Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran arsip Wagiono Sunarto dan Sapardi Djoko Damono di Taman Ismail Marzuki.
Membaca ulang perjalanan kesenimanan Wagiono dan Sapardi.
Wagiono dan Sapardi adalah dua mendiang tokoh besar pengajar Pascasarjana IKJ.
FOTO kecil hitam-putih di sela-sela dinding yang memasang karya-karya almarhum Wagiono Sunarto itu mencuri perhatian. Foto tersebut menampilkan sekawanan para mahasiswa seni rupa Institut Teknologi Bandung pada 1970-an. Terlihat empat mahasiswa dan seorang mahasiswi. Salah satu mahasiswa memiliki rambut kribo ala Gito Rollies, Ucok AKA, Achmad Albar, atau Dedy Stanzah pada era itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto itu dipakai Wagiono sebagai dasar bagi tiga karya cetak saringnya. Tampak Wagiono bereksperimen dengan gelap-terang. Satu karya menampilkan lekuk tubuh dan kostum lima sosok anak seni rupa ITB itu dengan garis hitam, sementara untuk dasar cetakan semua terang. Adapun karya kedua seperti negatif foto. Mata, garis tubuh, dan garis kemeja berwarna putih tapi dengan dominasi dasar hitam. Akan halnya yang ketiga, baik tubuh, kostum, maupun latar dibuat makin gelap sehingga sosok-sosok itu serupa siluet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini yang berdiri paling kanan Jim Supangkat. Dia dulu mahasiswa jurusan patung. Lalu yang kribo Bambang Ebon Sutopo. Dia mahasiswa desain furnitur. Lalu, ini saya. Dulu saya mahasiswa seni lukis. Sebelah kiri saya Bambang Prasetyo, jurusan keramik. Dan paling ujung kiri Wagiono, mahasiswa seni grafis yang kemudian jadi suami saya,” kata Sarwati Wagiono, istri almarhum Wagiono Sunarto. Ia lupa tahun berapa foto itu dibuat.
“Mungkin 1970 atau 1971. Tapi saya ingat foto ini diambil di rumah Jim di Jalan Siliwangi I, Bandung,” tutur Sarwati. Menurut Sarwati, banyak karya cetak saring Wagiono yang bertolak dari foto. Lalu ia menunjuk karya cetak saring lain yang dipasang di atas karya sebelumnya. Tampilannya lima sosok laki-laki telanjang dengan bagian kelamin ditutupi daun. “Ini sebetulnya empat cowok di atas plus Mas Priyanto Sunarto (dikenal kemudian sebagai kartunis Tempo), kakak Mas Wagiono. Fotonya juga ada. Tapi ya jangan dipasang,” ucapnya, kemudian tertawa.
Pameran seni rupa Urban Masters tribut to Sapardi Djoko Damono dan Wagiono Sunarto di Galeri Seni Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 27 Juli 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Banyak hal yang tak terduga dalam pameran arsip Tribute to Urban Masters: Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto yang berlangsung di Gedung Panjang Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Di kampus, keduanya dikenal sebagai akademikus cum seniman yang membaur ke segala lapisan. Arsip-arsip milik Sapardi sendiri termasuk langka. Enam buah boks kaca menampilkan manuskrip buku tulis milik Sapardi, tempat dia menulis sajak-sajaknya selama 1958 sampai akhir 1960-an. Buku tulis sederhana keluaran pabrik kertas Leces itu terlihat sudah rapuh, tapi masih jelas menampilkan goresan tangan Sapardi.
Dengan menggunakan bolpoin hitam, Sapardi Djoko Damono menulis sajak-sajaknya dengan huruf yang sangat kecil—hampir tak terbaca. Saat menjadi mahasiswa Sapardi masih menuliskan sajak-sajaknya di atas buku-buku skrip itu. Ia baru punya mesin tik saat sudah bekerja. Tampak tulisan tangan sajak Sapardi rapi dan telaten seperti menulis halus. Penyajian panel arsip-arsip ini dirancang oleh Rektor IKJ Dr Indah Tjahjawulan. Dipamerkan pula manuskrip cetakan stensilan ketikan sajak Sapardi yang dibacakan Sapardi di Universitas Diponegoro pada Januari 1972.
Infografis riwayat Wagiono dan Sapardi membantu pengunjung memahami perjalanan mereka sebagai seniman. “Saya baru tahu di Solo pada akhir 1950-an Sapardi sudah bersahabat dengan perupa Jeihan,” ucap Gandung Bondowoso, pengajar senior Program Studi Teater IKJ tatkala melihat foto Jeihan Sukmantoro dan Sapardi bersama saat muda ditempel di infografis. Menurut Bambang Bujono, kritikus seni rupa, yang juga berasal dari Solo, Jeihan dan Sapardi memang bersahabat sejak mereka masih di Solo. “Mereka berdua sama-sama di SMA Margoyudan Solo,” ujar Bambang.
•••
KOMPOSISI-KOMPOSISI grafis abstrak menjadi pilihan kurator Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta untuk menampilkan karya-karya Wagiono periode mahasiswa akhir 1960-an. Kita melihat seri karya cetak saring berjudul Komposisi 1-4 yang menyajikan improvisasi-improvisasi minimalis lengkung, garis, dot, dan bercak-bercak berwarna cerah dengan bidang dasar hitam atau putih. Selama menjadi mahasiswa, Wagiono aktif mengeksplorasi teknik cetak saring, etsa, dan cukil kayu lino. Ia membuat poster-poster pameran dan menggagas pasar seni ITB bersama Jim Supangkat dan kawan-kawan.
Selanjutnya, lulus dari Institut Teknologi Bandung, ia malang melintang menjadi animator di perusahaan animasi, seperti PT Anima Indah Film dan Nusa Anima. Ia membuat banyak animasi iklan televisi. Ia kemudian terjun sebagai praktisi komersial dunia grafis. Ia, misalnya, memimpin perusahaan konsultan desain besar PT Grapik Grapos Indonesia (1983-1996) dan menjadi direktur desain dan konsultan grafis PT Viscomundi Nusa. Pameran menyajikan berbagai sketsa spidol Wagiono di atas kertas berbagai ukuran. Agaknya di sela-sela pekerjaannya periode itu tangannya selalu gatal mencari alternatif desain dan artwork. Termasuk seri spidol bergambar torso nude. Itu adalah gambar seorang perempuan telanjang tengah rebah yang, meski hanya digores tak lengkap, tampak kuat.
Pameran seni rupa Urban Masters tribut to Sapardi Djoko Damono dan Wagiono Sunarto di Galeri Seni Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 27 Juli 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Betapapun bekerja di ranah industri, Wagiono juga aktif terlibat dalam gerakan-gerakan seni. Di antaranya Gerakan Seni Rupa Baru 1975-1977 dan Persatuan Seniman Gambar Indonesia. Dalam buku Gerakan Seni Rupa Baru, foto dirinya terpampang di antara foto seniman lain, yaitu Ris Purwono, S. Prinka, A. Soebroto, Satyagraha, Pandu Sudewo, Dede Eri Supriya, Jim Supangkat, Bachtiar Zanoel, Nanik Mirna, Hardi, Harsono, Agus Tjahjono, dan Bonyong Munni Ardhi. Foto itu terletak tepat di sebelah artikel “Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Wagiono pada 1990-an juga aktif membuat poster sosial bernada kritis, dari kritik terhadap pencemaran lingkungan, permukiman padat, produksi ikan di teluk Banten yang menurun, sampai isu kesehatan.
Wagiono agaknya juga tertarik mengolah imaji-imaji dunia wayang dengan semangat main-main, jenaka, dan kritis. Ia membaurkan mitologi, folklor, dan khazanah foto serdadu-serdadu keraton. Pameran banyak menampilkan “gambar-gambar wayang” pulpen Wagiono dengan tingkat keterampilan arsir tinggi. Ia juga mengolah citra-citra vintage produk-produk retro, dari gambar bungkus rokok, kotak korek api, kaleng selai, sampai lembaran uang kuno yang dijadikan materi kalender atau kartu-kartu pos. “Sewaktu menggambar kita tak punya persiapan mental dan komitmen hebat-hebat. Gambar bisa dimulai dan berakhir kapan saja,” demikian kutipan Wagiono yang dipanelkan di pameran itu, merepresentasikan cara bekerja Wagiono.
Wagiono tak berhenti berkarya. Sampai menjabat Rektor IKJ 2009-2016, ia terus memproduksi kalender, poster, artwork, ilustrasi, dan kartun. “Di rumah masih banyak karya Bapak yang belum dipamerkan,” kata Sarwati Wagiono. Bahkan Wagiono terus-menerus melakukan studi kartun. Disertasinya, “Soekarno dalam Kartun: Mitos dan Kontra Mitos”, adalah sebuah disertasi yang berbasis riset serius yang mengamati sosok Sukarno dalam kartun media massa pada 1950-an. Salah satu ilustrasi kartun atau komik Wagiono sendiri yang kuat adalah komik seri persoalan seni. Di majalah Kalam pada 1994 ia, misalnya, menampilkan kartun kocak berbentuk tanya-jawab orang-orang awam seputar teori Post-Modernism dan seni instalasi. “Gua sebel peminat seni juga pada snobisme. Sok diskusi, padahal sebenarnya pada gak peduli…. Lu macem-macem aja udah bagus, mereka sok seneng.”
Akan halnya Sapardi mulai menulis sajak sejak 1957. Dua sajak awalnya yang berjudul “Ulang Tahun” dan “Liburan” yang ditulisnya saat masih di kelas II sekolah menengah atas pada 1958 secara tak terduga menembus lembar Seni dan Kebudayaan majalah Mimbar Indonesia yang diasuh Hans Bague Jassin. Itu sebuah capaian tinggi bagi penyair remaja seperti Sapardi. Sejak saat itu, Sapardi intens menggeluti puisi. Kopian tulisan tangan Sapardi atas dua sajak itu dibesarkan dan dipasang di pameran.
Setelah lulus SMA di Solo, Sapardi belajar di Program Studi Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayang, tidak ada arsip foto mengenai Sapardi tatkala masih menjadi mahasiswa yang dipamerkan. Sebab, orang juga ingin mengerti bagaimana interaksi Sapardi di kampus saat itu dengan para seniornya, seperti Subagio Sastrowardoyo, Umar Kayam, Romo Dick Hartoko, dan W.S. Rendra. Juga bagaimana perhatian Sapardi pada pementasan-pementasan drama di Yogyakarta saat itu. Almarhum Bakdi Sumanto pernah mengatakan karya T.S. Elliot, Murder in the Cathedral, yang menjadi obyek skripsi Sapardi, sangat mempengaruhi proses kreatif Sapardi. Andai manuskrip skripsi Sapardi itu turut dipamerkan, mungkin akan lebih menarik. Selain dikenal sebagai penyair dan penulis sastra, Sapardi dikenal sebagai penerjemah andal. Ia menerjemahkan banyak kumpulan puisi, novel, dan naskah drama seperti karya Hendrik Ibsen.
Manuskrip buku kumpulan puisi pertama Sapardi: Dukamu Abadi, sajak-sajak 1967-1968 yang terbit pada 1970-an, tampak juga disajikan di pameran. “Yang membiayai penerbitan adalah Jeihan. Saya ingat pada 1970-an saat Sapardi tengah diskusi di TIM, tiba-tiba ada mahasiswa seni rupa Bandung yang menyerahkan buku itu ke Sapardi. Ini titipan dari Pak Jeihan, katanya. Mahasiswa itu Sanento Yuliman,” tutur Bambang Bujono. Sapardi pernah menjelaskan beberapa sajak di Dukamu Abadi diambil dari sajak-sajak tulisan tangan yang dibuatnya dalam buku tulis. Di antaranya sajak “Stasiun Balapan”. Setelah diketik, sajak itu mengalami perubahan.
•••
YANG menarik, dalam pemeran ini, panitia Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta menyajikan panel-panel yang “mengkolaborasikan” Sapardi dan Wagiono. Terdapat beberapa panel yang menampilkan sajak-sajak Sapardi dengan ilustrasi karya Wagiono. “Sapardi dan Wagiono tidak pernah bekerja sama. Ini kami buat untuk kebutuhan pameran saja,” kata Dr Iwan Gunawan dari Pascasarjana IKJ. Betapapun demikian, terasa dialog kedua maestro itu saling menguatkan.
Ada enam sajak Sapardi yang dipasangi ilustrasi gambar Wagiono, antara lain “Dongeng Marsinah”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Akan Kemanakah Kita Malam Ini”, “Cerita Kota”, “Sita Sihir”, dan “Dalang”. Sajak “Sita Sihir” dan “Dalang” saat diberi ilustrasi karya Wagiono yang berbau wayang terasa klop. Atau lihatlah bagaimana sajak lama Sapardi, “Akan Kemanakah Kita Malam Ini”, yang dipasangi ilustrasi gambar Wagiono yang berjudul Melihat dan Sedang Dilihat Melihat terasa cocok. Bait awal sajak yang masih ditulis dengan ejaan lama itu berbunyi:
Akan kemanakah kita pergi malam ini
barangkali mentjari puisi, ja barangkali
ada bulan dan pohon tjemara
tak ada jang patut kautolak, asal kau pertjaja
Ilustrasi milik Wagiono Sunarto yang dipasang menampilkan gambar sepasang lelaki dan perempuan, bertopi, berkacamata hitam, dan berjaket kotak-kotak tengah melintasi jalan. Wajah mereka tampak tanpa ekspresi. Di dinding jalan yang mereka lalui tampak penuh tempelan poster wajah-wajah. Wajah-wajah itu seolah-olah tengah memperhatikan langkah mereka. Gambar Wagiono dengan pulpen itu terasa mengekspresikan nada pengembaraan sajak Sapardi Djoko Damono. Sapardi wafat pada 2020. Wagiono wafat pada 2022. Kedua karya mereka abadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo