Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia dimulai dengan sebuah kekosongan. Indonesia dimulai dengan kata ”bukan”.
Yang terjadi menjelang pagi hari 17 Agustus 1945 itu adalah sebuah dislokasi. Tiba-tiba terjerembaplah gambaran tentang sebuah kebersamaan (lebih sering disebut sebuah ”negeri” atau ”bangsa”) yang selama puluhan tahun dihadirkan ke orang ramai: gambaran yang dibentuk dan dirawat kolonialisme. Dengan gampang daulat Belanda runtuh oleh serbuan Jepang, dan Jepang pun berkuasa. Tapi tiba-tiba Jepang kalah. Tiba-tiba menganga sebuah kekosongan.
Orang pun cemas, berharap, berhasrat, bersemangat meskipun gugup—dan di Jakarta, pagi itu, mereka berduyun-duyun datang ke Lapangan Ikada, saling merapat. Di sana Bung Karno dan Bung Hatta—atas nama ”bangsa Indonesia”—membaca sebuah teks pendek yang ditulis tangan, dengan coretan di sana-sini, menyatakan ”kemerdekaan Indonesia…”.
”Indonesia”: sebenarnya tak jelas betul apa arti kata ini. Nama itu pada tahun 1925 dipakai buat pertama kalinya oleh sejumlah pemuda yang tak sabar hidup di bawah kolonialisme; kemudian ia dikukuhkan kembali pada tahun 1928 dengan sebuah maklumat yang disebut ”Sumpah Pemuda”. Tapi waktu itu ”Indonesia” sebagai satuan geografis sebenarnya belum disepakati. Belum didefinisikan juga apa yang membuat seseorang bisa disebut anggota ”bangsa Indonesia”.
Baru menjelang Juni 1945 perumusan itu dicoba dibuat dengan cara yang lebih ”resmi”. Tempatnya: di sebuah gedung di daerah Menteng di Jakarta, ketika sebuah panitia yang bertugas menyiapkan kemerdekaan Indonesia berembuk.
Kita tahu panitia itu tak mewakili secara pas semua kalangan. Kita juga tahu tiap perumusan bersifat terbatas. Tiap perumusan hanyalah sebuah ikhtiar yang selamanya tak memadai untuk mendefinisikan apa yang terkandung dalam sebuah nama.
Tapi apa yang terkandung dalam sebuah nama? Bertahun-tahun lamanya orang sebenarnya bertumpu pada kata ”bukan”. Meskipun demikian, dengan itu sebuah ketidakjelasan ternyata berarti. ”Indonesia” bukan-lah koloni Hindia Belanda. ”Indonesia” bukan-lah jajahan Jepang. Dari sinilah terdengar pekik ”Merdeka!”.
Mungkin ada benarnya Carl Schmitt: semua konsep, citra, dan istilah politik mengandung makna polemis. Kata ”kedaulatan”, ya, kata ”kemerdekaan Indonesia”, tak akan dapat dimengerti apabila orang tak tahu apa yang ditentang, dilawan, atau ditampik dengan kata itu. Politik, dalam arti yang luas, adalah proses pembentukan antagonisme—munculnya ”lawan” dan ”kawan”—melalui aksi dan retorika.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, pada pagi hari 17 Agustus 1945 itu Indonesia adalah sebuah hasil antagonisme. Saya sebut di atas, ia dimulai dengan ”bukan”.
Tentu saja tak berarti bahwa setelah 17 Agustus 1945 tak ada lagi cerita tentang ”bukan”. Politik tak berhenti. Kebersamaan tak pernah bisa penuh; masyarakat mustahil bisa bertaut seperti buluh dengan ruas. Kata ”bukan” membentuk retorika. Ada yang merumuskan Indonesia bukan sebuah negeri kapitalis—dan mereka menghasratkan sosialisme atau komunisme. Ada yang menganggap Indonesia bukan negeri sekuler—dan mereka mendambakan syariat Islam diterapkan di negeri ini. Ada yang mendefinisikan Indonesia bukan negeri Islam—dan mereka menghendaki perlakuan yang setara bagi setiap warga negara tak peduli apa agama dan kepercayaannya.
Sejarah mencatat, di antara pelbagai bukan itu antagonisme berlangsung. Acap kali berdarah. Gerakan ”Darul Islam” yang ingin Indonesia jadi ”Negara Islam” berkecamuk sejak tahun-tahun awal republik ini dalam bentuk perang gerilya yang buas. Pedalaman Jawa Barat jadi ajang perang, pembunuhan, perusakan selama sekitar 20 tahun. Puisi Ramadhan K.H. yang terkenal, Priangan Si Jelita, memanggil wilayah ini dengan kesedihan.
Yang muram tak berhenti di situ. Pada tahun 1965, mereka yang mendambakan Indonesia jadi negeri komunis tampil dengan gegap gempita, dan PKI jadi partai komunis terbesar No. 3 di dunia setelah Uni Soviet dan RRC. Tak ayal, mereka yang dianggapnya sebagai ”lawan” pun ketakutan. Kekerasan menunggu di ambang pintu—dan itulah yang kemudian terjadi: pembunuhan besar-besaran, pembungkaman yang meluas, dan ketika tentara—yang menghendaki Indonesia bukan ”Negara Islam” dan bukan ”negara komunis”—berkuasa, kekerasan tak berhenti.
Mungkin persoalannya dimulai ketika orang lupa, bahwa Indonesia dimulai dengan sebuah kekosongan. Tak ada yang kekal dan niscaya harus berkuasa mengisi kekosongan itu.
Kekosongan memang bisa membuat cemas. Tapi justru dengan itu tampak ada sesuatu dalam kehidupan bersama yang memungkinkan kita untuk mengisinya. Dengan catatan: kekuatan politik mana pun akan mustahil mampu mengisinya penuh—sebab selalu akan ada selisih, bak kata pepatah, ”tak ada gading yang tak retak”. Kekosongan dan keretakan adalah isyarat yang menjanjikan kemungkinan tapi sekaligus juga kemustahilan.
Pengalaman sejarah Indonesia yang tragis tapi berharga adalah tentang itu—pengalaman tentang kemustahilan: tiap rezim mencoba merumuskan secara final apa itu ”Indonesia”, tapi tak berhasil.
Itu sebabnya demokrasi di negeri ini jadi penting. Saya ingat satu kalimat Claude Lefort: ”demokrasi dilembagakan dan dilanjutkan oleh luruhnya rambu-rambu kepastian.”
Demokrasi memang dimulai dengan pengakuan tentang tak adanya kepastian: sebuah retak yang justru membentuk dirinya. Maka sosialisme yang mengklaim diri ”ilmiah”—dan mengira dapat menegakkan rambu-rambu yang pasti—akan menampik demokrasi dan kemustahilan. Begitu pula doktrin agama yang menggerakkan politik, yang merasa mutlak dan kekal untuk membangun ”negeri Tuhan” di bumi, akan menolak demokrasi dan cacat manusia.
Kedua-duanya sejenis ketakaburan, langkah pertama ke pembinasaan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo