KERBAU keramat dari Kota Solo, Ki Slamet namanya, setiap 1 Muharam diarak untuk mengawali upacara keraton. Tapi kini ada lagi kerbau yang juga "diarak" -- tapi ke pengadilan -- karena Devaluasi 1986. Kerbau yang terakhir ini adalah PT Kerbau, pabrik dan cap rokok di kota itu. PT Kerbau pekan-pekan ini memang harus menghadapi mitra usaha yang kini menjadi lawan perkara, yaitu Molins Tobacco Machinery (MTM) Ltd. di Inggris. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Solo sejak pertengahan bulan lalu, Kerbau digugat karena menunggak utang. Pabrik rokok yang didirikan 1951 itu punya utang karena membeli mesin berikut bunganya 532.041,61 atau Rp 1,5 milyar lebih pada 1982. Adapun barang yang dibeli adalah mesin pelinting dan pengepak rokok, keduanya seharga 326.065,44 dari MTM. Kemudian Februari 1983, Kerbau membeli lagi seperangkat mesin pengering cengkeh seharga 314.242,40. Sesuai dengan perjanjian, pembelian itu akan dibayar dengan sepuluh kali angsuran sampai Juli 1988 dan Februari 1989, dalam mata uang asing tentunya. Mesin-mesin sudah diterimanya bulan Agustus 1984. Tapi sampai November 1985, Kerbau hanya mampu membayar 111.245,85 untuk pembayaran mesin yang pertama. Belakangan angsuran yang dijanjikan juga tersendat-sendat. Baru April tahun lalu, Kerbau membayar lagi 4.997. Pihak MTM akhirnya datang ke Solo. Musyawarah pun diadakan. Kerbau sepakat membayar lagi 5.000 pada April silam. Cicilan macet lagi. Pihak MTM rupanya sudah patah arang. Kerbau dianggapnya berusaha menghindar dari kewajiban melunasi utang. Sebab itu melalui Pengacara Anton H. Wibisono MTM menggugat Kerbau ke Pengadilan Negeri Solo. MTM menuntut agar Kerbau melunasi sisa utangnya April-Juli, sebesar 519.064,99, ditambah bunga 10% per tahun atau 12.976,62. Menanggapi gugatan itu, pengacara pihak Kerbau, Djoko Trisno Widodo, meminta agar pengadilan menolak gugatan itu. Sebab "Tidak benar perusahaan Kerbau menghindar dari kewajiban," ujar Djoko. Kemacetan itu, katanya, semata-mata karena terjadi devaluasi setelah perjanjian jual-beli mesin. Nilai poundsterling melonjak. Ini membuat utangnya membengkak seperti "ijon". Selain itu, ujar Djoko lagi, sewaktu Financial Executive MTM mengurusnya ke Solo, dalam pertemuan itu juga disepakati diadakan penjadwalan kembali cicilan utang dan bunganya. Hasil perundingan, batas akhir pelunasan kedua jenis utang itu diperpanjang sampai Januari 1989 dan April 1990. Itu sebabnya, Djoko menganggap pihak Kerbau belum bisa dinyatakan cedera janji. Perusahaan Kerbau juga pernah mengusulkan perdamaian, sewaktu MTM mulai memperkarakannya di pengadilan. Pihak MTM menyodorkan syarat agar Kerbau membayar 100 ribu. Setelah tawar-menawar, belakangan diturunkan menjadi 50 ribu. Padahal, "Klien kami benar-benar tak punya uang sebanyak itu," kata Djoko. Sebenarnya, MTM tidak keberatan berdamai. "Asalkan pihak Kerbau mau memenuhi syarat-syarat yang kami ajukan," kata Anton Hartawan Wibisono, pengacara MTM, kepada TEMPO. Syaratnya? "Ini yang akan kami rundingkan dulu dengan kuasa hukum PT Kerbau," katanya. PT Kerbau, pembuat rokok kretek cap "Kerbau", dengan karyawan 700 orang, kini memproduksi rokok 10 ribu batang per hari. Di pasaran, Kerbau juga terpukul oleh saingan rokok buatan perusahaan besar yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini