Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemakaian kata daripada yang tidak ada dasar aturannya, yang berlebihan dewasa ini, dianggap sebagai suatu 'penyakit' bahasa yang sukar disembuhkan. Dari pejabat tinggi sampai kepada kaum menengah, kata daripada seperti diobral saja pemakaiannya…. Ada orang yang dalam pidatonya menggunakan berpuluh-puluh kali kata daripada yang tidak menurut aturan itu. Orang yang terlalu banyak menggunakan kata daripada yang tak tepat dapat dijuluki 'Bapak Daripada'…. Anda tak mau dijuluki seperti itu, bukan?"
Wacana tersebut diungkapkan Jusuf Sjarif Badudu dalam majalah Intisari dan kemudian dimuat kembali dalam buku Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III (Gramedia, 1989). Kritik serupa disampaikannya dalam Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI. J.S. Badudu adalah pengisi acara itu secara rutin pada 1977-1979 dan 1985-1986.
Siapakah yang dapat dijuluki "Bapak Daripada"? Badudu tidak menyebut langsung sebuah nama. Tapi orang yang hidup pada masa Orde Baru segera tahu bahwa kata-kata itu merupakan sindiran kepada "Bapak Pembangunan", Soeharto, presiden yang antikritik selama 32 tahun berkuasa.
Keberanian semacam ini merupakan hal yang langka pada masa itu. Tidak pernah ada konfirmasi apakah masa kontrak Badudu di TVRI tidak diperpanjang karena "keberanian" itu. Tapi kritiknya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang keliru tidak pernah berhenti.
Salah satu pihak yang sering dikritiknya adalah pers. Begitu banyak kesalahan bahasa di media massa yang menurut dia mesti diperbaiki. Namun, ketika pewarta dituduh sebagai perusak bahasa, pada 1986, Badudu dalam sebuah ceramahnya menyatakan, "…bahasa yang digunakan oleh pers dewasa ini mengalami banyak kemajuan…. Kalau kita ingin mencari kesalahan bahasa yang terdapat dalam surat kabar atau majalah dewasa ini—terutama dari surat kabar dan majalah Ibu Kota yang baik—kesalahan yang dapat kita ungkapkan relatif kecil jika dibandingkan dengan kesalahan yang dapat kita temukan dalam surat kabar dan majalah Indonesia 15 tahun yang lalu. Walaupun demikian, selalu saja ada pihak-pihak yang menuduh bahwa surat kabar adalah perusak bahasa. Tuduhan semacam itu bagi surat kabar tidak hanya terdapat di Indonesia, tetapi juga di negara lain" (Cakrawala Bahasa Indonesia II, Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Kemajuan itu, sedikit-banyak, berkat andil Badudu. Karena berbagai ceramah dan tulisannya, orang menjadi paham tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terlepas dari pendapat sebagian orang bahwa "bahasa Indonesia yang baik dan benar" adalah dogma Orde Baru, Badudu menjelaskan bahwa "baik" berarti cocok dengan situasinya dan "benar" artinya sesuai dengan kaidah atau aturan.
Membaca berbagai tulisan dan mendengarkan ceramahnya, kita menjadi paham: "Oh, ini toh penulisan yang betul." Salah satu contohnya, menurut dia, bentuk turunan yang tepat dari pirsa dalam arti "orang yang memirsa" adalah pemirsa, bukan pirsawan. Padahal, ketika masih memonopoli siaran televisi di Indonesia, TVRI selalu menggunakan kata pirsawan dalam berbagai program acaranya. Bahkan ada program Klompencapir—berisi tanya-jawab penduduk desa mengenai masalah pertanian—yang merupakan kependekan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan. Berkat Badudu, perlahan-lahan, kata pemirsa pun menggeser pirsawan.
J.S. Badudu pantas disebut pendekar bahasa. Tapi dia layak pula dijuluki guru bahasa sejati. Lahir di Gorontalo, 19 Maret 1926, Badudu mengabdi sebagai guru bahasa selama 64 tahun—hingga alzheimer menyerangnya sepuluh tahun lalu. Ketika masih remaja, ia sudah berani menjadi guru. Dalam otobiografinya yang ditulis pada 2001 (tapi belum diterbitkan), dia mengatakan, "Tanggal 1 Agustus 1941, saya diangkat menjadi guru SR di Ampana…. Saya ketika itu masih sangat muda, baru berusia 15 tahun 6 bulan. Bagi saya, seolah-olah tidak ada masa kecil. Ketika anak-anak lain seusia saya masih bermain-main dengan teman-teman semasa kanak-kanak, saya sudah memasuki dunia orang dewasa."
Orang pertama yang mendapat gelar guru besar dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (1985) ini lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Poka Badudu, lulusan sekolah rendah, sementara ibunya, Pano Sulaeman, tak pernah bersekolah.
Hingga Badudu menjadi dosen pada 1960-an, gajinya tidak cukup untuk membiayai hidup keluarga. Maka, seperti dikatakan dalam otobiografinya, "Harus ada sumber lain dan buku saya anggap sebagai sumber yang memberikan harapan untuk masa depan." Mulai menulis buku pada 1957, ia melahirkan Pelik-pelik Bahasa Indonesia pada akhir 1960-an. "Buku saya anggap menjadi sumber uang bagi keluarga." Namun, "Royalti yang saya terima dari penerbit itu kurang memuaskan."
Toh, ia terus menulis. Setidaknya 27 judul buku telah dihasilkannya. Salah satu karya besarnya adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia (Pustaka Sinar Harapan, 1994), yang merupakan revisi atas Kamus Modern Bahasa Indonesia karya Sutan Mohammad Zain. Kamus ini dikenal sebagai Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain. Beberapa entri dalam kamus ini seperti sengaja mengoreksi Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1998). Menurut Kamus Besar, misalnya, "semena-mena" sama maknanya dengan "sewenang-wenang", tapi Kamus Umum menyatakan "tidak semena-mena"-lah yang berarti "sewenang-wenang".
Pada masa sulit 1960-an, Badudu sempat nyambi antara lain sebagai perantara peminjaman uang, membuka usaha pangkas rambut, dan menjadi pengusaha beras. Tapi, mungkin karena hidupnya "ditakdirkan" menjadi guru bahasa, semua usaha jasa dan dagang itu gagal.
Pada awal 1970-an, Badudu pun "kembali" ke kampus. Pada 1971, ia terpilih sebagai satu-satunya dosen Universitas Padjadjaran yang mendapat beasiswa mengikuti pendidikan pascasarjana di Leidse Rijksuniversiteit, Leiden, Belanda. Tapi masalah ekonomi sempat membuatnya bimbang. Gajinya sama sekali tidak cukup untuk biaya hidup di Leiden sekaligus buat menghidupi istri dan sembilan anaknya di Bandung. Namun tekad dan keberaniannya mendapati keberuntungan: induk semangnya di Belanda membebaskannya dari kewajiban membayar uang kos selama dua tahun dia belajar di sana.
Sekembali dari Negeri Kincir Angin, sang pendekar bahasa mengisi sebagian besar hidupnya dengan memberikan kuliah, menulis, serta membimbing mahasiswa menyusun skripsi, tesis, dan disertasi. Karena dikenal masyarakat sebagai pembina bahasa Indonesia, ia pun sering sekali diminta berceramah oleh lembaga, termasuk pers, yang membutuhkan bimbingan ataupun penjelasan tentang bahasa.
Sepekan menjelang ulang tahunnya yang ke-90, J.S. Badudu wafat di Bandung, Sabtu dua pekan lalu. Dia meninggalkan 9 anak, 23 cucu, dan 2 cicit. Istrinya, Eva Henriette Alma Koroh, meninggal lebih dulu, 16 Januari lalu.
Semasa hidupnya, Badudu menjadi tempat orang bertanya tentang berbagai persoalan bahasa. Sekarang pun, jika punya pertanyaan tentang bahasa, bacalah buku-buku dia, niscaya Anda akan menemukan jawabannya.
Uu Suhardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo