Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Mantra dari Terrence Malick

Sebuah film yang mempertautkan kehidupan sehari-hari dengan pertanyaan spiritualitas. Karya terbaru seorang maestro.

12 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutradara dan skenario: Terrence Malick
Pemain: Brad Pitt, Sean Penn, Jessica Chastain, Hunter McCracken, Fiona Shaw, Jackson Hurst, Joanna Going, Kari Matchett, Laramie Eppler, Tye Sheridan
Produksi: Fox Searchlight

Dengan simfoni dari Bach, Brahms, dan Mahler, sebuah keluarga dan segala kepedihannya terlukiskan di atas palet yang pucat dan muram. Ayah yang senantiasa kecewa oleh dirinya sendiri yang mendidik ketiga anak lelakinya dengan kedisiplinan yang luar biasa. Kamera mengikuti sebuah suburban di Kota Waco pada 1950-an dan menyorot kehidupan si sulung Jack O’Brien (pendatang baru yang luar biasa, Hunter McCracken). Jack menyimpan segala kekisruhan hatinya dalam diam. Ayahnya, Mr O’Brien, mengkritik segala gerak laku ketiga putranya, Jack, RL (Laramie Eppler), dan Steve (Tye Sheridan), bahkan hanya jika putranya membaca koran dengan cara yang salah. Mereka semua menghadapi ayah dengan rasa takut. Jack mengatakan kepada ayahnya, "Ini rumahmu, kau boleh melakukan apa saja," katanya mencoba memberi justifikasi kepada sang ayah yang sungguh pemarah.

Kenyamanan hanya ditemukan di pelukan ibunya (Jessica Chastain), yang ditampilkan mirip malaikat jatuh ke bumi. Ketika sang ayah pergi ke luar kota, ketiga putranya merasakan kelembutan kasih sang ibu: "Love every­one. Love every leaf, every ray of light," demikian kata-katanya yang selalu membelai telinga Jack. Dan nasihat ibunya itulah yang menyebabkan Jack selalu mencoba bertahan hingga ia dewasa (diperankan oleh Sean Penn).

Kisah keluarga O’Brien ini tampil tanpa banyak dialog dan sesekali kalimat yang meluncur dari mulut para tokohnya akan tenggelam di antara musik, gerak daun, dan siraman matahari Texas melalui tirai jendela. Kita melihat Tuan O’Brien—Malick sengaja tak memberikan nama akrab bagi pasangan O’Brien—yang mendengarkan Fourth Symphony dari Brahms saat makan bersama keluarganya. Emosi sang tuan—diperankan Brad Pitt dalam penampilan yang sangat berbeda—selalu terlihat dari wajah seorang bapak rumah tangga yang merasa dirinya pecundang. Pada kesempatan lain, kita melihat Tuan O’Brien yang senantiasa bertengkar dengan istrinya yang jelita bak bidadari berambut tembaga itu.

Jack, yang tengah tumbuh menjadi remaja lelaki yang selalu menyimpan deritanya, mengelola hasrat dari mengintip paha tetangga yang licin bak pualam, hingga mencuri baju tidurnya yang kemudian dihanyutkan di sungai.

Ini semua tertangkap melalui serpih­an adegan yang digambarkan dengan visual yang penuh siraman cahaya. Tapi kisah keluarga ini tampak sebuah cerita sederhana pada permukaan. Sutradara Terrence Malick, yang memproduksi lima film dalam kurun waktu 30 tahun, harus mempertanyakan asal-muasal segala yang bergerak sebagai sebuah keluarga. Kita melihat gebrakan teori Big Bang dan bermulanya pergerakan sel hingga imaji dinosaurus. Bagian yang lebih seperti perenungan persoalan keimanan inilah yang kemudian membentangkan kita pada pertanyaan-pertanyaan kosmik tentang eksistensi manusia dan semesta.

Terrence Malick, yang berhasil meraih penghargaan Palme D’or dalam Festival Film Cannes—yang tentu saja tak dihadirinya karena sineas ini adalah sosok yang pemalu dan antipublikasi—seperti biasa membelah penonton: mereka yang tak suka dan yang mencintainya.

Film The Tree of Life mempertautkan sebuah kehidupan sehari-hari yang mengisi ruang dan waktu dengan spiritualitas. Penggambaran lahirnya kehidupan yang dimulai dengan Big Bang yang kemudian dalam sebuah garis yang kompleks yang berlangsung selama jutaan tahun terbentuklah orang-orang seperti pasangan O’Brien, Jack, RL, dan Steve. Kalaupun ada kematian yang memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai, itu adalah peristiwa sesaat. Malick memvisualisasi "hari akhir" di mana kita bisa bertemu lagi dengan mereka yang sudah pergi.

Malick menuturkan cerita seperti menggubah puisi sebagai rapalan mantra. Tak semua orang menikmati rapalan mantra orang lain. Tapi, sekali kita masuk dalam tenggelam dengan bahasa yang sama dengan Malick, kita akan hanyut dalam karya jenius seorang maestro.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus