TAMAN Fatahillah yang terpuruk, di jantung Jakarta yang riuh, sebenarnya peninggalan yang sangat berharga. Menurut beberapa ahli arsitektur Unesco (badan kebudayaan PBB), kawasan tempo doeloe yang sebagian bangunannya masih terpelihara itu paling pantas menjadi monumen arsitektur kolonial dunia. "Enam tahun lalu kami menetapkan kesimpulan itu, tapi hingga kini belum menemukan jalan untuk mengajukan kerja sama dengan Indonesia," kata Prof. Dr. Heinrich Klotz, Agustus lalu di Museum Arsitektur Frankfurt, Republik Federal Jerman. Klotz menyadari kesulitan Indonesia memugar seluruh kawasan Taman Fatahillah yang sudah sangat padat itu. "Dari informasi yang saya dapat, terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk refungsionalisasi bangunan-bangunan di kawasan itu," katanya. Namun, Klotz optimistis. "Kalau Indonesia siap, saya akan mendesak Unesco mengumpulkan dana untuk proyek itu," ujarnya lagi pada TEMPO. Sebagai ahli searah arsitektur ia yakin duma internasional akan tergerak untuk membantu. "Masa kolonial di Abad XVII di luar konteks politik adalah bagian sangat penting dalam sejarah umat manusia," tambah ahli yang juga kritikus arsitektur berpengaruh itu. Dalam konteks macam apa maka Taman Fatahillah begitu penting? Jawaban lengkap bisa ditemukan dalam seminar pada Selasa hingga Jumat pekan lalu di Erasmus Huis, Jakarta. Seminar berjudul Change and Heritage Indonesian Cities itu diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) bersama Bond van Nederlandse Architekten (BNA), asosiasi arsitek Belanda. "Dua belas makalah yang dikemukakan para ahli di bidang arsitektur, baik dan Indonesia maupun Belanda, intinya mencari dasar pengamatan bagi arsitektur zaman Belanda," kata Ir. Adhi Moersid, Ketua IAI. "Dan ini termasuk rangkaian usaha mencari konsep konservasi dan memugar bangunan lama yang sekarang terasa sangat diperlukan." Seminar berhasil merangkum pandangan tentang arsitektur zaman Belanda di Indonesia -- yang selama ini simpang-siur. Seminar juga menyingkap dengan jelas nilai sejarah Jakarta lama, yang dikenal dengan nama Batavia. Dan ciri Batavia yang mencerminkan masa kolonial di Abad XVII alhamdulillah, masih ada: Taman Fatahiliah sebagai pusat kota lama (downtown) dengan bangunan utamanya, Balai Kota (Stadshuis), kini jadi Museum Fatahillah. Kompleks ini dibangun oleh korporasi koloni VOC pada tahun 1706 dan perancangnya arsitek W.J. van Velde. Prof. Dr. Tamminek Groll, pembicara dari Belanda dalam seminar ltu, mengatakan Batavia merupakan satu dari empat kota di dunia yang menggambarkan masa kolonial Abad XVII. Tiga kota lainnya adalah dontown Manhattan di New York yang dibangun VOC di awal Abad XVII dan di masa lalu dikenal sebagai New Amsterdam. Lalu Recife di Brasil dan Cape Town di Afrika Selatan. "Kota koloni pertama di Asia adalah Batavia yang mulai dibangun pada 1619," kata Groll. Data itu menunjukkan dengan jelas mengapa para ahli arsitektur Unesco memilih Jakarta. Manhattan, AS, apalagi Cape Town tidak pantas untuk dijadikan monumen arsitektur kolonial. Lingkungan di dua negara itu tidak menggambarkan daerah koloni Sedangkan Recife tak terpilih karena pertimbangan arsitektural. Menurut Klotz, ciri arsitektur Taman Fatahillah dan lingkungannya lebih mencerminkan masa kolonial. Apa saja cirinya? Menurut Prof. Sidharta, seorang di antara pembawa makalah dalam seminar pekan lalu itu, bangunan-bangunan Belanda Abad XVII umumnya mengikuti sistem ba ngunan tertutup. "Ini karakter defensif yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan," ujar guru besar ilmu arsitektur itu. "Dari sejarah kita ketahui bahwa daerah koloni sering diserang penduduk dan kerajaan di sekitarnya." Bila nilai peninggalannya tak perlu lagi diragukan, tapi apa mungkin membayangkan Jakarta lama sebagai monumen arsitektur kolonial? "Sangat mungkin, karena pemerintah daerah DKI sudah merencanakan pemugaran kawasan itu," kata Gubernur Wiyogo Atmodarminto pada Linda Djalil dari TEMPO. "Mudah-mudahan bisa cepat dimulai, apalagi dananya tidak harus dari kita." Pemugaran tahap pertama yang segera dimulai 3 dalam waktu dekat adalah refungsionalisasi pelabuhan Sunda Kelapa dan Pasar Ikan. "Kawasan itu nanti akan menjadi Pusat Pariwisata," ujar Ir. Hendro Martono Juwono. Ia ditunjuk sebagai kepala proyek pemugaran itu. Dan gagasan Unesco menetapkan Taman Fatahillah sebagai monumen arsiktektur kolonial, menurut Martono, sebuah kebetulan yang menguntungkan. "Pusat pariwisata itu menjadi isu internasional, dan nanti kita akan lebih mudah menjualnya di luar negeri," kata arsitek yang juga peserta seminar tadi. Perencanaan Pusat Pariwisata Sunda Kelapa, sebuah rencana besar. Ini meliputi perombakan kanal memasuki pelabuhan Sunda Kelapa, kawasan Museum Bahari di Pasar Ikan, dan Kampung Luar Batang di sisinya. Selain pemugarannya menjadi tanggung jawab Pemda DKI, para investor diundang untuk membangun perhotelan, restoran, pusat kerajinan tangan, dan kawasan rekreasi. Dalam perkembangannya, kawasan Taman Fatahillah sampai ke sebagian Glodok akan menampung pertokoan dan museum yang memang sudah ada. Dan di situlah disertakan gagasan Unesco itu. Perencanaannya mengikuti konsep pemugaran? "Saya kira belum ada pemugaran arsitektur yang lebih berhati-hati dari proyek ini," jawab Hendro Martono. "Dari penelitian yang sangat lama, hampir semua data bangunan di kawasan itu sampai pada rancangan dan situasi kota aslinya bisa kami kumpulkan." Berdasar data itu, pusat kota lama dalam rencana pemugaran dikembalikan ke skala manusia. Semua bagian downtown akan bisa dicapai dengan berjalan kaki. Refungsionalisasi semacam ini bisa menjadi jawaban yang mudah diterima semua kalangan, bila mempertanyakan lagi arti program pemugaran. Sebab, dalam seminar arsitektur di Erasmus Huis itu bahkan muncul sejumlah pendapat yang mempertanyakan apa tujuan memugar bangunan-bangunan Belanda. "Bangunan-bangunan itu 'kan peninggalan Belanda yang berharga bagi bangsa Belanda, mengapa kita yang melakukan konservasi," tanya seorang peserta. Seorang pembicara, Ir. Prijotomo, dalam makalahnya menyoroti secara khusus elemen-elemen Indonesia pada bangunan zaman Belanda. Ia menemukan sebagian kecil saja dalam bangunan tempo doeloe itu yang memasukkan elemen tradisional Indonesia. Maka, Prijotomo mempertanyakan seberapa jauh arsitektur zaman Belanda itu adalah juga arsitektur Indonesia. Seminar kemudian memang mampu meniawab pertanyaan-pertanyaan yang meragukan program pemugaran itu. Sejumlah peserta yang ikut bicara (dari Indonesia dan Belanda) sepakat menyebutkan arsitektur zaman Belanda adalah bagian dari perkembangan arsitektur di Indonesia. Bangunan-bangunan itu tidak cuma mengadaptasi lingkungan Indonesia, tapi juga mencoba mencerminkan ciri Indonesia. Contohnya, bangunan Institut Teknologi Bandung yang dirancang arsitek Maclaine Pont pada 1920, dan Gedung Sate, Bandung, karya J. Gerber yang dibangun pada 1921. Kedua bangunan itu mencoba mengadaptasi atap rumah tradisional. Dari pembahasan terlihat pula dengan jelas: arsitektur zaman Belanda di Indonesia punya corak berbeda dengan bangunan di Belanda pada masa yang sama. Dan dalam beberapa hal konsep arsitektur tempo doeloe malah lebih canggih. Arsitek Cor Passchier dalam makalahnya menyebutkan, bangunan zaman Belanda di Indonesia antara 1900 dan 1930 mampu menunjukkan spirit aliran modernisme yang sebenarnya. Tidak sibuk dengan konsep-konsep, seperti fungsionalisme, rasionalisme, dan internasionalisme, yang mendominasi perkembangan arsitektur Eropa Barat, tapi dengan cerdas menadaptasi lingkungannya. Hasilnya, prototip bangunan tropis. Tamminck Groll sementara itu tertarik pada bangunan-bangunan bergaya Art Deco yang banyak ditemukan di Kota Bandung. Contoh: Hotel Homann, Bumi Siliwangi (sekarang IKIP Bandung), Gedung Denis di Braga, dan sejumlah besar rumah tinggal. Art Deco itu sebuah aliran desain yang bertahan pada kecenderungan menghias, di awal modernisme. Aliran ini tenggelam di tengah fungionalisme Gerakan Bauhaus, yang sangat berpengaruh. "Peninggalan Art Deco, yang sebagian besar berupa interior kapal, sudah musnah sementara peninggalan arsitekturnya sangat sedikit," begitu diungkapan Groll. Maka, daftar bangunan yang harus dikonservasi di Indonesia, kini, tergambar lebih jelas. Selain monumen arsitektur kolonial, Indonesia juga memiliki sebuah "museum Art Deco" alam. Jangan lupa arsitektur tradisionalnya. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini