Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Nagabonar Gagal Reborn

Mengikuti tren reborn, kali ini Nagabonar yang kembali dilahirkan untuk menarik generasi milenial. Tak sepenuhnya berhasil.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gading Marten dalam Nagabonar Reborn. Gempita Tjipta Perkasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMUNCULAN film-film reborn, yang trennya dimulai Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 tiga tahun lalu, tampaknya berangkat dari, setidaknya, dua asumsi. Pertama, generasi milenial tak mengenal para tokoh legenda yang menghiasi film-film terbaik Indonesia pada 1970-1980-an. Kedua, generasi milenial patut dikenalkan kembali kepada tokoh-tokoh itu dengan cara seturut selera mereka. Namun, sayangnya, sebagian besar film yang terlahir kembali ini mengecewakan, bahkan yang ditonton jutaan orang.

Pengajar film yang menulis untuk Tempo.co, Ekky Imanjaya, menyebutkan formula sukses film reborn adalah perpaduan tepat antara eksploitasi nostalgia dan kemasan baru. Dalam kelahiran kembali, hampir pasti dialog, nyanyian, atau adegan yang paling lekat di ingatan akan dimunculkan kembali. Judul-judul yang pantas dibuat ulang pun tak jauh-jauh dari film yang telah melahirkan cult sendiri, yaitu yang punya jemaah besar penggemar film itu, yang mengasosiasikan identitas dengan tokoh-tokoh di dalamnya, bahkan sebagian hafal di luar kepala dialog para tokoh. 

Nagabonar memenuhi kriteria ini. “Apa kata dunia?” menjadi salah satu kutipan dialog film paling populer sepanjang masa selain “Darah itu merah, Jenderal!”. Yang tak pernah menonton Nagabonar M.T. Risyaf pada 1986 pun setidaknya tahu bahwa Nagabonar adalah pencopet yang naik pangkat menjadi jenderal pada masa prakemerdekaan, diperankan Deddy Mizwar. Tak mengejutkan jika Nagabonar dibuatkan versi reborn menyusul Warkop DKI, Benyamin Suaeb, dan Suzanna. Tugas tersulit memang bukan mencetuskan karakter mana yang patut dilahirkan kembali, melainkan bagaimana kejeniusan film sebelumnya, dalam hal ini kegemilangan naskah Asrul Sani yang berjodoh dengan akting Deddy Mizwar, dapat disajikan kepada penonton generasi baru.  

Produser Gusti Randa dalam beberapa kali kesempatan mengkonfirmasi bahwa Nagabonar yang ini adalah versi milenial, meski apa itu milenial dan bagaimana sebenarnya “versi” mereka tak pernah benar-benar diteliti maksudnya. Lagi-lagi milenial hanya menjadi istilah generik untuk menyebut kelompok usia muda. Yang terlihat dari Nagabonar Reborn, versi milenial yang dimaksud ternyata sekadar versi lebih ringan dengan bumbu humor slapstick, percintaan tanpa kejutan, dan pesan moral yang disampaikan blakblakan.

Asumsi pembuat film tentang kelompok target mereka: “Yang everlasting bagi kaum milenial adalah percintaan,” ujar Gusti Randa dalam konferensi pers pemutaran perdana Nagabonar Reborn. Tampaknya Gusti Randa lupa bahwa ratusan ribu orang dari kaum yang sama telah turun ke jalan memprotes pelemahan penindakan korupsi dan perenggutan kebebasan individu dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru. 

Tapi marilah memulai dengan aspek menarik dari Nagabonar Reborn. Film arahan Dedi Setiadi ini mencoba memasukkan plot yang tak ada dalam naskah Asrul Sani, seperti asal mula nama Nagabonar (dari bayangan petir menyerupai naga yang muncul di langit pada malam kelahirannya) dan masa kecil Naga (diperankan dengan simpatik oleh Azka Dimas). Lalu Rita Matumona sebagai mamak Nagabonar yang menyemburkan makian-makian Medan, aih, sedap betul.

Keterlibatan sejumlah pemain lokal dan detail pekerja kebun karet pada 1930-an yang muncul di awal agak memberikan harapan bahwa film ini berusaha menjauh dari kesan film Jakarta kebatak-batakan. Walau begitu, makin ke belakang, konteks waktu dan tempat dalam film ini makin kabur. Tak banyak perbedaan antara setting 1925, 1937, dan 1945 selain tulisan kecil di sudut layar. Begitu pula orientasi tempat yang membingungkan, seolah-olah jarak antara daerah Humbang Hasundutan di Toba dan Medan sama dekatnya dengan jarak Kesawan dan Padang Bulan karena Nagabonar bisa bolak-balik berjalan di antaranya dalam waktu singkat. 

Beban terbesar tentu berada di pundak Gading Marten sebagai Nagabonar. Tepat sebelum Nagabonar, Gading menunjukkan kualitas keaktoran yang mumpuni sebagai Richard dalam Love for Sale. Maka ekspektasi terhadap dia begitu tinggi. Gading cukup bersungguh-sungguh keluar dari peran sebelumnya. Aksen Medannya tak terdengar begitu tersendat di telinga. Hanya, Gading dengan rambut keriting berminyak dan sudut bibir yang terus dimencong-mencongkan tak berhasil menghidupkan karakter Nagabonar miliknya sendiri. Yang dia perankan adalah Deddy Mizwar yang berperan menjadi Nagabonar.

Barangkali karena berangkat dari asumsi tanpa dasar bahwa generasi milenial adalah generasi yang tak mampu mencerna konsep berat dan hanya paham akan cinta-cintaan, film ini berupaya menyampaikan pesan moral secara kentara dan bertubi-tubi. Pesan nasionalisme adalah yang paling kencang terdengar. Memang, nilai-nilai nasionalis juga menjadi sorotan dalam Nagabonar asli ataupun Nagabonar Jadi 2, sekuel yang disutradarai Deddy Mizwar pada 2007. Namun keduanya menyampaikan pesan itu dengan subtil tanpa keklisean. 

Nagabonar asli begitu membekas karena, seperti disampaikan peneliti film, Eric Sasono, film itu adalah parodi mitos-mitos kebangsaan yang pemerintah Orde Baru coba tanamkan. Lewat film-film propaganda, seperti Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dan Serangan Fajar, Soeharto mengekalkan ide bahwa Indonesia telah bersatu sejak awal dan ada proses patriotik untuk mencapainya. Nagabonar ciptaan Asrul Sani sebagai seorang raja copet yang mengangkat diri menjadi jenderal dan sempat meminta pangkat Marsekal Medan-Lubukpakam menjadi antitesis film-film polesan itu.

Begitu pula dalam Nagabonar Jadi 2. Urusan cinta Tanah Air dibuat lebih mengasyikkan lewat simbol kelekatan Nagabonar dengan sepetak tanah kuburan orang-orang yang ia cintai dan upayanya mempertahankan tanah itu dari investor properti Jepang.

Lantas bagaimana cara Nagabonar Reborn menyulut nasionalisme? Dengan ujuk-ujuk menghadirkan Puan Maharani yang berkepang dua berorasi menggebu-gebu tentang persatuan dan kesatuan di tengah para pejuang. 

Sementara Asrul Sani berupaya mematahkan mitos pejuang kemerdekaan yang melulu luhur dan nasionalis, penulis skenario Nagabonar Reborn malah ingin betul Nagabonar menjadi tokoh panutan kaum milenial dengan menjadikannya sosok tanpa cela. Nagabonar yang ini tak mencopet. Dia ingat selalu nasihat ibunya tak mengambil hak orang lain. Pesan agar menghormati ibu berkali-kali disampaikan. Anehnya, karakter perempuan lain dalam film ini tak begitu dihargai. Kita tahu, Kirana (dulu diperankan Nurul Arifin, sekarang Citra Kirana) adalah cinta sejati Nagabonar. Dalam film aslinya, kisah cinta mereka menjadi pemanis yang pas. Kali ini, cinta-cintaan justru menjadi fokus utama. 

Urusan hormat-menghormati perempuan tak berlaku ketika Nagabonar yang ini berhadapan dengan Kirana. Kualitas putri seorang dokter yang menjadi andalan Belanda itu direduksi menjadi sekadar kecantikan fisik luar biasa. Tanpa consent, Nagabonar juga sempat menyentuh dan menculik Kirana demi memenangi hatinya. Selain itu, film ini secara konsisten menggandengkan Kirana dengan Bidah, pembantunya (Elly Sugigi). Dalam beberapa kali kesempatan, humor diluncurkan dengan mengeksploitasi penampilan fisik Elly, menempatkannya di kasta yang lebih rendah dari Kirana yang jelita. Saya percaya perlakuan terhadap perempuan dan jenis humor seperti ini bukan selera kaum milenial.  

Sejumlah masalah memang membelit produksi film ini sejak awal. Pergantian sutradara hingga gugatan hukum dari pihak Deddy Mizwar membuat kelahiran kembali Nagabonar tersendat-sendat. Namun, bila para pembuat film versi reborn berikutnya ingin meraih keuntungan besar dari kalangan milenial, setidaknya lakukan riset lebih tekun tentang karakteristik mereka. Sudahi aksi mengandalkan asumsi sepihak ala orang tua yang tak pernah benar-benar ingin mengenal anak-anak remaja mereka. 

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gempita Tjipta Perkasa

 

Nagabonar Reborn

Sutradara: Dedi Setiadi
Produser: Gusti Randa, Trimedya Panjaitan, Juniver Girsang, Harry Sanusi, Robert Attiam
Pemain: Gading Marten, Citra Kirana, Rita Matumona, Ence Bagus, Donny Damara, Puan Maharani, Elly Sugigi

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus