DITATA cukup rapi berdasarkan struktur dramatik: jo-ha-kyu (introduksi, eksposisi, dan konklusi), lima buah nomor tari klasik Jepang ditampilkan rombongan "Buyo" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki dua malam, pekan lalu. Empat orang penari wanita berkimono ofurisode megah gemerlap (merah jambu, ungu, biru, dan oranye) membuka bagian pertama dengan tarian "Singa Pembawa Rahmat" (Yachiyo Jishi). Rambut ditata gaya takashimada yang khas Jepang. Rias muka putih bak topeng menyuguhkan kecantikan dari dunia lain. Gerakan kepala-kepala singa di tangan penari mencepat dengan gemerencing genta-genta kecil penghiasnya. Kedua penari yang lain menyusul, semuanya kini menari dengan singa-singa pembawa rahmat di tangan. Irama musik semakin cepat untuk kemudian diakhiri keempat penari mengambil pose berjajar di tengah pentas dengan beda ketinggian yang simetris, tenang. Layar pun ditutup. Dunia mimpi indah terputus. Untuk menciptakan keindahan itu, dibutuhkan kerja keras dan usaha bersama yang penuh disiplin. Bukan saja oleh para penari dan pemusik, tetapi juga oleh para petugas panggung. Perlengkapan panggung seberat 3,2 ton harus dibawa serta. Tari klasik Jepang memerlukan lantai khusus dari kayu hinoki yang halus licin, dengan ronga 20 cm, di bawahnya agar hentakan kaki berbunyi nyarin, langkah meluncur indah, kostum mewah tidak kotor. Juga, memudahkan gerak para pemain yang kostumnya memang berlapis-lapis. "Gojobashi" nomor kedua mengisahkan pertempuran pendekar Ushiwakamaru melawan Benkei, seorang pendeta jahat, di jembatan Gojo di Kyoto. Nomor ini menyajikan teknik perang tachimaari khas Kabuki Yoshitsune dengan senata pedang dan Benkei dengan tombak berujung golok. Mirip perang kembang Arjuna-Cakil dalam wayang wong Jawa. Yang menarik seluruh adegan perang telah dikoreografikan dengan Iringan musik yang rampak dan rapi. Tanpa jatuh ke gerak akrobatik yang ceroboh. Nomor ketiga "Tamatori Ama" menampilkan seorang penari wanita dengan busana sederhana sebagai penyelam mutiara. Iringan musik, hanya sebuah shamisen gaya zashiki ma. Namun, dari kesederhanaan ini muncul gerak dan ekspresi yang pekat. Petikan shamisen satu-dua memberi kesempatan penonton lebih mengamati gerak laku dan ekspresi penari sampai yang sekecil-kecilnya. Seorang diri ia menggambarkan kerinduan atas buah hatinya. Dan kemudian memutuskan untuk berperang melawan seekor nagaraja. Akhirnya, ia mati dengan bahagia. Semua adegan itu digambarkan secara simbolis dan introspektif, setapak demi setapak. Nomor ini anggun dan sederhana tetapi menukik pada esensi. Ada tiga unsur pembentuk nihonbuyo atau tari klasik Jepang: mai (teknik gerak yang tenang dan perlahan darl drama Noh) odori (teknik gerak dengan lompatan lincah dan hentakan kaki dari tari-tarian rakyat yang bergairah) dan furi (gerak mimetic yang merepresentasikan gerak kerja manusia, gerak laku binatang, dan tumbuhan). "Boshibari", nomor selanjutnya, adalah lelucon khas Kyogen, menggambarkan dunia nyata manusia sehari-hari. Dua pelayan pecandu sake terpaksa diikat tangannya (seorang di punggung dan yang lain dengan tongkat pendek melintang di pundak) oleh tuannya, agar tidak menghabiskan sake simpanan ketika tuannya pergi. Tanpa jatuh ke gerak-gerak dangkal, tari jenis ini gampang ditangkap maksudnya, dan memang lucu. Pada nomor terakhir "Sagi Musume" (Perawan Burung Bangau), penonton diajak menikmati teknik pergantian busana Kabuki hikinuki dengan hanya menarik tali temali yang merangkaikan busana berlapis. Dalam sekejap, penari berubah wujud. Tokoh utama kita kali ini seekor burung bangau, yang di Jepang diibaratkan wanita muda yang kesepian. Dengan cepat, penari berubah menjadi perawan kota yang lincah, setelah menggigil kesunyian di tengah padang salju, untuk kemudian menjadi wanita sengsara di bawah hukuman karma. Di Jepang, bahwa tontonan tradisi abad ke-15 masih tetap bertahan di tengah belantara teknologi robot dan komputer memang merupakan fenomena yang unik. Meski sejak tahun 1868 (restorasi Meiji) Jepang membuka pintu bagi kebudayaan Barat, akar spiritual masih hidup nyata. Penggunaan huruf Kanji dan bahasa Jepang secara nasional. Sikap hormat yang membungkuk-bungkuk. Kesetiaan mutlak bawahan terhadap atasan. Kontrak kerja seumur hidup. Kesetiaan terhadap kaisar. Disiplin, ketekunan kerja semua itu adalah nilai dan semangat Bushido yang diteriemahkan dalam bentuk baru, juga dalam tan klasik dua malam itu. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini