Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah daun pintu tegak di ruang galeri One East ArtSpace, Singapura. Pintu setinggi dua meter itu telah jadi kanvas dengan gambar Sudjojono bersama keluarganya. Sindudarsono Sudjojono (1913-1986), bapak seni rupa modern Indonesia, melukis pintu itu karena tak sempat menggantinya dengan pintu baru pada 1964.
Saat itu pasangan Sudjojono dan Rose Pandanwangi hendak merayakan ulang tahun putra kedua mereka, Germania Menang Djuang, pada 2 Juli tahun tersebut. Salah satu pintu rumah mereka di Pasar Minggu, Jakarta, sudah tampak kotor dan tak layak untuk menyambut keluarga dan teman-teman Djuang yang bakal datang. Tidak ada waktu untuk membeli cat dan mencari tukang cat.
Sudjojono, yang akrab disapa dengan sebutan Mas Djon, pun beraksi dengan palet dan kuasnya. Di pintu itu dia melukis Rose mengenakan baju bodo, pakaian tradisional Sulawesi Utara, dan memegang piala kejuaraan menyanyi Bintang Radio. Rose adalah penyanyi seriosa yang memenangi berbagai kompetisi menyanyi di dalam dan di luar negeri. Ada pula gambar Sri Rosewiaty menggendong adiknya, Djuang, dan hiasan gambar ikan dan binatang lain.
Pintu itu menjadi salah satu pajangan utama pameran "Mas Djon: The Man Behind the Easel", yang berlangsung sejak pertengahan Agustus hingga 12 September di galeri yang terletak di lantai 3 Thong Sia Building, tak jauh dari pusat belanja terkenal Orchard Road, itu. One East Asia, pemilik galeri, dipilih sebagai wakil resmi S. Sudjojono Center di Singapura. Pameran ini merupakan perayaan atas penunjukan itu sekaligus untuk memperingati 25 tahun wafatnya Sudjojono.
Pameran ini memajang sejumlah lukisan dan berbagai memorabilia Sudjojono, seperti surat-surat, sketsa, puisi, gambar, dan barang pribadi lainnya. Di salah satu pojok galeri terdapat sebuah meja, kursi, dan lukisan di atas sandarannya. Di meja itulah dipajang alat-alat lukis Sudjojono, termasuk palet terakhirnya serta topi dan cangklong berhias manik-manik, yang diambil dari kalung istrinya dan anak-anaknya. "Ini semua asli," kata Santy Saptari, Head of Art Project One East ArtSpace.
Barang terbaru yang dipamerkan adalah rekaman video Sudjojono diwawancarai Inke Maris, mantan penyiar radio BBC. Menurut Santy, video itu ditemukan di tumpukan lukisan di gudang rumah Sudjojono di Jakarta. Ternyata kondisinya masih sangat baik, meski ada sedikit kerusakan. Di video itu terungkap alasan Sudjojono memilih nama Pandanwangi untuk anaknya, yakni, menurut dia, pandan itu wangi dalam arti sebenarnya ataupun kiasan.
Sejumlah lukisan yang dipamerkan di galeri seluas sekitar 137 meter persegi itu menggambarkan wajah anak-anaknya yang semuanya terlihat cemberut. Rupanya sang ayah sering menyuruh mereka duduk di kursi untuk dilukis, padahal anak-anaknya sudah mau tidur, sehingga mulut mereka terlihat manyun karena kesal.
Salah satu lukisan penting dalam pameran ini adalah Lagu Setelah 26 Tahun (1985). Lukisan cat minyak seukuran 102 x 90 sentimeter ini adalah satu-satunya lukisan yang menggambarkan Sudjojono dengan Rose. Lukisan ini dibuat sewaktu Rose pergi ke Belanda. Jadi Djon melukis hanya dengan membayangkan sosok sang istri, sesuatu yang jarang dilakukannya sebagai seniman realis.
Ada pula surat-surat pribadi Sudjojono, seperti suratnya dari Belanda bertanggal 1 November 1957 yang ditujukan kepada Rose. Begini bunyinya: "Mas Djon bingung, Rose. Buntu dan terpaksa merasa sebagai tong jg kosong. Mas Djon tjinta Rose, dari udjung kaki ke udjung rambut, dari lidah sampai ke hati, dari pagi sampai ke pagi lain lagi, dari Amsterdam sampai kini ke kemudian hari, batas kubur tak ada, riwajat akan membuktikan, fitnahan hanya menyemerbakkan hidup tjinta saja."
Santy menyatakan pameran ini merupakan kerja sama One East Asia International Art Management dengan Singapore Art Museum, galeri seni nasional pemerintah Singapura. Galeri ini menggelar pameran setiap empat atau enam minggu, tapi koleksi Sudjojono akan dipamerkan secara tetap di sana.
Pameran ini memusatkan perhatian pada sosok pribadi Sudjojono. Dia adalah satu dari tiga maestro seni rupa Indonesia, selain Affandi dan Basoeki Abdullah. Perupa kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, 14 Desember 1913, ini mendirikan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia pada 1937. Kelompok itu dianggap sebagai tonggak awal seni rupa modern Indonesia.
Pada masa itu, Sudjojono masuk Lembaga Kesenian Rakyat, lalu masuk Partai Komunis Indonesia, dan mewakili partai itu di parlemen. Pada 1957, ia membelot karena perbedaan pandangannya dengan partai soal eksistensi Tuhan. Pada tahun itu pula dia menceraikan istrinya pertama, Mia Bustam, dan menikah dengan Rose.
Sudjojono hidup sepenuhnya dari lukisan. Lukisan-lukisannya dari zaman revolusi sangat terkenal dan menjadi semacam rekaman sejarah masa itu. Dia juga membuat sejumlah karya pesanan, termasuk lukisan terkenalnya tentang pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen pada dinding Museum Sejarah, Jakarta. Lukisan itu dipesan Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada 1973.
"Sudjojono adalah proklamator seni rupa Indonesia," kata Aminudin T.H. Siregar, penulis buku Sang Ahli Gambar (2010), yang membahas sosok dan karya Sudjojono. Dialah, kata Aminudin, yang secara tegas menyebut seni rupa Indonesia, bukan seni rupa di Indonesia, karena dia percaya akan adanya identitas dan karakter seni yang khas Indonesia.
Sudjojono bukan sekadar pelukis, tapi juga pemikir. Melalui sejumlah tulisan, dia memperkenalkan konsep "jiwa ketok" (jiwa terlihat). Bagi dia, kesenian adalah wujud jiwa senimannya. Menurut Aminudin, konsep Sudjojono ini mengacu pada semacam nasionalisme dalam seni rupa. "Mungkin ini dipicu oleh gairah terhadap kemerdekaan, juga terkiat basis ideologi komunisme yang dianutnya pada masa itu," kata pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini.
Tulisan-tulisan Sudjojono pada 1950-an menyebutkan seniman harus nasionalis sekaligus internasionalis. Pandangan ini, menurut Aminudin, sangat jauh ke depan karena kini orang hangat memperbincangkan bagaimana menjadi seniman yang mendunia tapi tetap kuat unsur lokalnya.
Menurut Aminudin, lukisan-lukisan Sudjojono tak pernah mengulang hal yang sederhana, seperti lukisan sabung ayam yang dilukis berkali-kali oleh Affandi. Lukisannya juga memotret kejadian sederhana dan mengkritik pemerintah. Dia, misalkan, pernah menulis tentang kenaikan harga minyak tanah pada 3 Januari 1960, dari Rp 1,06 menjadi Rp 2 per liter.
Sudjojono pulalah, kata Aminudin, yang memperkenalkan istilah "seniman" pada 1939 atas saran Ki Mangunsarkoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pertama. Dia pulalah yang mempopulerkan istilah "pelukis" (sebelumnya "tukang gambar") dan "sanggar" sebagai pengganti "studio".
Djon, kata Aminudin, adalah seniman besar yang popularitasnya baru belakangan ini mulai diakui secara luas. "Mungkin karena pada masa Orde Baru orang takut mengangkatnya karena pasti akan mengungkit masa lalunya sebagai komunis," katanya. "Tapi kini ia makin terhormat dan bahkan beberapa peneliti mulai menempatkannya sebagai pelopor kemodernan di Asia, seperti Victor Edades, bapak seni lukis modern Filipina."
Harga karya Sudjojono juga mulai melambung di balai-balai lelang dunia. Yang termahal adalah lukisan cat minyak A New Dawn (1956), yang terjual US$ 1,4 juta (Rp 12 miliar) di balai lelang Sotheby’s, Hong Kong, pada Oktober 2010. "Harga itu masih terlalu murah untuk Sudjojono. Tapi pameran di Singapura ini dan naiknya harga karyanya merupakan tanda bahwa kedudukan Pak Djon makin terhormat," kata Aminudin.
Kurniawan, Rumbadi Dalle (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo