Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan tiga ratusan warga Universitas Indonesia, Profesor Emil Salim seperti lupa umur. Senin pekan lalu, pada acara halalbihalal Fakultas Ekonomi di Depok, Jawa Barat, mantan Menteri Lingkungan Hidup berusia 81 tahun itu menyampaikan pidato menuntut perbaikan tata kelola kampus. "UI bukan sekadar kumpulan gedung di kampus Depok dan Salemba," ujarnya dengan nada tinggi. Dia mengangkat tangannya seolah-olah ingin menyaingi pucuk gedung perpustakaan berlantai delapan, yang diklaim terbesar se-Asia. "UI diisi oleh keberanian moral membangun masyarakat yang demokratis." Tepuk tangan bergemuruh di aula dekanat Fakultas Ekonomi berukuran seperempat lapangan sepak bola yang terisi penuh itu. Mahasiswa berpekik menyanyikan Mars Universitas Indonesia.
Mereka menganggap demokrasi di Kampus Kuning mulai luntur di bawah kepemimpinan Rektor Gumilar Rusliwa Somantri sejak tiga tahun lalu. "Dia memimpin dengan image penguasa yang sewenang-wenang," kata Ade Armando, pakar komunikasi dan mantan anggota senat akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.
Tindakan yang disebut sebagai contoh terbaru adalah pemberian gelar doctor honoris causa alias doktor kehormatan bidang perdamaian dan kemanusiaan kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz pada 21 Agustus lalu. Berlangsung tanpa ramai-ramai, hampir semua warga UI baru mengetahui kabar penganugerahan itu dari media beberapa hari setelahnya.
Lembaga pendamping buruh migran, Migrant Care, menilai tindakan itu sebagai pengkhianatan terhadap tenaga kerja Indonesia yang mendapat perlakuan buruk di sana. Raja, selaku pemegang otoritas tertinggi di Saudi, membiarkan praktek pelanggaran hak asasi manusia merajalela di negaranya. Een Nuraeni, putri Ruyati, tenaga kerja yang tewas dipancung di Arab Saudi pada Juni lalu, mengatakan gelar itu sama dengan merestui pemancungan.
Guru besar Sosiologi UI, Tamrin Amal Tomagola, menganggap Gumilar, yang juga berasal dari Jurusan Sosiologi, mengabaikan kajian rekan-rekan almamaternya. Pasalnya, universitas itu memiliki Pusat Studi Wanita, yang meneliti penyiksaan terhadap tenaga kerja di Arab Saudi dan menemukan penyiksaan terjadi sejak sedikitnya sepuluh tahun lalu.
Namun Gumilar berkelit. "Kami mohon maaf jika momentum ini kurang pas dan menyakiti banyak pihak," ujarnya kepada Tempo dua pekan lalu. Dia mengatakan penganugerahan beberapa kali tertunda karena raja berusia 87 tahun itu bolak-balik masuk rumah sakit. Saat kerajaan menyediakan waktu pada Agustus lalu, dia tidak kuasa menolak karena khawatir menyinggung pengundang.
Menurut Gumilar, penyematan berlangsung di Istana Al-Safa, tempat tinggal raja di Mekah, mengingat raja sudah terlalu sepuh untuk terbang sejauh 8.000 kilometer ke Jakarta. Ini merupakan kedua kalinya gelar doktor kehormatan disematkan di luar kampus, setelah gelar untuk pakar filsafat Profesor Daisaku Ikeda di Jepang dua tahun lalu.
Gumilar berkukuh pilihannya tidak melenceng. Raja Abdullah, menurut dia, merupakan raja pertama yang bekerja keras dalam pembaruan Islam di Arab Saudi, yang menaungi kota suci Mekah dan Madinah. Dia mendirikan universitas yang tidak lagi membedakan ruangan laki-laki dan perempuan, termasuk menyertakan perempuan sebagai wakil menteri di kabinetnya. Dia juga merupakan satu penyumbang terbesar yang membantu tsunami Aceh 2004.
Semula nomine gelar doktor itu bukan Raja Abdullah, melainkan Emir Qatar Hamad bin Khalifa al-Thani. Seperti dikatakan anggota tim pengulas doktor kehormatan, Hariyadi Wirawan, Qatar, yang berpenduduk 1,7 juta orang, merupakan simbol modernisasi di tanah Arab. Di sana bercokol jejeran pencakar langit megah, stasiun televisi Al-Jazeera, sampai menjadi lokasi perhelatan Piala Dunia 2022. Namun, Hariyadi melanjutkan, Kedutaan Besar Qatar di Jakarta menolak. Alasannya, Raja Saudi sebagai pemimpin negara terbesar di Semenanjung Arab lebih berhak.
"Waktu diganti ke Raja Arab, kami kelabakan juga," kata Ketua Departemen Hubungan Internasional UI itu. Selain tidak semodern Qatar, dia sadar, Saudi mendapat ponten merah dalam memperlakukan tenaga kerja Indonesia. Setelah tim menganalisis dalam enam kali pertemuan, pada Mei 2008, calon alternatif ini dinyatakan lolos.
Dalam keterangan pers di gedung rektorat, yang hanya berselang dua jam dari pidato Emil Salim, Gumilar menyebut pemberian gelar kepada Raja Saudi sebagai "blessing in disguise". Menurut dia, UI tidak mendapat apa-apa dari penghargaan itu. Justru persepsi masyarakat Arab terhadap Indonesia berubah total. Sebelumnya, dia melanjutkan, masyarakat Arab hanya mengenal orang Indonesia sebagai pekerja karena ada sejuta warganya yang bekerja sebagai buruh di sana. Kini mereka tahu Indonesia punya universitas berkelas internasional. "Mudah-mudahan bisa membantu hubungan Indonesia dan Saudi."
Pernyataan itu tidak mengendurkan niat penentangnya. "Pemberian gelar ini hanya puncak bisul dari semua kebijakannya," kata Tamrin. Dia mengatakan Gumilar membekukan Majelis Wali Amanat (terdiri atas 21 orang, termasuk Menteri Pendidikan Nasional, perwakilan Senat Akademik Universitas, karyawan, dan mahasiswa), Dewan Guru Besar, serta Senat Akademik Universitas (terdiri atas dekan, perwakilan guru besar, dosen, dan kepala perpustakaan).
Menurut dia, sistem yang berlaku sekarang lebih parah ketimbang sentralisasi, yaitu personalisasi. Agustus lalu, dia melanjutkan, rektorat juga membubarkan demo mahasiswa yang memprotes tingginya biaya kuliah. Akibat bentrokan, sekitar 20 mahasiswa kudu masuk rumah sakit.
"Ngomong good governance, ngomong antikorupsi, malu kalau tidak memberi contoh," ujar ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri. Dia menunjuk kawasan hutan di bagian utara kampus Depok, tepat di seberang asrama, yang sudah gundul untuk memberi jalan bagi mal. Faisal mengatakan proyek itu ataupun pembangunan fasilitas dan gedung lainnya, seperti jalur sepeda dan perpustakaan senilai Rp 100 miliar, selalu lewat penunjukan langsung. "Dari kebijakannya dua tahun ini, he must go out," ujar Tamrin. Dengan masa jabatan lima tahun, resminya, Gumilar punya sisa satu tahun sebagai pemimpin warga jaket kuning.
Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan tak ada masalah dengan prosedur pemberian gelar. Menteri Mohammad Nuh menilai polemik itu dipicu ketidakharmonisan antara rektorat dan Majelis Wali Amanat, yang penyebabnya antara lain pemilihan rektor pada Juli tahun depan. Tapi hal ini dibantah Emil Salim, yang juga anggota Majelis. "Ini tahun 2011, jangan bicara 2012," katanya lantang. Di belakangnya, puluhan mahasiswa berjaket kuning berteriak memberi dukungan.
Reza M., Ririn Agustia, Febriyan, Mahardika Satria, Dianing Sari (Depok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo