Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Di bawah Bayangan Pramoedya

Warisan terbesar Koesalah Soebagyo Toer adalah karya terjemahan sastra Rusia langsung dari bahasa aslinya. Ia juga saksi atas sejarah kepenulisan Pramoedya Ananta Toer.

21 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"...Kalau orang mau memperkenalkan saya kepada orang lain, orang itu mengatakan: 'Perkenalkan, ini adik Pramoedya Ananta Toer!' Saya nilai, ini karena terlalu besarnya nama abang saya, sebaliknya terlalu kecilnya nama saya sendiri."

KALIMAT itu ditulis Koesalah Soebagyo Toer dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer. Buku yang terbit pada 2006 itu berisi catatan harian, dokumentasi, dan detail hubungannya dengan Pram—panggilan Pramoedya. Kalimat tadi menggambarkan bahwa Koesalah mengakui dan merasakan kebesaran abangnya.

Kebesaran Pram bagi Koesalah dimulai saat ia berusia 15 tahun. Pram-lah yang memboyong Koesalah ke Jakarta bersama dua saudara lainnya, Koesaisah Toer dan Soesilo Toer, pada 1950 setelah meninggalnya sang ayah, Mastoer. Mereka tinggal di kediaman Pram di kawasan Jakarta Pusat. Koesalah banyak membantu dan menyertai Pram dalam aktivitasnya. Menurut sastrawan Amarzan Loebis, hubungan Koesalah dengan Pram memang sangat dekat. Keduanya adalah orang yang serius dan cenderung pendiam. "Namun Koesalah lebih gaul dibanding Pram," kata Amarzan, Rabu pekan lalu.

Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas Taman Dewasa dan Taman Madya, Kemayoran, Jakarta Pusat, pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 27 Januari 1935, ini mendapat beasiswa dari pemerintah Sukarno dan dikirim belajar ke Fakultas Sejarah dan Filologi Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa (atau Druzhby Narodov University), Moskow, Rusia (1960-1965). Lulus cum laude dan pulang dari Rusia pada Juli 1965, karena ikatan dinas, Koesalah diharuskan mengajar bahasa Rusia di Akademi Bahasa Asing milik pemerintah.

Tragedi 1965 turut menyeret Koesalah. Bersama Pram, ia ditangkap militer dan dijebloskan ke penjara. Sempat dilepas setahun, Koesalah kembali ditangkap pada Operasi Kalong 1968 dan baru dilepas 10 tahun kemudian. "Pak Koesalah ini kan terkait dengan abangnya!" ujar seorang komandan kamp penjara Salemba ketika Koesalah menanyakan pemenjaraan dirinya.

Di penjara, Koesalah kebagian mengelola perpustakaan. Di sini, Koesalah yang menguasai bahasa Inggris, Rusia, dan Belanda menerjemahkan Jiwa-jiwa Mati karya Nikolai Gogol. Setelah bebas dari penjara, dia bersama keluarga harus berpindah-pindah kediaman hingga tujuh kali, sebelum menetap di Depok, Jawa Barat. "Yang paling merepotkan, setiap kali pindah rumah, saya harus lapor ke RT hingga kodim," kata Koesalah kepada Tempo pada 2007. Untukmenafkahi keluarga, ayah tiga anak ini kembali mengandalkan kecakapan bahasa asingnya untuk bekerja sebagai penerjemah.

Meski nama Koesalah tak sebesar Pram, tetap saja perannya dalam dunia literasi Indonesia layak diperhitungkan. Ia adalah penerjemah sejumlah karya klasik dunia. Sebut saja Anna Karenina (karya Leo Tolstoy), Musashi (Eiji Yoshikawa), Perdagangan Awal Indonesia (O.W. Wolters), dan Menjinakkan Sang Kuli (Jan Breman). "Dia punya peran besar membawa dan mengenalkan sastra Rusia ke Indonesia. Sebab, semula sastra Rusia masuk ke Indonesia diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Di tangan Koes, karya-karya itu diterjemahkan langsung dari bahasa Rusia ke bahasa Indonesia," ujar Amarzan Loebis.

Selain itu, Koesalah menulis Kronik Revolusi Indonesia bersama Pram dan Ediati Kamil. Dia pun menyunting Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul karya Mas Marco Kartodikromo. Karyanya, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, dianggap sebagai sumbangan besar bagi yang ingin mengetahui kehidupan Pram. "Banyak hal detail yang belum diketahui publik," ucap sejarawan Hilmar Farid, yang menulis disertasi doktoralnya tentang Pram. "Dia merupakan saksi atas sejarah kepenulisan Pram."

Rabu pekan lalu, Koesalah wafat pada usia 81 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Cildong, Depok. Hingga akhir hayatnya, peraih bintang penghargaan Rusia, Medali Pushkin, ini masih tetap diingat dan dikenal sebagai adik Pram. "Dia memang tidak bisa lepas dari bayang-bayang Pram. Tapi bukan berarti hidup dia tergantung Pram," kata Hilmar, kini menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Dia adalah sastrawan karena terjemahan juga merupakan karya sastra."

Tito Sianipar, Raymundus Rikang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus