Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cintapuccino Sutradara: Rudi Soedjarwo Skenario: Jujur Prananto, Icha Rahmanti Pemain: Sissy Prescillia, Aditya Herpavi, Miller. Produksi: SinemArt Pictures
PROBLEM menjelang pernikahan itu banyak jenisnya. Dari kesiap an mental kedua calon pengantin, 1001 persiapan teknis yang bikin pusing kepala, sampai keikhlas an untuk berpisah dari masa silam yang terus berkedip seperti bintang di ma yapada. Samar, tapi tak pernah benar-benar pupus. Lantas, bagaimana kalau jerat manis sepotong kenang an kembali hadir mencekik leher? Siapa yang mesti dipilih? Rudi Soedjarwo punya jawabnya: Hai, para calon mempelai, perhatikan cangkir kopi pasang anmu. Cocokkah kopi kesukaannya dengan kopi favoritmu?
”Analisis kopi” ini bukan orisinal milik Rudi, tapi muncul dari Icha Rahmanti, penulis novel Cintapuccino, yang di film ini menjadi penulis skenario bersama Jujur Prananto. Tak perlu diperdebatkan lebih jauh, me ngapa harus cintapuccino yang meruap, bukan cintapresso atau bahkan cintatubruk yang lebih bernuansa kopi lokal. Kita ikuti saja kisahnya.
Atas nama chick lit, gaya penulisan yang, di Indonesia, memiliki ciri khas memindahkan mentah-mentah cara percakapan sehari-hari masyarakat urban ke dalam sebuah teks, apa pun bisa terjadi. Termasuk kebingungan seorang Rahmi (Sissi Prescillia), ketika pria impiannya di masa lalu, Nimo (Miller), tiba-tiba muncul pada saat ia hampir dipersunting Raka (Aditya Herpavi). ”Setiap orang pernah punya kisah cinta tolol sewaktu SMA,” Rahmi membela diri ketika calon suami nya mengendus perubahan sikapnya.
Kisah ini terjadi di Bandung. Karena itu Icha-sang-kreator memilih profesi Rahmi sebagai pemilik distro, jenis usaha yang sedang hip di Kota Kembang. Dan hip adalah ciri lain yang mutlak harus muncul dalam chick lit, yang beberapa tahun silam meroketkan nama Helen Fielding (Bridget Jones’s Diary) atau Candace Bushnell (Sex and the City), setelah era para penulis awal seperti Sue Townsend atau Adele Lang pada awal 1990-an.
Sayangnya di tangan Rudi, nuansa hip ini tak dikembangkan maksimal. Desain interior Barbietsch, distro yang dimiliki Rahmi, terlalu polos untuk kreativitas barudak Bandung yang terkenal edun jika menyangkut ranah imajinasi. Bahkan Rahmi sebagai pemilik distro pun tak muncul sebagai fashionista yang rajin bereksperimen dengan warna dan pelbagai bentuk fashion. Rahmi terlihat hanya sebagai the girl next door, yang bisa berprofesi apa saja. Salah satu penyebabnya, mungkin karena Rudi kini dikenal sebagai sutradara yang ingin serba lekas dalam urusan produksi. Tujuh hari syuting pun cukuplah (padahal syu ting tujuh hari selalu berhenti pada kata ”lumayan”).
Sebagai sebuah kisah yang akhirnya menjurus pada terciptanya hubungan Raka-Rahmi-Nimo, sebetulnya Rudi sudah dengan tepat mengambil pilihan komedi romantis ketimbang pendekat an melodramatis yang mendayu-dayu. Tapi bahkan bentuk komedi romantis yang paling mendasar pun—seperti sering diperagakan sutradara-penulis-produser Nora Ephron (When Harry Met Sally, Sleepless in Seattle)—memiliki logikanya sendiri: bukan ending yang penting.
Setiap penggemar genre ini tahu, tokoh protagonis dalam komedi romantis harus happy ending. Yang menarik ditunggu, dan menjadi nyawa kisah, adalah bagaimana jelujuran peristiwa yang terjadi menjelang ending. Ringkasnya: bagaimana Rahmi bergulat mengatasi tarik-menarik antara pesona masa lalu dan impian masa depan? Siapa yang akan dipilihnya? Rahmi harus bahagia di ujung cerita. Itu formula yang tak bisa ditawar.
Di titik ini, Cintapuccino menjadi ampang. Bahkan penulis senior seperti Jujur pun tak bisa memberikan bahan baku yang dibutuhkan Rudi: sebuah grand gesture, sepotong momen yang bisa dipahami penonton mengapa Rahmi masih terus terjerat pada karisma Nimo, yang tak pernah sekalipun memacarinya.
Layar hanya menampilkan adegan mereka pernah berteduh berdua akibat kehujanan. Itu pun dengan dialog yang lebih mendatangkan tawa penonton (karena lafal Malaysia dari lidah Miller yang masih kental. Secara kese luruhan, kualitas akting Miller yang burok sangat mengganggu film ini).
Di luar problem-problem itu, Cintapuccino adalah film yang lumayan enak ditonton (lagi-lagi, kata ”lumayan”). Kiat Rudi untuk ”mengulangi” sebagian resep kesuksesan Ada Apa dengan Cinta? (2001)—mulai dari ”reuninya” dengan Jujur (skenario), dan Sissy cukup berhasil. Bahkan trademark Rudi untuk menampilkan musik sebagai bagian integral dari narasi film, membuat Rudi layak dinobatkan sebagai pakar diegetik dalam film Indonesia. Tampaknya, ini yang harus dipertahankan Rudi. Tapi tetap Cintapuccino bukan AADC. Rudi tak berhasil membuat sebuah ”tonjokan” yang mendebarkan, apalagi sentuhan yang mengharukan.
Jadi siapa yang dipilih Rahmi? Te ngok saja yang punya selera kopi yang sama dengan gadis itu.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo