktu untuk benci dan marah," katanya.

Karena itu, menurutnya, apapun penghargaan itu ia hargai dan hormati. "Di samping berdoa semoga tahun depan pada gilirannya mendapat durian runtuh juga. Selain itu dengan penghargaan ini saya tak boleh congkak dan merasa hebat, karena kalau direnungkan lebih dalam, yang hebat bukan saya, tapi ayah dan ibu saya yg membesarkan saya dan mendoakan saya," katanya.

Selanjutnya : Profil Sastrawan D. Zawawi Imron

D. Zawawi Imron merupakan salah seorang sastrawan legendaris yang dimiliki Indonesia saat ini. Pria sepuh kurang lebih seusia kemerdekaan Republik Indonesiaberasal dari Batang-Batang, sebuah dusun yang terletak sekitar 23 kilometer dari Sumenep, sebuah kota kabupaten di ujung paling timur Pulau Madura.

Dilansir dari laman Ensiklopedia.kemdikbud.go.id, karena keterbelakangan dan keterpencilan daerah kelahirannya, Zawawi tidak mengetahui tanggal kelahirannya secara tepat. Namun, untuk kepatutan dalam urusan administrasi, dalam KTP tercatat pada tanggal 19 Sepetember 1946. Sementara itu beberapa laman situs mencatat Zawawi lahir pada 1 Januari 1945.

Dia hanya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR), kini setara SD. Setamat dari SR, ia lalu nyantri di pondok pesantren di Lambi Cabbi, Desa Gapura Tengah, Sumenep, sejauh 40 kilometer dari kampung halamannya. Setahun setengah menjadi santri, Zawawi lalu mengikuti ujian PGA dan berhasil lulus sehingga memperoleh ijazah yang memberinya peluang untuk menjadi guru di SD.

Selepas SR, Zawawi yang mempunyai nama panggilan Cak Imron itu juga pernah melakukan pekerjaan serabutan, seperti mengangkut kantong daun siwalan, mengumpulkan batu untuk pembuatan jalan, dan menjadi kuli angkat barang. Pekerjaan rutinnya sehari-hari adalah guru mengaji. Di samping itu, ia senang membaca koran, majalah, ataupun buku-buku yang rutin dibelinya dari kota sepekan sekali.

Kegemarannya akan literasi membangun Zawawi sebagai sosok yang menggemari sastra. Pertama kali Zawawi menulis sajak ketika berusia 17 tahun dalam bahasa Madura. Selanjutnya, Zawawi beralih menulis dalam bahasa Indonesia setelah teman-temannya mengomentari bahwa ia tampak kolot saat membacakan sajaknya dalam bahasa Madura.

Semangat Zawawi menulis syair rupanya menarik perhatian camat di tempat tinggalnya, Sutama namanya. Sutama mengizinkan Zawawi mengetik puisi-puisinya, yang kemudian dikirimkan Sutama ke Mingguan Bhirawa (Surabaya) asuhan Suripan Sadi Hutomo. Puisi Zawawi untuk kali pertama terbit di media 1974.

Zawawi memang berbakat, walau dari daerah terpencil dan hanya melahap literasi dari koran dan majalah bekas, karyanya ternyata berkilau. Di memenangi sayembara cipta puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia pada 1979. Tak hanya syair, dua tahun kemudian, pada 1981, ia menang lomba mengarang buku bacaan SD yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sebagai penyair, nama Zawawi Imron mulai mengorbit setelah kritikus Subagio Sastrowardojo membicarakannya pada acara Pertemuan Penyair Sepuluh Kota yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada April 1982. Pada tahun itu juga, dalam acara Temu Penyair Muda di Taman Ismail Marzuki, Subagio Sastrowardojo memilihnya sebagai salah satu penyair terbaik bersama Kriapur.

Tulisan-tulisan Zawawi pun banyak dimuat di koran-koran dan majalah pusat dan daerah seperti Suara Karya, Bhirawa, Berita Buana, Sinar Harapan, Horison, Zaman, Liberty, dan Panji Masyarakat. Buku kumpulan sajaknya, antara lain, ialah Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautan (1978), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku, Air Mata, Celurit Emas, Derap-Derap Tasbih (1993), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), dan Mata Badik Mata Puisi (2012).

Di samping sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai penceramah di wilayah sekitar Madura dan Jawa Timur. Namanya pun sudah tidak asing lagi bagi majelis-majelis taklim di lingkungan Muhammadiyah, Aisyiah, Pelajar Islam Indonesia (PII), IPNU, dan Persatuan Ukhuwah Islamiyah.

Walau hanya lulusan SD, dia juga pernah mengisi kuliah umum di IKIP Surabaya dan Universitas Jember. Bahkan pernah jadi Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam pada Maret 2002.

Berikut karya-karya D. Zawawi Imron

- Semerbak Mayang (1977)

- Madura Akulah Lautmu (1978)

- Celurit Emas (1980)

- Bulan Tertusuk Ilalang (1982)

- Raden Sagoro (1984)

- Nenek Moyangku Airmata (1985)

- Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)

- Lautmu Tak Habis Gelombang (1996)

- Madura Akulah Darahmu (1999)

- Lautmu Tak Habis Gelombang (2000)

- Sate Rohani dari Madura: Kisah-kisah Religius Orang Jelata (2001)

- Soto Sufi dari Madura: Perspektif Spiritualitas Masyarakat Desa (2002)

- Jalan Hati Jalan Samudra (2010)

- Mata Badik Mata Puisi (2012)

Karya-karya Zawawi telah mendapatkan tempat di hati penggemar sastra. Sajaknya, Bulan Tertusuk Ilallang, bahkan mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak dengan judul yang sama. Beberapa puisinya juga telah digubah menjadi musik untuk vokal klasik dan piano oleh komponis dan pianis Ananda Sukarlan, yang dianggap dunia musik klasik sebagai tokoh paling utama genre Tembang Puitik di Indonesia.

Juga, kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985. Tak hanya itu, berkat Nenek Moyangku Airmata, Zawawi bahkan menerima penghargaan “The S.E.A Write Award” di Bangkok Thailand, The S.E.A pada 2012. Write Award merupakan penghargaan dari keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN.

Pada 2018, D. Zawawi Imron menerima penghargaan sebagai tokoh yang berjasa di bidang kebudayaan dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia, Kemendikbud. Penghargaan ini diserahkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Hingga kini, Zawawi masih setia tinggal di Batang-batang, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID | S. DIAN ANDRYANTO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus