Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA datang dari Libanon. Selama perang yang berlangsung 15 tahun, Hassan Daoud tinggal di wilayah Beirut barat. Beirut terbelah dua: permukiman Islam di bagian barat, Katolik di bagian timur. Ia menyaksikan kota yang tadinya kosmopolitan, sebuah permata di tengah Timur Te ngah yang konservatif itu, tercerai-berai.
Itu semua bermula dari insiden yang terjadi pada April 1975. Di Ayn ar-Rummanah, seorang warga Libanon bentrok dengan seorang Palestina, lalu pertikaian berkembang ke seluruh wilayah Libanon dan Israel campur tangan. Pada 1976, pengungsi Palestina di daerah karantina dibantai. Sebaliknya, pada tahun yang sama, di Damor, kaum Kristen Maronit diserbu. Israel menyerang Libanon pada 1978 dan 1982. Hassan Daoud ingat, pada 1980-an itu, Beirut menjadi kota tertutup-tak ada telepon, tak ada majalah dan koran asing, tak ada penerbangan. Hubung an dengan dunia luar terputus.
Perang berhenti pada 1990. Persetujuan Taiff diteken. Tapi trauma perang saudara 15 tahun tak mudah hilang. Novel pertama Hassan berjudul Binayat Mathilde (The House of Mathilde) bercerita tentang kehangatan sebuah apartemen yang dihuni warga Katolik dan Islam. Cerita terpusat pada Mathilde, salah satu penyewa apartemen. Agaknya novel ini bertolak dari pengalaman masa kecil Hassan, yang tinggal dalam satu apartemen bersama orang Kristen, imigran Rusia dan Armenia. Baginya, pembagian Katolik dan Islam adalah semu. Yang berperang bukan orang Katolik dan Islam, melainkan para mi litan Katolik dan militan Islam. Masyarakat Islam-Kristen adalah korban.
Kini Beirut memiliki sebuah downtown baru-de ngan restoran, kafe, dan bar-bar ala Eropa. Namun, bagi Hassan, wajah cantik Libanon itu sesuatu yang berusaha menutupi atau melupakan luka. "Semua hal simbolis yang menyatukan semua orang lenyap," ka tanya kepada Tempo.
Siang itu, ia mengenang bagaimana kehidupan kesenian di Libanon merosot. "Produksi film lumpuh, teater lenyap selama dua dekade." Namun perang diakuinya membuat banyak orang mengekspresikan diri melalui tulisan. "Karena peranglah kami me nulis," katanya. Di Jakarta dan Borobudur, ia membaca sajak berjudul Lorca in Beirut: Who Brought Him Here? Ia bertanya: siapa yang menulis sebait puisi Federico Garcia Lorca di dinding jalanan Beirut? Siapa yang tiba-tiba ingat akan kalimat penyair Spanyol itu?
"Di Libanon sekarang anak-anak muda sangat aktif menulis novel dan puisi," katanya. Tapi menjadi pe nulis selalu berisiko. Wartawan atau penulis di Libanon, menurut dia, harus menyadari apa yang mereka tulis dan mengerti peta kelompok-kelompok dominan di Libanon. Ia sendiri kini adalah pemimpin redaksi suplemen kebudayaan "Nafawez" di harian Al-Mustaqbal. Ia mengaku kerap mendapat tekanan politik dari pihak lain. "Dua sahabat saya, penulis-jurnalis, meninggal tertembak tahun lalu," katanya.
Setiap faksi di Libanon, menurut Hassan, memiliki surat kabar. "Tak ada surat kabar untuk umum, tak ada surat kabar yang bebas, yang liberal. Media menjadi milik kelompok tertentu. Surat kabar ini pro-kelompok ini, surat kabar itu pro-kelompok itu," tuturnya berapi-api. Keadaan sekarang di matanya bertambah buruk. Masyarakat kian terkotak-kotak. Masyarakat tak mengambil pelajaran dari perang sipil. "Para intelektual kini sedang mencoba membuat semacam common area untuk ditinggali semua orang Libanon," katanya.
Suara Hassan yang terdengar perih dalam melihat masyarakatnya itu berbeda dengan Edmundo Paz Soldan, 40 tahun, sastrawan Bolivia yang menyikapi persoalan-persoalan sosial kontemporer dengan kacamata anak muda masa kini. Novelnya, Turing's Delirium, bercerita tentang seorang hacker asal Amerika Latin yang melawan globalisasi. Oleh para kritikus, karyanya ini dianggap bersemangat techno-thriller, penuh dengan unsur kebudayaan pop yang melek dan fasih dengan perkembangan gadget canggih.
Paz Soldan adalah motor dari gerakan baru sastra Amerika Latin yang terkenal dengan sebutan McOndo Movement. Gerakan ini lahir pada 1980-an. Pencetus gerakan ini adalah penulis Cile, Alberto Fuguet. Istilah McOndo muncul dari diri Fuguet setelah melihat banyak karya sastrawan muda Amerika La tin yang ditampik redaktur majalah sastra Amerika karena tak mencerminkan realisme magis model Gabriel Garcia Marquez.
Menurut Fuguet, dunia Marquez dan sastrawan muda Amerika Latin kini berbeda. Marquez meng olah persoalan politik Amerika Latin dengan bantuan folklore, sementara penulis muda Amerika La tin kini mengolah persoalan sosial dalam kacamata percampuran dunia urban Amerika Latin dan subkultur Amerika atau yang dalam istilahnya McOndo-gabungan McDonald, Macintosh, dan Condos. Di antara penulis senior, ada sastrawan Carlos Fuentes dari Meksiko yang mendukung gerakan McOndo. Dari novelis-novelis muda, selain Edmundo Paz Soldan, ada Giannina Braschi (Puerto Riko), Pedro Juan Gutierrez (Kuba), dan Mario Mendoza (Kolombia).
"Realisme magis bukan satu-satunya cara untuk menulis Amerika Latin," kata Paz Soldan siang itu kepada Tempo. "Pada 1990-an, ketika kami menulis, kami menyadari bahwa Amerika Latin telah berubah menjadi lebih urban ketimbang sebelumnya. Kami ingin merepresentasikan Amerika Latin yang anyar, yang banyak dipengaruhi budaya pop Amerika, pusat perbelanjaan, dan benturan antara orang yang berkecukupan dan melarat."
Novelnya, Turing's Delirium, berkisah layaknya film-film sains. Tersebutlah sebuah kota bernama Rio Fugitivo, di Bolivia. Untuk menghadapi serang an para hacker-terhadap kebijakan liberal-peme rintah bekerja sama dengan sebuah lembaga intelijen yang disokong CIA. Lembaga itu bernama Black Chamber, diketuai Ramirez Graham-orang Amerika kelahiran Bolivia. Mereka menggunakan kompu ter-komputer tua yang didonasikan Amerika.
Tapi yang bekerja di lembaga itu adalah jenius-jenius komputer. Salah satunya Miguel Saenz. Dalam dunia maya, nickname-nya Turing. Ia adalah seorang cryptanalyst, ahli pemecah kode. Ia pernah meng uraikan pesan-pesan rahasia Nazi dalam perang Dunia II, hingga menguntungkan Amerika. Keahliannya memecahkan kode-kode kini diperlukan pemerintah Bolivia untuk memproteksi file-file rahasia dan juga untuk menangkapi hacker, yang berusaha menerobos dan menyebarkan virus ke data mereka.
Para hacker yang ketahuan kemudian dicokok, di siksa, dan dibunuh. Turing tak ambil peduli dengan ha sil pekerjaannya-asalkan dia sendiri tak menyak -si kan itu. Ia tak merasa bertanggung jawab. Sementara itu, meski banyak hacker tertangkap, sang pemimpin bernama Kandinsky tetap berambisi melakukan re volusi. Ia adalah ahli mencipta virus. Kota Rio Fugitivo berada di tubir perang dunia virtual.
Paz Soldan bercerita, ilham novelnya datang dari demonstrasi besar antiglobalisasi pada April 2000 yang terjadi di Cochabamba, Bolivia. Saat itu, sebuah perusahaan transnasional bernama Bechtel yang mengelola penyediaan air bersih di kota menaik kan harga dua kali lipat. Ini menimbulkan kemarah an besar pada warga. Tiga hari masyarakat Cochabamba turun ke jalan, membakar gedung-gedung. Peme rintah Bolivia akhirnya meminta Bechtel hengkang dari Bolivia. Peristiwa ini dilihat warga sebagai kemenangan pertama masyarakat Bolivia atas neoli beralisme.
Paz Soldan tampak kritis dengan perusahaan multi nasional. Maka ia terpilih sebagai Young Global Leader 2007-oleh World Economic Forum. Tapi yang me narik, betapapun ia terlihat antiglobalisasi, ia tampak tak sepenuhnya optimistis dengan kebijakan Evo Morales di Bolivia. Sebagai presiden baru, Morales dikenal sebagai presiden yang sangat antiliberal.
Paz Soldan mengakui banyak terdapat perubah an setelah Morales memerintah Bolivia, tapi siang itu ia berkata, "Saya belum yakin hal tersebut akan berhasil atau tidak. Yang terjadi di Bolivia sekarang adalah kembali kepada ekonomi negara-seperti tahun 1960-an dan 1970-an, nasionalisasi minyak dan lain-lain. Tapi di Bolivia masih banyak kasus korupsi. Saya khawatir hal tersebut akan gagal seperti yang terjadi 30 tahun lalu."
Untuk memotret perubahan masyarakat, Paz Soldan tak menggali sesuatu yang arkais, menghindari yang metafisis. Ia dengan rileks menyerap Bon Jovi dan Sting seraya menggabungkannya dengan Marx atau Dirty Harry. Akan halnya Kimberly Blaeser, seorang penyair "Native American", sajak-sajak nya justru terasa menjauhi segala detak keurbanan. Dalam dirinya mengalir darah suku Anishinaabe, Indian Objiwe. "Ibu saya Indian, ayah saya Jerman dari generasi ketiga," katanya.
Malam itu di Teater Utan Kayu ia membacakan sajaknya berjudul Silsilah Keluarga:
Nenek ChippewakuMenjadi bidan dan pengumpul obat-obatan Perempuan kurus yang melahirkan dua belas anak
Ia lahir dan tumbuh di Reservasi White Earth, di Minnesota utara, salah satu cagar alam terbesar di Amerika. Di Prambanan, melihat batu-batu bekas gempa berserakan, ia bergumam, "Manusia dapat mencipta begitu indah seperti candi ini, tapi kekuatan alam begitu jauh lebih dahsyat." Ingatannya mungkin terlempar kembali ke Reservasi White Earth. "Tempat tinggal saya itu penuh danau-danau, kano-kano, dan hutan."
Membaca kumpulan puisinya yang dihadiahkan kepada Tempo, Apprenticed to Justice, ia tampak mencari identitasnya. Ia berkisah soal kehidup an sehari-hari komunitasnya, tentang bapaknya, kakeknya, pamannya, bibinya, saudari-saudarinya, sepupunya, tentang batu-batu karang, tentang tradisi api, tentang dapur, makanan, sekolah-sekolah untuk komunitas Indian. Sebuah puisinya berjudul Housing Condition of One Hundred Fifty Chippewa Family mendeskripsikan bagaimana kehidupan rumah tangga di Reservasi White Earth pada 1938. Pada tahun-tahun itu masih ada kerabatnya yang tinggal di rumah bambu dan wigwam.
Dan pengajar di Universitas Wisconsin ini dikenal aktif menghimpun karya penulis-penulis berdarah Indian dalam sebuah antologi bersama. Sebuah arti kel berjudul Loving Indianess: Native Women's Storytelling as Survivance yang ditulis seorang sarjana bernama Emerance Baker menyebutkan bahwa Kimberly adalah sosok yang gigih melawan diskriminasi de ngan cara halus. Kimberly dikenal selalu meng ingatkan adanya persoalan "vanishment"-pelenyapan atau penyangkalan sejarah dan kebuda yaan Indian -dalam institusi-institusi pendidikan di Amerika. Kimberly adalah seseorang yang selalu menampilkan sensibi litas jiwa dan tubuh seorang perempuan Indian yang selama ini dilupakan kaum fe minin. "Yang saya lakukan adalah se macam correcting history," katanya.
Seorang kritikus yang mengulas kumpulan puisi Kimberly Blaeser berjudul Absentee Indians menangkap homesickness luar biasa dalam sajak-sajaknya. Ia ingin kembali ke ketenangan kanak-kanaknya, tapi ia tahu keadaan tak memungkin kan untuk kembali sepenuhnya karena ia telah berubah menjadi modern. Ketegangan antara hidup nyata masa kini dan keinginan batinnya untuk mene mukan jalan pulang menghantui semua sajak Kimberly.
Hassan, Paz Soldan, dan Kimberly adalah contoh penulis yang terlibat dengan persoalan masyarakatnya dengan gaya dan cara masing-ma sing. Melalui pertemuan sastra Utan Kayu ini, kita mendengar pengalam an-pengalaman batin dan suara-suara dari belahan dunia lain.
Seno Joko Suyono, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo