Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”kami baru saja ke puncak, lalu menari dekat kawah.”
Siang itu, begitu kabut yang likat mulai memudar, sosok tegar Gunung Sumbing, gunung terbesar kedua di Jawa Tengah itu, terlihat jelas dari Desa Krandegan, Jawa Tengah. Kepala Dusun Sumarno menunjuk ke arah puncak gunung yang berbentuk strato itu.
Ia membenarkan berita yang didengar Tempo bahwa dua minggu lalu, Jumat Kliwon, atas petunjuk ”gaib” seorang bocah cilik, para penari Desa Krandegan mendaki. Puncak tertinggi Sumbing seperti ceruk. Begitu sampai di atas, orang harus masuk, turun ke sebuah tanah pasir luas, dan dari situ berjalan naik lagi menuju kaldera. Di tanah lapang itu dipercaya terdapat makam Ki Ageng Makukuhan, leluhur mereka. Dari pukul 12 malam sampai fajar menyingsing tetabuhan terus dibunyikan. ”Semua penari ikut,” tutur Sumarno sambil memandang para pemain jatilan yang sedang kesurupan. ”Rombongan seluruhnya 70 orang, semua gamelan desa kami bawa, perjalanan menempuh waktu enam jam.”
Desa pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan air laut tersebut memang penuh dengan mitologi. Pagi itu, Sutanto, aktivis kesenian yang rumahnya tak jauh dari Candi Mendut, membawa teman-temannya: buruh, tukang becak anggota UPC (Urban Poor Consortium) ke Krandegan. Berkaitan de-ngan Festival Gunung Sejawa, seluruh kesenian kuda lumping ditampilkan. Ribuan penduduk menghentikan pekerjaannya. Berjubel menonton sampai naik atap rumah. Para warok kerasukan danyang, lelembut pamengku desa, Kiai Gadung Melati. Satu per satu mereka bergelimpangan, melonjak-lonjak, kalap mengunyah lisong atau kayu membara. Baru tenang kembali ketika dipeluk-rangkul para sesepuh desa yang sesekali melekapkan mereka ke dada Nur Halim, bocah delapan tahun yang ”dianggap” itu.
Kesenian paling tua di desa ini adalah Sandur Sundi, yang menampilkan kisah seperti Ande-ande Lumut. Bila bulan Sapar, semua kesenian dipentaskan, termasuk tayub semalam suntuk, meski desa ini tidak memiliki ledhek. ”Tiap malam kami selalu selawatan Serat Wulang Reh,” kata Sarwo Edi, penggerak Cahyo Budoyo Sumbing, sanggar desa ini. Desa yang dahulunya tergolong makmur: rata-rata warga memiliki rumah besar, meski sekarang tak terawat, karena terpuruknya ekonomi.
”Dahulu harga jual satu kilo bawang Rp 5.000, sekarang cuma Rp 3.000, padahal pupuk serta obat-obatan makin mahal,” keluh Priyoto, 60 tahun, yang sejak umur 11 tahun menjadi penari Yuyu Kangkang. Itulah sebabnya mengapa mereka kemudian naik ke kawah. ”Kami menari kepada Tuhan dan Kiai Mekukuh agar rezeki mengalir,” kata Priyoto. Mereka percaya pada wisik yang diberikan Nur Halim. ”Saat umur enam tahun. Dia jatuh dari genting, terantuk batu, malah batunya yang pecah, dia lalu bisa mengobati tetangga-tetangganya, tapi menolak bila orang menanyakan nomor buntut,” kata Priyoto.
Membayangkan para warga dusun itu merangkak pagi buta di tebing bebatuan, di tengah udara membeku, menuju kaldera hanya untuk menggelar jatilan, tentulah luar biasa. Perjalanan yang mengingatkan tokoh sang aku yang mencari Ling-Shan, Gunung Jiwa dalam novel sastrawan Cina Gao Xingjian, peraih Nobel 2000. Sebuah gunung yang samar, antara ada dan tiada. Memang, bagi perspektif modern, ini di luar nalar. Tapi tentulah itu membutuhkan spirit dan penghayatan gerak yang—betapapun sederhananya—apresiasinya harus ditakar di luar ukuran estetika tari mana pun yang memuja bentuk. Kesenian rakyat di pegunungan memang tak bisa dipisahkan dari mitologi. Mitologilah yang menjaga daya tahan hidup dan harmoni.
Hari sebelumnya Festival Gunung Sejawa dilangsungkan di Dusun Gejayan, Kelurahan Banyu Sidi, di lereng Merbabu. Menuju desa pada ketinggian 850 meter dari permukaan laut itu, kita harus melewati hutan pohon pinus. Lereng Merbabu adalah tempat lahirnya kesenian tari Sorengan. Tari yang melukiskan para tamtama Arya Penangsang latihan perang ini sering menjadi inspirasi koreografer kontemporer muda semisal Eko Supriyanto atau Fajar Satriadi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo. Dipercaya, memang tari ini diwariskan dari bekas prajurit Arya Penangsang. Pada tahun 1550-an Penangsang—penguasa Kadipaten Jipang Panolan—dengan wilayah sekitar Pati, Lasem, Blora tak mau tunduk pada Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, penguasa Pajang yang meluaskan ekspansinya. Pasukan Penangsang kalah, lari ke lereng-lereng Merbabu.
”Kata soreng berasal dari nama prajurit Soreng Pati, Soreng Rangkut, Soreng Rono,” tutur Riyadi, Lurah Banyu Sidi. Menarik, kebanyakan ketoprak atau kesenian rakyat di Jawa Tengah menokohkan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, tapi di lereng Merbabu justru sebaliknya. Mulanya Soreng tumbuh di desa tetangga mereka Dusun Babadan dan Dusun Keditan, tapi ketika berangsur lenyap, kesenian ini tumbuh di Gejayan. ”Kita menambah penokohan, seperti Sunan Kudus,” kata Riyadi. Tari Soreng Gejayan, didahului adegan Sunan Kudus, meminta kekuatan pada Allah, lalu berbarislah 50 serdadu. Satu pacak prajurit bersenjata lembing, satu sap bergada. Tokoh Panangsang dengan siaga, dan kumis melintang mengamati pasukannya yang berganti-ganti formasi.
Tradisi memang banyak hilang, banyak datang. ”Tahun 80-an, dibantu Heri Dono dan Edy Hara, di Yogya, saya menggelar konser onomatopoeia, musik mulut menirukan bunyi-bunyi alam dan binatang,” kata Tanto. Dua puluhan tahun lalu, di lereng-lereng Merbabu dan Merapi, menurut Tanto, anak-anak desa masih mampu menirukan pelbagai bunyi suara burung, katak, sapi, kambing, musang, bahkan landak. ”Tapi sekarang saya cari sampai pucuk desa, sudah tak ada,” katanya. Hancurnya keragaman hayati dan pembinaan Golkar atas kesenian juga adalah penyebab banyak lirik sosial desa yang liar lenyap.
Salah satu niat Festival Gunung Sejawa adalah menstimulus agar kesenian rakyat terus bereksplorasi. Salah satu yang berhasil trunthung. Trunthung adalah instrumen pengiring Soreng. Bentuknya semacam rebana yang dipukul dengan stick bambu. Biasanya dalam Soreng hanya digunakan sebuah trunthung. Pertama kali menyaksikan Soreng, Tanto terpukau karena suara sinkopasinya sangat tajam, tak kalah dengan rebana Banyuwangi, Aceh. ”Di Jawa Tengah ritmenya tak tertandingi,” kata ”lulusan” Pekan Komponis Muda tahun 1979 ini. Tanto membayangkan puluhan—bukan hanya satu—trunthung dimainkan. Ia lalu mengumpulkan dan melatih warga dusun untuk mewujudkan itu.
Dan kini sebuah pertunjukan dengan 60 pemain trunthung telah menjadi biasa bagi masyarakat lereng Merbabu. ”Holobis kuntul baris…, terlihat para pemain trunthung Gejayan rampak dan sangat bersemangat, saat pentas di Studio Mendut. Di studio Tanto ini—dalam setiap festival seperti ini—seniman desa turun memperluas wawasan, mendengar Emha Ainun Nadjib, Darmanto Jatman, Gus Yusuf dari Pesantren Tegal Rejo, Wardah Hafidz, atau arsitek Prof. Dr. Andi Siswanto. ”Mereka pernah saya ajak berkolaborasi dengan komponis Philip Corner, Jack Body, dan sebuah grup balet dari Yunani,” kata Tanto. Tanto percaya, insting pegunungan sangat luwes dan imajinatif. ”Edan-edanan itu naluri,” katanya.
Pada saat bersamaan mereka tetap menjaga komunikasi tradisionalnya. Tiap Suro, misalnya, seniman Gejayan pentas di padepokan tari Desa Tutup Ngisor, di lereng Merapi, pimpinan Sitras Anjalin. Pelbagai tarian dari wayang wong sampai tari monyet dilatih di situ. Pekan ini, di Mendut mereka mementaskan wayang menak berjudul Pedang Kamkam Pamor Kencono, sebuah wayang wong yang gerak-gerik tangannya seperti wayang kulit. Tentu saja versi yang satu ini berbeda dengan keraton. ”Kami tiap tahun nyekar ke pusara Romo Yoso,” kata Riyadi. Romo Yoso adalah pendiri Tutup Ngisor sekaligus ayahanda Sitras Anjalin.
Masih banyak kesenian lain di lereng Merbabu, Sumbing, yang tak ”tercatat”. Di Dusun Gumelem, dekat Dusun Warangan, Merbabu, misalnya, Tanto pernah menemukan—semacam selawatan—diiringi rebana tapi liriknya dalam bahasa Jawa sangat erotis. ”Seluruh anatomi tubuh sampai bagian terlarang laki wanita disebut,” kata Dargo, penduduk Warangan yang pernah ikut selawatan. Dari tahun 1930-an juga, misalnya warga Dusun Keditan, setiap Lebaran berkostum burung-burungan, topeng taring, barong, macan-macanan, selalu datang, menari di mata air Dusun Gejayan. Di sana mereka berdoa—dinamakan sungkem tlompak. Mereka tak berani melanggar tradisi ini. ”Pernah dua kali tidak menari, Desa Keditan terkena wabah,” kata Riyadi.
Suatu kali Mao Zedong, pemimpin Cina termasyhur itu, mengatakan bahwa kesenian rakyat Asia dan penontonnya ibarat ikan dengan kolamnya. Kesenian tidak bisa dipahami lepas dari lingkungan manusianya. Agaknya, demikian juga kesenian pegunungan kita. Maka itu Tanto percaya: apabila Taman Nasional Gunung Merapi jadi direalisasikan, lalu petani dilarang mendekatinya dalam radius tertentu, baik untuk mencari nafkah maupun berkesenian, pasti akan muncul dampak sosialnya. Sebab, gunung adalah perjalanan batin.
Ia misteri sekaligus harapan.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo