Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Komposisi Kincir Air Rani

Rani Jambak, komponis muda Sumatera Barat, menyajikan sebuah pertunjukan yang bertolak dari kelangkaan kincir air di Sumatera Barat kini.

30 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rani Jambak dalam Malenong Maso 204 Tahun Sila, di Rumah Gagas, Nagari Lasi, Agam, Sumatera Barat Juli 2022. Evi Ovtiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINCIR air itu berdiameter sekitar 2 meter. Kincir itu dibuat sendiri. Tenaga pemutarnya dari dinamo mesin jahit. Di depan kincir mini itu, Rani Jambak duduk di sebuah meja menghadap laptop. Tatkala kincir berputar disertai lampu kelap-kelip, suara burung-burung muncul dari olahan komputernya. Kemudian sayup-sayup terdengar gonggong anjing bersamaan dengan suara orang berbincang. Suara anjing tak berhenti, bahkan makin keras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak berhenti di situ, musik tersebut dilanjutkan dengan suara anak-anak yang diputar secara berulang-ulang. Tak lama, suara itu ditimpali percakapan pemain randai dengan doa-doanya. Tatkala putaran kincir makin kencang, terdengar pukulan-pukulan yang berasal dari talempong pacik, talempong batu, dan alu-alu (penumbuk padi) yang diputar dengan sistem kinetik kincir air yang bergerak secara beraturan seperti tangga nada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu bunyi gedebur ombak. Suara ombak yang terdengar deras itu membawa penonton makin hanyut ke dalam komposisi Rani yang dimainkan di Rumah Gagas, Nagari Lasi, Kecamatan Candung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tersebut. Suasana sunyi lokasi pertunjukan yang jauh dari kota membuat pentas musik kontemporer itu terasa lain dari yang lain.

Dua ratus empat tahun silam, Thomas Stamford Raffles mencatat kincir air sebagai temuan yang menyimbolkan kecerdasan masa lalu suku Minangkabau. Kincir, selain digunakan untuk mengalirkan air ke sawah, dipakai sebagai penumbuk padi menjadi beras. Kini kincir sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Minangkabau. Hanya tersisa dua kincir yang berada di Batang Ombilin, Kota Sawahlunto dan Kabupaten Tanah Datar. Hilangnya kincir air dari bumi para datuk itu mendorong Rani Jambak menciptakan karya musik soundscape dari kincir air.

Kincir Air karya Rani Jambak

Bukan hanya masyarakat Lasi yang datang beramai-ramai malam itu untuk menyaksikan pertunjukan berjudul Malenong Maso 204 Tahun Silam tersebut. Tampak pula beberapa seniman Sumatera Barat, antropolog dari Universitas Andalas, mahasiswa musik Institut Seni Indonesia Padang Panjang, dan pegawai Balai Nasional Pelestarian Budaya Sumatera Barat. Rani menjelaskan, dulu kincir air adalah alat yang sangat berperan penting bagi keberlangsungan kehidupan di sektor pertanian. Dalam kincir juga terdapat teknologi kinetik yang bisa digunakan untuk menumbuk padi, biji kopi, dan beras.

Rani, yang lahir dan besar di Medan, memulai riset pada akhir 2021. Ia awalnya mencari kincir air yang masih digunakan di Sumatera Barat. Tapi di lapangan ia mendapati fakta bahwa kincir tak lagi dipakai masyarakat. Rani mempertanyakan apakah hilangnya kincir ini berkaitan dengan banyaknya sungai yang airnya menyusut. Selama riset, ia kerap menemukan sungai yang tercemar, bahkan mengering.

Rani bekerja sama dengan British Council dalam karya ini. Dia juga dibantu oleh Huddersfield Contemporary Music Festival. Komunitas musik eksperimental dari Inggris itu diminta Rani merekam suara sungai dan stasiun di Huddersfield. Di kota itu, sungai sangat bagus dan bersih, Padahal dulu Huddersfield adalah kota yang menjadi pusat industri di Inggris sehingga sungainya sangat tercemar. Berkat revolusi besar di bidang industri, sungai di kota itu menjadi indah dan asri kembali.

Persiapan pembuatan kincir air untuk pentas Rani Jambak

Rani menjelaskan, kincir air yang dibuatnya tidak berbahan kayu ataupun bambu. Semuanya berbahan baja ringan yang dirangkai. Kincir air itu berputar menggunakan tenaga listrik dengan perantara dinamo mesin jahit, dengan empat alu-alu diposisikan di kiri dan kanan kincir. Awalnya ia ingin menggunakan besi atau kayu untuk merangkai kincir air beserta alu-alunya. Tapi kerasnya tekanan kayu terhadap sensor musik membuatnya rusak. Jadi Rani beralih menggunakan baja ringan yang lebih enteng.

Antropolog asal Universitas Andalas, Sri Setiawati, mengatakan kincir identik dengan sungai yang merupakan tempat perempuan Minang dulu beraktivitas secara umum. "Dulu kincir menghasilkan tepung atau beras, yang diciptakan Rani menghasilkan musik," tuturnya. Adapun etnomusikolog Hajizar berpendapat Rani Jambak bisa lebih memikirkan organologi akustik dari kincir buatannya agar dapat menghasilkan bunyi-bunyi yang alami. “Saya lihat karya Rani ini lebih dominan digitalnya daripada alami, bahkan bahannya menggunakan baja ringan. Sebenarnya bisa menggunakan bambu yang sudah dikeringkan. Karya ini masih dalam taraf sederhana," kata alumnus Universitas Sumatera Utara tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Fachri Hamzah

Fachri Hamzah

Kontributor Tempo di Padang, Sumatera Barat

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus