Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Didik Nini Thowok dan The Peony Pavilion

Seniman dari delapan negara berkolaborasi dalam pentas teater In Search of a Dream di Teater Salihara, Jakarta. Mengusung kisah klasik Cina.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas tari bertajuk In Search of a Dream di Teater Salihara, Jakarta, 22 November 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DU Liniang (diperankan Didik Nini Thowok) seperti tinggal di dalam kotak tertutup. Dia ingin berkelana, tapi ia seorang perempuan. Dan di Cina, pada abad ke-16, gadis-gadis mesti dipingit di dalam rumah sebelum menikah. Hanya dalam khayalanlah Du Liniang mampu mewujudkan keinginannya. Dalam dunia mimpi, ia bebas. Bebas bercinta dengan pria imajiner dan bermain-main dengan hasratnya.

Kisah Du Liniang adalah bagian dari The Peony Pavilion, yang naskahnya ditulis seniman tersohor Cina, Tang Xianzu, berdasarkan cerita pendek Du Liniang Revives for Love. Xianzu mengarang drama itu pada 1598 berdasarkan situasi di negerinya saat dipimpin Dinasti Ming. Sejak abad ke-16 hingga ke-18, The Peony Pavilion bisa dipentaskan di panggung selama seharian penuh dalam bentuk opera kunqu, yang tanpa dialog. Para aktor bernyanyi dengan teknik falsetto.

Bentuk kunqu itulah yang ditampilkan kembali oleh kolaborasi seniman Asia di bawah arahan sutradara asal Hong Kong, Danny Yung, dalam pentas In Search of a Dream di Teater Salihara, Jakarta, Jumat, 22 November lalu. Untuk pertunjukan ini, Yung dibantu Liu Xiaoyi (Singapura) dan asisten direktur artistik Cedric Chan (Hong Kong) serta sejumlah seniman tari, seperti Didik Nini Thowok, Makoto Matsushima (Jepang), Nget Rady (Kamboja), Soultari Amin Farid (Singapura), dan Nattapon Wannaun (Thailand). Mereka berkolaborasi dengan penampil opera kunqu Chaohsin (Cina) dan Sabrina Sng (Singapura), juga aktor opera Kanton, Kong Chun Kit (Hong Kong). “In Search of a Dream salah satu proyek kerja sama kami sejak 2016,” kata Yung saat ditemui selepas pementasan di Salihara.


 

Banyaknya seniman yang terlibat membuat konsep pertunjukan The Interrupted Dream Series lebih cair. Menurut Yung, saat manggung, mereka kadang bereksperimen dengan gerakan baru agar pertunjukannya selalu segar. Itu sebabnya penampil kadang muncul dengan tarian yang menyempal dari koreografi semula. “Kami menyebutnya pertunjukan lintas kultural, jadi antarseniman memang saling belajar dan mempengaruhi,” ujarnya.

 


 

Proyek kolaborasi seniman lintas disiplin ini bertajuk The Interrupted Dream Series. Seri ini diawali dengan drama Journey to a Dream, yang sudah dipentaskan di Nanjing (Cina), Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Jepang. Adapun In Search of a Dream baru naik panggung di Yogyakarta dan Bali pada pertengahan November 2019 sebelum diboyong ke Salihara. Menurut Yung, mereka mengusung The Peony Pavilion karena karya Xianzu itu membuka ruang bagi seniman dari Timur untuk mempelajari dunia Barat. Sebaliknya, ia pun tertarik pada cara Barat menginterpretasikan Timur.

Banyaknya seniman yang terlibat membuat konsep pertunjukan The Interrupted Dream Series lebih cair. Menurut Yung, saat manggung, mereka kadang bereksperimen dengan gerakan baru agar pertunjukannya selalu segar. Itu sebabnya penampil kadang muncul dengan tarian yang menyempal dari koreografi semula. “Kami menyebutnya pertunjukan lintas kultural, jadi antarseniman memang saling belajar dan mempengaruhi,” ujarnya.

Karena kunqu tak berbekal dialog, penonton mesti saksama mencerap polah para penampil di panggung. Namun Yung dan Xiaoyi membantu kita dengan lirik lagu Shan Po Yang yang puitis dalam terjemahan bahasa Inggris dan Indonesia. Teks itu terpampang di layar panggung dan memudahkan kita memahami gejolak imajinasi Du Liniang yang liar. Kadang romantisismenya menggelegak, tapi ada saatnya ia menyelami seksualitasnya lewat mimpi yang erotis. “Seiring dengan masa muda yang menyelinap pergi, kerinduan yang mendalam ini kepada siapa kuberbagi?” kata Du Liniang, lalu berjingkat masuk ke alam mimpi.

Tempo kunqu sangat lambat. Karena itu, petualangan Du Liniang diterjemahkan Didik Nini Thowok lewat gerakan-gerakan halus. Hampir tidak ada manuver yang sedikit mengentak dari Didik, pun dari pemain lain. Termasuk tatkala ia menampilkan adegan Du Liniang sedang melakukan masturbasi. Bagian ini diterjemahkan lewat gerakan menggoyangkan badan secara perlahan di atas meja. Ia seperti setengah bermimpi setengah terjaga.

Penari Didik Nini Thowok (kiri) saat mementaskan In Search of a Dream di Teater Salihara, 22 November 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Du Liniang diperankan Didik dan Chaohsin, yang asli pemain kunqu. Keduanya tampil bergantian dan beralih peran dalam satu adegan. Seolah-olah melahirkan sosok Du Liniang yang baru, yang lebih berani dan eksploratif. “Semua serba simbolis,” ucap Didik. Adegan itu sekaligus menunjukkan transfer ilmu antara Chaohsin dan Didik, yang baru mempelajari opera tersebut. “Saya dikirim Danny ke Cina untuk menonton opera ini, di samping mempelajarinya dari Chaohsin,” ujar Didik.

Sebagai Du Liniang, Didik mengenakan gaun putih klasik khas perempuan bangsawan Eropa lengkap dengan crinoline. Kawat yang membentuk sangkar itu membuat bagian bawah gaun mengembang. Didik juga menutupi wajahnya dengan topeng putih yang dibikin khusus di Yogyakarta untuk pertunjukan ini. Berbeda dengan kebanyakan topeng untuk tari tradisional, kedok dwimuka ini dibuat tanpa ekspresi. Warnanya putih solid tanpa embel-embel ukiran ataupun warna yang mencolok. Menurut Didik, mereka sengaja membuatnya seperti itu agar perhatian penonton tak terbetot pada kedok saja, tapi juga pada gerakan dan cerita.

Sejumlah alat bantu juga menjadi penanda, baik soal latar belakang para seniman penampil maupun kisah Du Liniang. Kursi, meja, dan teks dimanfaatkan untuk menyuguhkan ruang-ruang publik yang centil, seperti tempat prostitusi yang menantang moral dengan tawaran erotismenya.

Selain itu, ada selimut putih yang muncul sejak awal hingga akhir film yang menyimbolkan ruang privat seperti mimpi. Sedangkan stiker garis batas yang menempel di pinggir panggung dekat dengan kursi penonton merepresentasikan pertukaran budaya antarseniman. Pada akhir pertunjukan, stiker itu dikelupas oleh salah seorang penampil. “Kerja kolaborasi ini amat penting bagi kami karena bisa memberikan banyak perspektif baru, seperti halnya Du Liniang yang mencecap banyak pengalaman setelah berjalan-jalan dalam mimpinya,” kata Danny Yung.

ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus