Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Boleh 'nyumbang, pajak tetap bayar

Penerapan uu pajak penghasilan 1984. hampir semua sektor terkena pajak. banyak perusahaan repot mengatur gaji karyawannya. (eb)

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELAKANGAN ini jadwal kegiatan luar kantor Direktur Jenderal Pajak, Salamun A.T., bukan main padatnya. Di setiap seminar perpajakan, yang akhirakhir ini gencar dibuka di mana-mana, Salamun hampir tidak pernah absen, dan dengan senang hati meluangkan waktu sedikitnya satu jam untuk memberikan penjelasan mengenai UU Pajak 1984. Dengan sabar pula Salamun melayani pertanyaan peserta, para pengusaha, yang tak sayang mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk bisa hadir di seminar. Juga ketika pekan lalu Institut Bisnis Ekonomi dan Keuangan menyelenggarakan acara serupa di Jakarta. Ada manfaatnya bagi pengusaha? "Sesudah empat kali mengikuti seminar. kini hampir seratus persen saya mengerti ketentuan baru perpajakan," sahut Mohamad Amid, Presiden Direktur PT Asia Permai Electronis, Jakarta. Toh agen tunggal peralatan elektronik Grundig itu masih memandang perlu bersikap ekstra hati-hati, terutama dalam menerapkan UU Pajak Penghasilan (PPh) 1984. Dalam soal memberikan upah kepada 400 karyawan dan manajernya yang sebagian besar bekerja di unit perakitan, misalnya, Amid baru akan menaikkan gaji mereka 12%, April depan. Dia tampaknya tak ingin gegabah, mengingat UU PPh 1984 kini begitu banyak menjangkau obyek pajak, yang sebelum ini luput dari pemajakan. Bahkan, cukup lama juga bagi Amid dan staf perusahaan untuk memutuskan apakah beberapa komponen, seperti premi asuransi, dana kesehatan, dan kenikmatan, perlu dimasukkan atau dipisahkan dengan gaji karyawan. Stafnya menganjurkan agar komponen itu dipisahkan mengingat bahwa kalau pun dijadikan satu dengan gaji, selisih besarnya pendapatan kotor bagi karyawan yang kena pajak tidak cukup berarti. "Semua komponen itu, untuk sementara, kami pisahkan menunggu perkembangan lebih lanjut," kata Amid. Menghadapi masa transisi seperti sekarang ini, tampaknya, masih cukup banyak pengusaha bersikap seperti Asia Permai. Maklum, kewajiban membayar pajak pada umumnya memang dilakukan oleh perusahaan, sedangkan karyawan tinggal menerima gaji bersih. Persoalannya kini: premi asuransi, pemberian pelbagai kenikmatan (dana untuk cuti, perumahan, dan pemakaian kendaraan bermotor) dan sumbangan tidak boleh dianggap sebagai pengeluaran yang bisa digunakan untuk mengurangi pendapatan kena pajak. "Kalau perusahaan mau 'nyumbang, ya, harus ikhlas, dari penghasilan sesudah kena pajak, jangan negara yang disuruh membayar," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro, awal Januari. Memang UU PPh 1984 menyatakan bahwa biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan perusahaan boleh digunakan untuk mengurangi pendapatan kena pajak. Beberapa pengusaha menyebut bahwa biaya lobby dan menghibur relasi (entertainment), misalnya, bisa digolongkan sebagai pengeluaran untuk "memelihara penghasilan" itu. Menurut Direktur Utama BNI 1946, Somala Wiria, soal lobby dan menjamin relasi memang merupakan hal yang menyatu dengan kegiatan bisnis. "Kalau kedua hal itu tidak bisa dianggap sebagai biaya, ya, itu berarti kita membayar lebih mahal untuk kegiatan bisnis," katanya. "Dan, akibatnya, tentu akan mengurangi laba bersih perusahaan." Kendati demikian, biaya promosi, seperti iklan besar-besaran, yang dianggap punya manfaat lebih dari setahun, tidak diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan harus dikurangkan secara bertahap - macam amortisasi. Dengan demikian, para pengusaha kelak dipaksa secara keras untuk menghitung apakah promosl yang mereka lancarkan akan menaikkan angka penjualan. "Kalau nanti manfaatnya kurang, pengeluaran promosi, ya, terpaksa diperketat," ujar Mohamad Amid. Asia Permai, misalnya, kini sedang berusaha merebut sebagian pasar video cassette recorder. Karena itu, tidak heran jika dana promosinya akan dinaikkan dari Rp 200 juta tahun lalu jadi Rp 400 juta tahun ini. Jenis promosi semacam inilah yang dianggap punya manfaat lebih dari setahun. Tapi pada masa ekonomi kini masih merayap, tidak semua perusahaan mau menyisihkan dana promosi demikian besar. Sebuah perusahaan penerbitan terkemuka di Jakarta, misalnya, mengaku lebih suka mendistribusikan dana itu untuk kesejahteraan karyawan dan wartawannya. Jika akhir Maret nanti para pekerja di situ mendapat gaji, maka mereka akan mendapat penghasilan kotor, yang kenaikannya cukup tinggi. Maklum, komponen premi asuransi, kenikmatan, uang makan, dan kesehatan dijadikan satu dengan gaji mereka. "Tapi kali ini mereka kena pajak 15% bukan 10% seperti tahun lalu," kata anggota direksi di situ. Sebelumnya, berbagai komponen, seperti uang makan, dana kesehatan, dan uang bensin untuk kendaraan - karena selama ini dianggap sebagai biaya - diberikan secara terpisah sebagai upaya mengurangi pendapatan kotor perusahaan. Tapi mulai Maret, semua komponen itu dijadikan satu dengan gaji. Dengan cara itu, komponen-komponen itu masih berfungsi sebagai pengurang pendapatan kotor perusahaan, meski kemudian penghasilan kena pajak karyawan dan wartawan bertambah - toh paling banter dikenai 15%. Berbeda jika dipisahkan, semua komponen akan mengurangi pendapatan bersih perusahaan yang sudah dipajak 35% - dan pada akhirnya karyawan dan wartawan pun kena pajak lagi 15%. Sebuah industri tekstil terpadu di Pasuruan, Jawa Timur, belum bisa memastikan apakah juga akan mengambil langkah seperti perusahaan penerbitan itu. Tahun lalu, perusahaan patungan Indonesia - Inggris ini membayar pajak pendapatan karyawan dan majikan, yang jumlahnya 1.000 orang, sebesar Rp 100 juta. Juga direksi BNI 1946 masih belum menentukan kebijaksanaan menyongsong berlakunya UU PPh 1984 itu. Untuk tahun ini, Direktur Utama Somala Wiria memastikan gaji 12.000 karyawannya akan naik paling tidak 10%. "Kalau dihitung rupiah, persentase itu besar sekali jumlahnya" katanya. Tapi kalau dilawan inflasi? "Ya, habis ...."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus