Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dunia panggung dan film Indonesia kehilangan salah seorang aktor yang cukup mumpuni. Setelah hampir tiga tahun sakit, Subarkah Hadisarjana meninggal pada usia 66 tahun, Selasa dinihari, 11 Maret 2025 di Rumah Sentra Medika Depok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subarkah meninggalkan seorang istri, Rima Ananda Omar, dan tiga putra. Subarkah dikenal sebagai salah satu aktor film dan teater sekaligus perias wajah artis di Teater Koma. Ia juga salah satu pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Kesenian Jakarta.
Subarkah Hadisarjana Idap Kanker Nasofaring
Subarkah sempat dirawat di Rumah Sakit Sentra Medika Depok selama empat hari karena kondisinya. “Sakitnya sudah tiga tahun, beliau ada kanker nasofaring. Tapi memang tiga empat hari terakhir ngedrop, dan dibawa ke rumah sakit,” ujar Adlino Dananjaya, salah satu anak Subarkah kepada Tempo di TPU Karabha, Tapos, Depok, Selasa, 11 Maret 2025.
Selain keluarga, tampak keluarga besar Teater Koma dan beberapa aktor film dan teater seperti Ratna Riantiarno, Sha Ine Febriyanti, Elly D. Luthan, Rangga Riantiarno,terlihat di rumah duka hingga mengiringi pemakaman Subarkah. Mereka sangat kehilangan teman dan kolega yang mereka kenal sebagai sosok yang mempunyai selera humor ini. Pelayat juga masih berdatangan di rumah duka di Pondok Tirta Mandala, Sukamaju, Cilodong, Depok.
Rekam Jejak Subarkah Hadisarjana
Subarkah merupakan aktor kelahiran Pare, Kediri, Jawa Timur pada 25 Juni 1958. Dia menempuh pendidikan di Jurusan Seni Rupa Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia berinteraksi dengan dunia teater, tari, film sehingga ia memfokuskan studi di bidang tata rias (desain mode).
Namanya mencuat setelah produksi film “Pengkhianatan G 30S/PKI” yang disutradarai oleh Arifin C. Noer dengan kepiawaiannya menata rias para aktor pada film tersebut. Ia juga terlibat dalam produksi film Djakarta 1966 yang juga besutan Arifin. Ia sempat terlibat di beberapa teater seperti Teater Kecil di kancah panggung internasional dan Teater Populer. Selanjutnya ia banyak bermain peran di berbagai film dan anak panggung di Teater Koma hingga beberapa tahun lalu.
Beberapa film dan sinetron yang ia ikut berperan antara lain Kipas-kipas Cari Angin (1989), Gonta Ganti (1990), Makelar Kodok Untung Besar (1990), Boleh Dong ..Untung Terus (1992), Kafir (2002), Petualangan 100 Jam, 17 Th (2004), Get Married 3 (2011), Pelangi di Hatiku (1993), Benang Emas (1994), Si Doel Anak Sekolahan (1994), Akal-akalan (1996), dan Cintaku di Rumah Susun (2003-2005).
Pada 1988, ia bergabung di Teater Koma. “Awalnya sebenarnya dari Institut Kesenian Jakarta dulu. Kemudian masuk Teater Koma. Sama mas Nano ya diajak sebagai pemain dan penata rias,” ujar Ratna Riantiarno kepada Tempo melalui sambungan telepon. Ratna cukup kaget ketika dikabari Subarkah meninggal. Ketika diberitahu Subarkah dirawat di rumah sakit, ia lalu datang menengoknya. “Serasa baru kemarin, masih ngobrol soal makanan enak,” ujarnya.
Subarkah Hadisarjana di Mata Rekan-rekannya
Para aktor Teater Koma sangat kehilangan dengan senior mereka. Salah satunya adalah Sir Ilham Jambak. Ilham mengenang seniornya ini sebagai sosok yang baik, rendah hati dan sangat membimbing. Tidak hanya dalam urusan pemeranan tapi juga masalah tata rias wajah. “Kami yang junior begitu masuk di Teater Koma, langsung bisa membaur dengan beliau. Kami memanggilnya Ayah Barkah,” ujar Sir Ilham Jambak.
Dengan gayanya sendiri yang sering dibumbui dengan humor dan bercanda, Subarkah memberikan arahan kepada para juniornya. Ia mengisahkan riasan wajah ketika sedang digarap seperti acak-acakan tapi ketika sudah tampil di panggung, tersorot lampu panggung jadi lebih keluar karakternya. “Suatu ketika saya merasa tidak percaya diri, kok sepertinya acak-acakan, tapi diyakinkan oleh Ayah Barkah. Enggak kok, ini sudah oke,” kata Ilham menirukan Subarkah.
Salah satu alumnus IKJ, meskipun tidak diajar oleh Subarkah, Ulin Niam Yusron yang merupakan teman seangkatan Adlino Dananjaya di Pasca IKJ Angkatan 14 beberapa kali bertemu almarhum. Setiap pertemuannya terpancar aura positif. “Beliau selalu menyebarkan keceriaan dan gembira. Bahkan cenderung menyembunyikan sakit kankernya,” ujar Ulin ditemui di pemakaman. Ulin mengatakan dia sosok pribadi yang lucu dengan karya besar. “Mas Barkah, minta dipanggil gitu. Berpulangnya Mas Barkah berarti “wah Mas Barkah sudah gak bisa melucu lagi. Pasti bakal melucu di swargaloka,”katanya.
Danan dan Ratna menceritakan hingga Subarkah sakit, ia masih tetap konsisten berkarya. Ia masih sempat ikut terlibat dalam tata rias dan artistic saat pementasan Matahari Papua pada 2024 lalu. Selain itu, ia juga bergabung dengan pentas Tanda Cinta dari Teater Koma di Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest) 2024.
Pada 1979, ia pernah memenangkan kejuaraan Gelar Musik Humor di Taman Ismail Marzuki. Dua tahun berikutnya ia menjuarai Lomba Karakter Make Up Nasional. Ia pun menyabet penghargaan di Festival Fantasi Make Up Internasional di Kuala Lumpur, Malaysia 1991. Di dunia akademis, ia sempat menduduki jabatan sebagai Wakil Rekot III Bidang Kemahasiswaan pada 20023 dan 2009. Dan Wakil Dekan III Seni Rupa IKJ pada 2008. Selain di IKJ, ia juga mengajar di London School Public Relation Institut dan College of La Salle.
DIAN YULIASTUTI