Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGUS Martowardojo memulai tradisi baru bagi perbankan Indonesia. Rabu pekan lalu, dengan berani, Direktur Utama Bank Mandiri itu menempuh jalan yang selama ini ditabukan para bankir: mengumumkan nama-nama debitor kakap yang menunggak cicilan kredit. Biasanya, daftar semacam ini dikempit rapat-rapat di ketiak para direksi. Masyarakat yang ikut menanggung beban pembiayaan penyehatan perbankan seolah tak berhak tahu gejala-gejala penyakit yang mendera bank. Baru belakangan, dua atau tiga tahun kemudian, eh, tahu-tahu ada kredit triliunan rupiah yang telah "dibersihkan" dari neraca bank.
Langkah nekat Agus barangkali memang bukan untuk memuaskan keingintahuan publik. Dia tak punya kewajiban untuk itu. Agus punya target lain: menyelamatkan Bank Mandiri dari sinyal bahaya yang kini berdering-dering. Bank terbesar Indonesia dengan aset Rp 255 triliun itu ternyata mengemban kredit bermasalah senilai Rp 27,5 triliun. Ini setara dengan 26 persen total kredit (yang mencapai Rp 105 triliun) atau lima kali lipat di atas batas aman yang ditoleransi Bank Indonesia. Dengan mengumumkan "daftar tabu" itu, Agus berharap para penunggak akan merasa malu dan kemudian berikhtiar untuk melunasi utangnya.
Kredit bermasalah, biasa disebut non-performing loan, didefinisikan sebagai pinjaman yang menunggak cicilan lebih dari tiga bulan. Jika tak segera ditangani, jangka waktu tunggakan semakin panjang. Dan ketika tunggakan sudah melampaui 181 hari, kartu merah: kredit tersebut harus masuk kategori macet. Kalau sudah begini, ibarat timbunan kolesterol yang menyumbat pembuluh darah arteri, kredit macet harus segera di-bypass, dikeluarkan dari pembukuan bank. Caranya sangat menyakitkan: kredit yang macet harus digelontor, ditutup dengan modal bank.
Bagi Mandiri, operasi bypass seperti itu mungkin tak sampai membuat bank raksasa ini kolaps. Dengan timbunan modal hampir Rp 25 triliun, Mandiri punya bantal cukup tebal untuk mengganjal kredit macet. Menurut laporan keuangan kuartal pertama 2006 yang diterbitkan akhir Mei, rasio kecukupan modal (CAR) atas aset yang berisiko Mandiri telah mencapai 24,5 persen, jauh lebih baik dari ketentuan internasional yang mensyaratkan delapan persen.
Namun, kredit macet bukan hanya perkara kesehatan bank. Ada yang jauh lebih penting: kredit macet mengancam perekonomian secara keseluruhan. Sebelum bisa membersihkan diri dari kredit bermasalah, Mandiri tak mungkin menyalurkan kredit kepada calon debitor lain. Akibatnya, ada unit-unit usaha yang mestinya bisa mempercepat perekonomian, kini tak bisa bergerak karena tak mendapat dukungan keuangan. Dan jangan lupa, enam tahun lalu Mandiri sudah dicuci bersih. Seluruh kerak-kerak kolesterolnya dibersihkan, diinjeksi dengan tambahan modal lebih dari Rp 100 triliun. Sampai hari ini, beban biaya overhaul itu masih harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia.
Nah, agar sinyal bahaya tak berlarut-larut, nama-nama penunggak itu terpaksa dijereng di depan publik. Kredit bermasalah senilai Rp 27 triliun itu ternyata hanya terkonsentrasi pada 30 pengutang. Enam di antaranya, yakni kelompok usaha Raja Garuda Mas (milik Sukanto Tanoto), Argo Pantes (The Nin King), Domba Mas (Susanto Liem), A-Latief Corp (milik bekas Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief), Kiani Kertas (Prabowo Subianto), dan Djajanti (Burhan Uray), menanggung beban kredit seret sampai Rp 13 triliun (lihat tabel). Selain Argo Pantes yang telah membayar sebagian cicilannya, Agus memasukkan lima debitor kakap yang lain dalam kategori "belum beritikad baik".
Menurut Agus, ada beberapa indikasi yang menunjukkan "itikad tak baik" itu. Di antaranya, menyalahgunakan pinjaman bank, membiarkan perusahaan bangkrut, menolak menyetor modal tambahan padahal punya kemampuan, dan menolak memperbaiki kelemahan perjanjian kredit yang dibuat pada masa lalu. Agus memberi contoh soal Raja Garuda Mas. Untuk memperlancar pengembalian utangnya, perusahaan bubur kertas ini diminta Bank Mandiri melipatduakan cicilan utang. Menurut kalkulasi Agus, Garuda Mas mestinya mampu memenuhi tagihan ini karena harga bubur kertas di pasar internasional terus melambung. Tapi Garuda menolak. "Tak mudah mengalihkan keuntungan grup kepada anak perusahaan lain yang menanggung utang," begitu alasan Presiden Direktur Raja Garuda, Ibrahim Hasan.
Harus diakui, dalam soal kredit macet, debitor kakap berada di atas angin. Mereka tahu betul bank mungkin akan main sita. Lantaran tak punya ahli dalam pengelolaan pabrik, bank akan sangat kerepotan jika terpaksa mengambil alih dan menjalankan bisnis tersebut sehari-hari. Padahal, untuk menjaga agar harganya tak terempas terlalu jauh, pabrik harus tetap beroperasi, membeli bahan baku, melunasi supplier, membayar gaji buruh, dan sebagainya. Akibatnya, bank sering kali terpaksa mengambil jalan paling praktis, usaha sitaan itu dijual cepat-cepat. Di sinilah soalnya: para pencoleng kredit sering kali sengaja membiarkan usahanya disita, dengan harapan bisa menjadi "penadah" jika aset tersebut dilelang dengan harga obral.
Tentu saja kredit bermasalah bukan melulu permainan debitor bandel. Pejabat bank juga ikut punya andil. Sinyal paling sederhana dari soal ini tampak dari alokasi penyaluran kredit yang kelihatan "agresif". Pemberian kredit Rp 13 triliun lebih hanya untuk enam debitor, meskipun belum melanggar batas maksimum pemberian kredit, menunjukkan "keberanian" para pejabat Bank Mandiri.
Pertanyaan lain: mengapa penanganan kredit seret dibiarkan selarut ini? Mei tahun lalu, rasio kredit bermasalah Bank Mandiri masih relatif aman, hanya tujuh persen. Tak sampai setahun kemudian, eh, sudah meledak hingga 26 persen total kredit atau, jika dihitung secara nominal, jumlahnya setara dengan separuh total kredit bermasalah seluruh bank di Indonesia.
Pembengkakan yang luar biasa ini menandai adanya kesembronoan pengelolaan aset. Semua kredit kelas kakap, apalagi yang jumlahnya triliunan, tak pernah diberikan sekaligus. Biasanya, setiap tahap pencairan disertai dengan debt covenant alias persyaratan utang. Jika debt covenant dilanggar, kredit disetop, bahkan kalau perlu debitornya dipailitkan. Langkah waspada ini sebenarnya bisa dikenakan kepada A-Latief Corporation, misalnya, yang semula meminta kredit untuk (salah satunya) pembangunan studio mini. Ketika studio mini batal dibangun, para pejabat Bank Mandiri mestinya menggunakan senjata debt covenant.
Strategi yang sama juga bisa diberlakukan untuk Kiani Kertas. Ketika aset kredit Rp 1,87 triliun diambil alih Mandiri dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), November 2002, ada beberapa syarat yang belum dipenuhi Prabowo Subianto. Misalnya, suntikan modal kerja untuk memutar mesin bubur kertas Kiani. Nah, ketika injeksi kapital batal dilakukan, Mandiri mestinya langsung melakukan langkah pengamanan. Sayang, seperti diakui Agus, posisi bank memang lemah saat perjanjian awal dibuat. Repotnya, permintaan untuk memperbaiki perjanjian belum ditanggapi Kiani.
Agus tak membantah soal kelalaian para pejabat bank ini. Untuk itu, hanya dalam tempo setahun sejak dia menduduki kursi nomor satu Bank Mandiri, dia mengaku telah memecat sekitar 50 pegawai bank raksasa itu karena tak menerapkan prinsip kehati-hatian. Sanksi pemecatan dilakukan bukan hanya untuk para pegawai kroco, tapi "juga untuk para pejabat tinggi." Entah ada kaitannya dengan sanksi ini atau tidak, seluruh anggota direksi Mandiri sejak akhir Mei lalu dihiasi muka-muka baru.
Tapi kredit macet bukan sekadar perkara pecat-memecat pejabat bank dan membeberkan nama-nama penunggak utang. Dalam beberapa kasus, para pejabat pemerintah juga ikut punya andil dalam menyuburkan kredit macet. Pada zaman serba reformasi seperti sekarang ini, masih ada saja kredit yang bersifat "penugasan" atau diberikan dengan embel-embel "politis". Dengan dalih untuk pengembangan satu kawasan tertentu atau untuk menyerap pengangguran dalam proyek padat karya, misalnya, sebuah kredit triliunan terpaksa dicairkan bank pemerintah tanpa penelitian kelayakan usaha yang semestinya.
Harus disadari, ekonomi komando seperti ini sudah bukan masanya lagi. Persaingan yang demikian ketat membutuhkan alokasi sumber daya yang tepat dan efisien. Setiap kebocoran dan kekeliruan penempatan sumber daya harus dibayar oleh seluruh sistem perekonomian. Untuk itu, praktek kredit politis seperti ini harus segera dihentikan.
Selain itu, para bankir mesti mulai menyiapkan "cetak biru" masa depan industri keuangan yang ideal. Pada masa depan, usaha-usaha kelas kakap yang "credible" mesti-nya tidak lagi mencari pinjaman dari bank, tapi dari pasar modal atau pasar obligasi. Untuk itu, bank perlu berkonsentrasi pada penyaluran kredit konsumsi serta kredit usaha kecil dan menengah.
Agus juga masih menanti senjata hukum yang lebih ampuh: revisi peraturan peme-rintah yang memberikan kewenangan kepada bank BUMN mengelola utangnya secara korporasi. Dengan ini, bank bisa mengambil tindakan lebih tegas kepada debitor bandel. "Pokoknya mereka tak bisa lolos dari jerat hukum," katanya.
Akankah tradisi yang dimulai Agus ditiru bankir lain? "Kita lihat dulu," kata seorang pejabat bank milik pemerintah, "kalau memang efektif, kita ikut."
Yura Syahrul, Suryani Ika Sari
Cap Buruk dan Acungan Jempol
Bank Mandiri punya 30 debitor kakap yang jadi biang keladi kredit bermasalah. Para pengutang itu dikelompokkan dalam empat kategori: tidak beritikad baik, belum beritikad baik, mulai beritikad baik, dan sudah beritikad baik.
Status belum bertikad baik | |
---|---|
Nama Pengutang | Bidang Usaha |
Raja Garuda Mas Group | Bubur kertas |
PT Kiani Kertas | Bubur kertas |
Domba Mas Group | Perkebunan |
Djajanti Group | Kehutanan & perikanan |
A Latief Group | Media & agribisnis |
PT Suba Indah Tbk. | Pangan |
PT Garuda Indonesia | Penerbangan |
PT Semen Kupang | Semen |
PT Anugrah Lingkar | SelatanProperti |
Batavindo Group | Petrokimia & perkebunan |
PT Great River International Tbk. | Tekstil |
PT Perkebunan Nusantara II | Perkebunan |
PT Merpati Nusantara | Penerbangan |
Gunung Meranti Group | Kehutanan |
PT Kertas KraftAceh | Kertas |
Status mulai bertikad baik | |
---|---|
Nama Pengutang | Bidang Usaha |
Bosowa Group | Infrastruktur |
PT Flora Sawita Chemindo | Oleochemical |
PT Benang Sari Indahtexindo | Tekstil |
Batam Textile Industry | Tekstil |
PT PetrowidadaIndustri | kimia |
PT Kalimantan Energi Lestari | Pertambangan |
PT Bina Mentari Tunggal | Peternakan |
Top Jaya Group | Ritel |
PT Sun Hope Investment | Investasi |
PT Bisma Narendra | Infrastruktur |
Argo Pantes Group | Tekstil |
Status sudah bertikad baik | |
---|---|
Nama Pengutang | Bidang Usaha |
PT Budi Acid Jaya Tbk. | Pangan & kimia |
PT Sulfindo Adi Usaha | Kimia |
PT APAC Inti Corpora | Tekstil |
Sumber: Penjelasan Bank Mandiri, 14/6/2006 dan Dokumen Bank Mandiri
Biang Masalah
Enam pengutang kakap menikmati separuh dari total nilai kredit bermasalah di Bank Mandiri. Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, I Wayan Agus Mertayasa, mengatakan bila enam debitor ini mau menyelesaikan kewajibannya, rasio kredit bermasalah Bank Mandiri langsung menyusut hingga di bawah lima persen.
Sukanto Tanoto
Susanto Liem
The Nin King
Prabowo Subianto
Abdul Latief
Burhan Uray
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo