PENYAIR Taufiq Ismail agak heran tatkala membaca kembali tulisan
almarhum Trisno Sumardjo dalam Almanak Seni 1957 yang berjudul
"Kedudukan Seni Rupa Kita". Di sana Trisno Sumardjo mencoba
membentangkan bahwa harapan pada senirupa Indonesia masih
banyak. Bidang-bidang cukilan kayu, etsa, exlibris, fresco,
patung, relief, monumen, keramik, displ, arsitektur, tata-kota
dan sebagainya masih menantang untuk dikerjakan. "Tapi entah
mengapa batik lupa disebutkan, barangkali juga memang tidak
terpikirkan", kata Taufiq. Padahal dalam pengembaraannya ke luar
negeri ia selalu kepergok bahwa batiklah agaknya yang tepat
untuk dibanggakan sebagai"cap Indonesia" pada senilukis pribumi.
Dengan alasan ini, ia kemudian tak ragu-ragu mensponsori pameran
lukisan batik Amri Yahya di ruang pameran TIM -- 26 sampai
dengan 3 Agustus yang lalu.
Sementara Amri masih berada di Kopenhagen menjaga
lukisan-lukisannya yang pameran keliling, isterinya muncul
dengan senyum ramah dan bahagia di antara puluhan buah tangan
suaminya. Sekali pandang, terasa Amri langsung menampilkan
ciri-cirinya: spontan, ekspresip dan trampil. Garis-garisnya
tegas, runcing seperti menyikut-nyikut membersitkan enerji yang
menggebu-gebu. Dari segi teknis ada keunggulan yang bebas dari
kecerobohan, sehingga terhidang sesuatu yang klimis, hampir
menjadi formil. Ia sangat produktip. Dari satu batik ke batik
yang lain begitu lancarnya seperti tembakan beruntun. Dari
beberapa motif yang seluruhnya abstrak itu, lamat-lamat muncul
bentuk kaligrafi. Kadangkala pula muncul garis-garis lengkung
yang selektip di atas bidang yang putih bersih, mengimbangi
suasana yang ramai di batik-batik lainnya.
Muncrat
Format lukisan batik tersebut beraneka ragam. Ada yang
sedemikian besarnya sehingga menangkup seluruh tinggi dinding.
Yang kecil-kecil tak sedikit. Ada pula yang bulat. Yang menarik,
makin besar formatnya, makin garang kelihatan nafsu ekspresi
yang muncrat, seakan-akan Amri tak suka membiarkan bidang-bidang
itu tidak tersapu emosi. Di samping itu terasa pula kecendrungan
untuk mencapai komposisi-komposisi yang terkunci selesai,
sehingga tak ada sisa layi untuk dilanjutkan oleh imajinasi
orang lain. Hal ini menolong keramaian dan kegarangan warna itu
menjadi teduh dengan sendirinya. Maka di balik segala garis,
bidang, warna yang melonjak-lonjak Amri masih sempat menyarankan
ketenangan. Demikianlah sesudah beberapa saat batik-batik itu
menohok dan mengagetkan, selanjutnya ia tidak lebih dari barang
pajangan yang ramah. Tak pelak lagi, ini kontrol yang sudah
menjadi satu dalam spontanitas Amri, untuk menjadikan
ekspresinya sebagai penunggu dinding yang membuat orang betah.
Lain halnya dengan batik-batik yang membiarkan dasar kain tetap
putih. Di sana kadangkala hanya ada seperti serakan tinta hitam,
mengesankan bentuk naga, akar pohon, percikan darah, atau
lengkung bumi. Dalam beberapa karya sempat keluar irama-irama
kecil yang lincah yang mengingatkan pada musik jazz. Lalu terasa
bahwa Amri mencoba pula berekspresi dengan bidang-bidang yang
efisien, di samping mengandalkan kekuatan garisnya. Meskipun
keinginannya untuk menggugah orang agar mengalami proses kreatip
dalam menikmati lukisan tidak sebesar usahana untuk
mempercantik suasana (di rumah di mana lukisan batik itu akan
disimpan), toh Amri masih melantunkan juga haru dari karya-karya
batiknya.
Rp 3 Juta
Bagaimanapun ia telah mempertontonkan penguasaan teknik yang
licin dan sukses. Yang terakhir ini karena di satu segi ia
berhasil menjadikan lukisan batiknya sebagai kegiatan
berekspresi bukan semata-mata kerajinan -- sementara itu ia
berhasil pula membuatnya komersiil. Bayangkan, sebuah lukisan
batik yang berformat bundar terjual dengan harga Rp 3 juta.
Bukan main ini. Sebagaimana kata Taufiq, yang mendengar langsung
pengakuan pelukisnya, mungkin benar Amri orang edan pertama yang
berhasil menaikkan harga lukisan batik menjadi begitu
fantastisnya. Sementara banyak pelukis masih menganggap lukisan
batik lebih merupakan kerajinan daripada karya seni.
Selain lukisan batik dengan judul-judul yang sama (Lebak I,
Lebak II dan seterusnya) Amri juga menampilkan beberapa buah
lukisan cat minyak. Tetapi jelas sekali kanvas-kanvasnya ini
tidak mendapat perhatian sebesar batik-batiknya dari pelukis
sendiri. Kalaupun sifat khas Amri yang total dan berani itu
masih terasa pada perbenturan warna dan penguasaan komposisi
bidang, batik-batiknya jauh lebih cemerlang. Pada beberapa
lukisan bahkan terasa menjadi terlalu romantis dan kendor
suasananya. Memang pada beberapa lukisan yang tidak begitu royal
warna, muncul suasana lain. Semacam rasa sunyi dan jenuh. Kita
hanya bisa menduga-duga, mungkin sekali waktu suasana ini akan
mencuat lebih keras, sehingga Amri mengutarakan sesuatu yang
lain. Bila ia telah berhasil menghantarkan sesuatu yang abstrak
dari batiknya, tanpa dianggap sesuatu yang asing oleh para
peminat batik yang awam terhadap senilukis, masih ada
kemungkinan, bahwa sekali waktu ia akan menjadikan juga
batik-batiknya itu tidak sepi dari pesan. Setidaknya untuk
mengisi kekosongan dari kegurihannya kini. Putu Wijaya-
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini