Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAY Rock Café. Gadis bertubuh jenjang bak model itu menggamit mesra tangan kekasihnya begitu turun dari sedan sport yang mereka tumpangi. Keduanya lalu masuk ke kafe yang terletak di kawasan elite Roushe di pinggiran Kota Beirut itu. Dua pasangan lain telah menanti.
Tak tampak kecemasan pada diri mereka—karena perang, rusuh, dan kebencian. Penampilan mereka tidak seperti kaum muda Arab umumnya, yang mengenakan pakaian tertutup. Di tempat ini, kebebasan seolah diraya kan. Mereka modis, sensual, dengan sepatu hak tinggi, rok mini di atas lutut, tank top. Sisha dipesan….
Pukul 10 malam, ketika Tempo akan meninggalkan kafe ini, gadis-gadis itu tampak baru ”memulai” kehi dupannya. Makin malam, kehidupan kafe-kafe Roushe makin ”gemerlap”. Bay Rock Café, yang letaknya di puncak tebing di tepi pantai ini, adalah salah satu tempat ”favorit” muda-mudi kalang an menengah-atas Beirut.
Dari kafe itu, orang dapat menyaksikan panorama Pigeon Rock, dua batu karang raksasa di tepi Laut Tengah yang menjadi salah satu ikon Beirut. ”Di tempat ini, anak-anak muda biasa berkumpul dan bersenang-senang,” ujar Habib Karout, warga Beirut yang mengantar Tempo berkeliling kota, malam itu.
Libanon merdeka dari Pran cis pada 22 November 1943. Mungkin gaya hidup Prancis dengan pesta dan anggur membuat negeri pohon cedar ini jadi negara yang relatif kosmopolit dibanding negara Arab lain. Roushe ternyata bukan satu-satunya daerah di Libanon yang kental ”nuansa” Baratnya. Datanglah ke Jounieh, kota kecil berjarak 20 kilometer ke arah utara dari Beirut. Di sini, ”liberal”-nya jauh lebih kentara. Tidak cuma rumah makan atau kafe bergaya Eropa yang menjamur, tapi juga pub, klub malam, dan kasino kelas internasional.
Silakan masuk ke Casino du Liban. Ini sebuah kasino megah di tepi pantai Jounieh. Dibangun di bawah lereng bukit tepat di pinggir laut, kasino ini seperti aman ”tersembunyi”. Kasino ini juga sangat terkenal sebagai tempat judi terbesar di seluruh penjuru Timur Tengah. ”Biasa disebut Las Vegasnya Timur Tengah,” ujar Muhammad Zainal Aziz, mahasiswa program master asal Indonesia di Beirut.
Jounieh jauh lebih ”gemerlap” dari Roushe. Pusat kehidupan malam ini adalah kawasan baru di Beirut—sesudah perang. Di sini, tidak hanya ada tempat makan, tapi juga butik, pusat pertokoan, dan hypermarket. Papan reklame setengah lher, iklan wanita mengenakan pakaian dalam, terpampang ”bebas” di pinggir jalan raya. Walaupun tetap menggunakan bahasa Arab, bukan bahasa Inggris atau Prancis (ketiganya bahasa resmi di Libanon), iklan seperti itu sulit ditemukan di negara Arab lain.
Lebih ke utara, ada Kota Byblos. Dalam bahasa Arab, kota yang jauhnya sekitar 36 kilometer dari Beirut ini bernama Jbail. Ada pepatah, berkunjung ke Libanon belum lengkap jika tidak bertandang ke salah satu kota tertua di dunia ini. Dibangun sekitar 7.000 tahun silam oleh bangsa Poenician, nama Byblos diambil dari nama penguasa pertama kota itu, yaitu Jobl. Sejarah mencatat pendudukan dan penguasaan atas Byblos berlangsung silih berganti.
Kini, kota kecil yang men jadi cikal bakal terben tuknya Libanon itu berkembang sebagai daerah ”wisata sejarah” yang sangat terkenal. Letaknya yang dekat jalur jalan utama Beirut-Damaskus, ibu kota Suriah, membuat Byblos mudah dikunjungi—satu jam saja—dari Beirut. Di sini, bisa dijumpai peninggalan bangunan Crusader Castle dikelilingi rumah asli penduduk zaman kuno. Juga Gereja Saint John (Santo Yohanes), yang dibangun pada abad ke-12.
Bangunan-bangunan tua itu menyisakan tanda-tanda penyerbuan orang Eropa ke daerah ini pada masa Pe rang Salib. Seperti halnya di Jounieh, di kota tua ini kafe-kafe pinggir jalan tumbuh subur, mirip di Kota Paris. Panoramanya yang indah membuat kawasan tepi pantai Laut Mediteran yang berair biru gelap ini selalu ramai dikunjungi wisatawan.
Di sejumlah lorong jalan khusus untuk pejalan kaki, berderet toko suvenir khas Libanon. Rumah-rumah per istirahatan juga tumbuh subur. ”Di Byblos, turis selalu datang sepanjang tahun,” ujar Gerry, pedagang suvenir keturunan Armenia. Menurut dia, saat pecah perang de ngan Israel tahun lalu, pe ngunjung kawasan wisata ini hanya berkurang sedikit. ”Di sini aman, kok,” katanya.
Tak aneh jika tahun lalu Byblos tetap menjadi tempat orang mencari hiburan meski Beirut, yang hanya berjarak 36 kilometer dari tempat ini, sedang ”dibombardir” Israel dalam perang selama 33 hari itu. ”Kota ini sama sekali tidak tersentuh peluru Israel,” ujar Aziz.
Selain Byblos, tak jauh dari Beirut, terdapat kawasan perbukitan Harissa, yang merupakan bagian dari wilayah kota kecil Metn. Harissa adalah ”Hollywood-”-nya Libanon. ”Banyak artis top Libanon tinggal di sini,” kata Aziz. Kawasan ini juga kental dengan aroma Baratnya. Sama dengan Byblos dan Jounieh, Harissa tak tersentuh perang yang pecah tahun lalu.
Jounieh, Byblos, dan Harissa terkenal sebagai wi la yah permukiman Kristen. Tiga kawasan itu dikenal juga subur dengan resor atau real estate yang dimiliki para syekh juragan minyak dari Arab Saudi yang menjadi sahabat Israel. ”Israel memang diskriminatif saat menye rang Libanon,” kata Anindita Harimurti Axioma, kepala perwakilan Republik Indonesia di Libanon. Menurut dia, dalam perang tahun 1980-an itu, Israel ”hanya” mengarahkan bomnya ke permukiman-permukiman warga Hizbullah yang berada di tengah Kota Beirut atau ke wilayah Libanon selatan.
Menyusuri kafe-kafe, kasino-kasino yang gemerlap—dan penuh tawa—di sepanjang Jounieh, Byblos, dan Harissa; membayangkan di bagian lain Libanon ada kawasan yang pedih, suram….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo