Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku Selebriti Maka Aku PentingPenulis: Ignatius HaryantoPenerbit: Bentang, Yogyakarta, 2006xxiv + 220 hal
KAWIN-cerai hingga bertikai di pengadilan adalah secuplik wajah selebriti kita. Dari subuh hingga malam, televisi membombardir penonton dengan infotainmen yang isinya itu-itu saja. Ketika sekelompok pemerhati media di Amerika membuat daftar "junk food news" tentang media yang memuat liputan selebriti secara berlebihan, infotainmen malah makin berjaya di Indonesia.
Itulah salah satu tema yang diangkat Ignatius Haryanto dalam Aku Selebriti Maka Aku Penting. Buku ini memuat 21 tulisan Haryanto tentang kebudayaan populer, yang pernah dimuat di beraneka media. Peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan mantan wartawan Tempo ini meneropong berbagai fenomena media di Indonesia dalam kerangka studi budaya. Tentu saja, kajian ini tak bisa melepaskan diri dari problem ekonomi dan politik. Infotainmen "ditelanjangi" dalam lima tulisan pertama di buku ini. Dalam "Infotainment: Pengingkaran Terhadap Fungsi Informasi", Haryanto tak ragu menyatakan: "Televisi kita makin membuat kita muak karena yang ditampilkan kehidupan manusia yang makin dalam (wilayah privasi dilanggar) dan makin menghina akal sehat" (hlm.11).
Haryanto juga membahas kebudayaan populer dalam hubungannya dengan industri media, termasuk soal campur baurnya kebudayaan lokal, nasional, dan global. Dalam "Salam Dangdut" dan "Internasionalisasi Perdagangan Media/Budaya", ia meragukan masuknya dangdut di MTV sebagai perwujudan kultur Indonesia yang Melayu. Tapi lebih sebagai cara jualan baru para industrialis media.
Tak melulu tentang televisi, penulis juga mengupas soal globalisasi, termasuk yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Inteletual (HAKI). Dalam "Full of Logos", yang menyorot sejumlah hal dari buku No Logos, Naomi Klein, Haryanto menggambarkan globalisasi bagi wanita-wanita di Indonesia yang menjadi penikmat barang-barang bermerek. Berbagai produk dan merek internasional bisa didapatkan dengan mudah di Indonesia, termasuk majalah-majalah luar negeri yang membuka cabangnya di Tanah Air. Negeri kita kerap dianggap sebagai pasar yang potensial bagi bermacam produk.
Lewat buku ini, pembaca diajak menelaah hal-hal yang sekilas tampak "sepele" seperti soal infotainmen itu tadi, padahal di dalamnya terkandung sesuatu yang "serius". Dari soal globalisasi, kapitalisme, hingga pertarungan ekonomi.
Buku ini mengantar pembaca untuk menafsirkan sejumlah gejala yang dekat dengan keseharian dalam bingkai studi kebudayaan.
Detektif Wanita dari Botswana
Misteri Air Mata Jerapah Penulis: Alexander McCall Smith Penerjemah: Ibnu Setyawan Penerbit: Bentang, Yogyakarta, 2006 Tebal: 398 halaman
Tokoh utama cerita ini Mma Ramotswe, pemilik Kantor Detektif Wanita No. 1, di Botswana. Ia menyanggupi permohonan seorang ibu untuk mencari tahu anaknya, seorang pemuda yang tiba-tiba menghilang sepuluh tahun lalu. Sesuatu yang, menurut pakem para detektif swasta, akan menghabiskan banyak energi, waktu, dan dana. Tapi novel ini bercerita tentang tokohnya yang menolak takluk pada segalanya yang dianggap mustahil.
Yang cukup mengagumkan dari buku ini adalah cara penulis menggunakan bahasa. Deskripsinya sanggup memboyong pembaca ke satu tempat jauh di Botswana. Gaya bahasanya sederhana, tidak rewel, dan cukup cerdas. n
Dunia Perempuan, Dunia Pinggir
The Crystal GardenPenulis: Mohsen Makhmalbaf Penerjemah: Elka Ferani Penerbit: Dastan Books, 2005 Tebal: 388 halaman
Novel ini dibuka seperti sebuah lukisan yang bergerak. Teheran, Iran pascarevolusi, digiring si pengarang, dan ia pun mulai mengurai tokoh-tokohnya. Di sebuah rumah besar yang disita negara, hiduplah empat keluarga. Seorang bekas pembantu di rumah itu dan suaminya yang suka mengisap opium. Suami-istri yang ditinggal mati anak laki-lakinya dalam perang. Seorang janda. Dan seorang veteran perang yang lumpuh beserta istrinya yang percaya bahwa pengorbanan sang suami akan dibalas di akhirat.
Karya Mohsen Makhmalbaf ini memberikan ruang lebar bagi pengembangan karakter perempuan, karakter yang tersungkur ke titik nadir.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo