Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Untung rugi berlistrik pln

Kenaikan tarif listrik, mulai april '84. ada bebepa perusahaan industri dan hotel yang menggunakan agregat sendiri. belum ketahuan mana yang lebih murah. (eb)

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA nyana masuknya Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU), "peminum" BBM ke dalam jajaran Perum Listrik Negara (PLN) dalam tiga tahun terakhir berakibat pahit bagi konsumen: April nanti perhitungan tarif rekening listrik bakal lebih tinggi hampir 32% dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Kenaikan itu, menurut Menteri Pertambangan dan Energi Soebroto, memang tak bisa dihindari, mengingat 80% pembangkit tenaga listrik, dengan daya hampir 4.000 megawatt, digerakkan BBM. Mengenai hubungan itu, Menteri Soebroto pekan lalu menjelaskan bahwa naiknya BBM - terutama jenis solar, diesel, dan minyak bakar yang rata-rata 50% - telah menyebabkan ongkos pengadaan BBM naik dari Rp 552,3 milyar jadi Rp 800 milyar. Sebagian besar dari dana itu, pada 1984-1985, akan habis dibelanjakan untuk membeli minyak bakar dan solar. Dari pengadaan komponen itu saja, jika tarif listrik tidak naik, perusahaan tadi akan tekor cukup banyak. Ditambah sejumlah ongkos lain, kata Direktur.Utama PLN Sardjono, perusahaan itu bisa defisit Rp 371,5 milyar. Apa boleh buat, naiknya tarif listrik itu bagi kalangan swasta tentu bakal pula memperbesar pengeluaran, yang besar kecilnya tergantung pada pemakaian energi listrik dalam proses produksi. Untuk sektor industri tekstil misalnya, peranan eneri listrik itu cukup besar dalam membentuk biaya produksi. Karena alasan itulah PT Imbritex di Pasuruan, Jawa Timur, kini agak ragu-ragu menjadi pelanggan PLN. Industri tekstil terpadu itu kini terpaksa menghitung kembali biaya produksi. "Tampaknya lebih hemat Dakai aPrePat sendiri." ujar Suwaji, Manager Inbritex. Sepuluh tahun lalu, industri tekstil patungan pemerintah dengan swasta Inggris itu masih menggunakan listrik PLN. Tapi hubungan itu kemudian dipenggal, karena sambungan listrik sering putus, dan tegangannya selalu berubah-ubah. Menurut S. Sinaga, Direktur PT Unilon, industri tekstil di Banjaran, Jawa Barat, sering berubahnya tegangan bisa menyebabkan kerusakan pada mesin dan peralatan elektronik di pabrik. Juga putusnya aliran listrik bisa menyebabkan berubahnya suhu zat kimia dalam proses pencelupan bahan. "Kalau ada jaminan aliran tidak sering terganggu, mungkin kami mau memasang listrik PLN," ujar Sinaga. Tapi ada juga yang beranggapan bahwa jasa hstrik PLN masih lebih murah jika dibandingkan dengan mengusahakan agregat sendiri. Karena beranggapan ongkos membeli listrik PLN masih lebih murah 10%, PT Tubantia, Kudus, misalnya, sudah mengajukan permohonan untuk memakai sambungan dari situ sebesar 1.100 kilovolt ampere. Industri benang ini sudah delapan tahun menggunakan agregat sendiri dengan daya 2.100 kilowatt: Selama itu, mesin yang bekerja 24 jam ini tiap bulan menghabiskan solar 4.000 liter, yang jika dirupiahkan konon mencapai 35% biaya produksi - belum termasuk ongkos perawatan Rp 2,5 juta. Karena itu, tak heran ketika Januari lalu solar naik 52%, "kami sempat guncang," kata Budi Santoso, Direktur Tubantia. Beban semacam itu juga dirasakan manajemen Hotel Ambarrukmo, Yogya. Untuk memperoleh aliran listrik, industri jasa perhotelan ini mengoperasikan tiga agregat, yang tiap bulan bisa menghabiskan BBM sebesar Rp 12 juta. Penanganan pembangkit listrik ini dilakukan 12 karyawan. Karena manajemen juga perlu memikirkan kesejahteraan mereka dan perawatan agregat, sesudah dihitung-hitung, ongkos menghasilkan listrik sendiri ini "terkadang malah lebih besar daripada rekening PLN," ujar Cuk Sutoyo, Kepala Hubungan Masyarakat Ambarrukmo. Karena alasan itulah, sejak akhir 1983, hotel itu lalu memilih PLN. Kalau toh tarifnya kemudian naik, pengaruhnya dalam mengurangi laba dianggap "masih relatif kecil," tutur Cuk. Bagi industri yang kecil menyerap energi listrik, penggunaan aliran dari PLN tampaknya memang lebih murah. Di situ mereka tidak perlu selalu harus menghitung kenaikan upah karyawan, menekan biaya perawatan, dan mungkin menaikkan penyediaan ongkos pembelian BBM. Bagi industri seperti PT Juta Jelita, perusahaan cold storage udang di Medan, memiliki agregat sendiri justru serin bikin puyeng. "Pokoknya, banyak tetek bengeknya," ujar Vincent Wijaya, pemilik Juta Jelita. "Menggunakan agregat sendiri bisa lebih mahal 20% dibandingkan 5 tarif PLN." Tapi bagi industri tekstil PT Unilon, keluhan semacam itu jelas tak akan terdengar. Untuk memperoleh listrik denan mengoperasikan agregat sendiri, sebelum kenaikan BBM, rata-rata setiap bulan perusahaan ini menyisihkan anggaran Rp 110 juta, atau sekitar 9% dari seluruh biaya produksi. Sebagian besar pengeluaran itu, Rp 90,5 juta, dipakai untuk membeli minyak diesel. Tapi sesudah harga naik, ongkos pembeliannya pada Februari naik jadi hampir Rp 106 juta. Walaupun demikian, sejauh ini, Unilon masih belum bisa membandingkan mana lebih murah memakai agregat sendiri atau berlangganan listrik PLN. Yang pasti, Sinaga, Direktur Unilon, beranggalan bahwa kenaikan tarif PLN itu akan mendorong munculnya persaingan cukup adil. Maksudnya biaya produksi industri tekstil, konsumen PLN, yang selama ini cukup rendah, ikut "bertambah tinggi pula dengan kenaikan tarif itu," kata Sinaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus