Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dogot dan Sapardi

Ditunggu Dogot karya Sapardi Joko Damono dirayakan di Institut Kesenian Jakarta. Sekolah Pascasarjana, S-1, dan alumnus mementaskannya secara daring.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Slamet Raharjo dan N Riantiarno membacakan naskah Ditunggu Dogot, yang disiarkan secara langsung di channel youtube Institut Kesenian Jakarta./Youtube/Institut Kesenian Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULANYA, Ditunggu Dogot adalah cerita pendek Sapardi Joko Damono, 80 tahun. Pada 2003, Penerbit Buku Kompas meluncurkan kumpulan cerpen Sapardi yang diberi judul Membunuh Orang Gila. Ada 18 cerpen Sapardi yang termuat dalam kumpulan itu. Di antaranya Batu di Pekarangan Rumah, Dalam Lift, Membaca Konsultasi Psikologi,  Ketika Gerimis Jatuh, Sepasang Sepatu Tua, dan Ditunggu Dogot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang unik, terdapat beberapa cerpen yang sangat pendek. Ada cerpen yang cuma dua halaman, bahkan ada yang satu halaman. Seorang peresensi bahkan menyebutkan, bila masih bisa digolongkan sebagai cerpen, cerita itu harus disebut sebagai cerpen super-pendek. Dibandingkan dengan cerpen yang dimuat di surat kabar saja kalah panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Koran Tempo, misalnya, cerpen yang dimuat redaksi tiap akhir pekan panjangnya selalu sekitar enam halaman ketik. Sapardi, yang lebih tersohor sebagai penyair, agaknya tak ingin terbebani oleh formula-formula cerpen standar. Ia menyukai eksperimen. Dari sekian cerpen Sapardi dalam kumpulan itu, yang juga “aneh” adalah Ditunggu Dogot. Cerpen ini disebut “aneh” karena bentuknya berupa dialog, laiknya naskah drama.

Jelas, kata dan tema Dogot merupakan pelesetan Sapardi atas naskah Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Karya Beckett ini memang mengilhami banyak teaterawan. Dramawan kontemporer Jepang, Minoru Betsuyaku, pada 1960-an, misalnya, merespons naskah Beckett ini dan melahirkan naskah Godot Telah Datang (sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Yoko Nomura dan Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung, tapi sama sekali belum pernah dipentaskan kelompok teater mana pun di sini). Cerpen Sapardi tentu tidak merespons secara khusus Waiting for Godot, tapi hanya memain-mainkan kata “menunggu”. Tokoh Beckett, Vladimir dan Estragon, dua gelandangan, menunggu kedatangan Godot. Situasi ini dibalik Sapardi menjadi kedatangan dua sosok yang ditunggu Dogot.  

Pertunjukan Dogot yang dimainakn pasangan suami istri Sigit Hardadi dan Elizabeth Lutters./Facebook Elizabeth Luters

Dua orang yang ditunggu Dogot itu tak tahu siapa Dogot. Mereka berselisih. Yang satu ingin bergegas dan tepat waktu menemui Dogot. Sedangkan yang lain menolak cepat-cepat karena, jika sampai datang lebih awal, itu artinya juga tak tepat waktu. Demikian keduanya saling menelikung dan menjungkir-balikkan logika, membolak-balik kalimat. Di tangan Sapardi, bila direnungi, dialog keduanya bukan semata silat lidah, tapi membawa ke situasi absurd. Situasi ini mengingatkan pada naskah Putu Wijaya, Aduh, tentang sekelompok orang yang tiba-tiba melihat orang sakit tapi hanya sibuk membicarakan tanpa segera menolongnya. Baik naskah Putu maupun Sapardi seolah-olah menampilkan potret masyarakat Indonesia yang sering celometan, bertengkar sampai meluap-luap tentang suatu hal, tapi tidak ada satu pun yang melakukan eksekusi.

Sapardi membebaskan interpretasi atas sosok kedua tokohnya: boleh laki-laki semua, boleh perempuan semua, boleh lelaki dan perempuan. Dan adegannya boleh dibayangkan di mana saja. Tak mengherankan jika di kalangan teaterawan cerpen ini langsung dipandang sebagai naskah drama, bukan cerpen. “Yang pertama menganggapnya sebagai drama adalah komunitas teater Padangpanjang. Saya kira itu sah-sah saja. Sastra kini tidak memiliki sekat-sekat,” kata Sapardi. Sapardi sendiri pernah menerjemahkan naskah drama T.S. Elliot, Henrik Ibsen, Eugene O’Neill, dan Wole Soyinka. Ia tak menduga bahwa ada yang memanggungkan cerita pendeknya. “Pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki oleh teater dari Padangpanjang. Saya lupa sutradaranya. Saya tidak sempat nonton saat itu,” ucap Sapardi.

Yang dimaksud Sapardi adalah pentas drama Komunitas Hitam Putih yang disutradarai Kurniasih Zaitun alias Tintun, dosen Program Studi Teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat, di Taman Ismail Marzuki pada 2007. Tafsir pertunjukan Tintun saat itu di luar dugaan. Di panggung, sebuah sepeda ontel diletakkan di papan kayu yang bisa berputar. Di belakangnya, sebuah layar menampilkan imaji-imaji virtual bertema speed. Dalam kegelapan, tampak seorang laki-laki kemudian mengayuh sepeda cepat-cepat. Sementara itu, seorang perempuan meringkuk di bagian setang sepeda.

“Kita harus tepat waktu. Tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang. Dogot sama sekali tidak suka orang yang tidak tepat waktu,” kata laki-laki itu sambil mengayuh keras. Sepeda itu menjadi properti menarik. Mereka berdebat tentang apakah harus segera tiba menemui Dogot di atas sepeda. Perempuan itu kadang berganti mengayuh. Mengerem menahan laju, berbeda pendapat, laki-laki itu lalu merebut setang dan menggenjot lebih keras. Sepeda bahkan diputar-putar dan digulingkan, sementara layar menampilkan imaji virtual tentang jalan yang disusuri cepat. Di tangan Tintun, perbincangan sekitar 45 menit di atas sepeda dengan atmosfer musik elektronik itu terkesan serius, genting, tanpa kejenakaan.

Dan, di tengah pandemi saat ini, Dogot lahir kembali, setidaknya di lingkungan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sekolah Pascasarjana IKJ mengundang dua aktor kawakan, Slamet Rahardjo dan Nano Riantiarno, membacakan naskah Dogot. Dikoordinasi oleh koreografer Yola Yulvianti, mereka dari rumah masing-masing melakukan latihan terbuka yang bisa dinikmati publik secara daring (online), dalam suasana rileks. Penafsiran Nano dan Slamet atas kedua sosok yang berbeda pendapat itu mampu membawa kita ke perdebatan yang menggelikan. Cara mereka membawakan kedua tokoh itu artikulatif dan intonasinya dialektis sehingga naskah tersebut hidup walau hanya dibaca.

Kejenakaan karena kekeras-kepalaan dan ke-ngeyel-an kedua tokoh itu bisa ditampilkan Nano dan Slamet. “Dalam naskah ini saya ingin mengeksplorasi oposisi biner menunggu dan ditunggu,” ucap Sapardi. Dan “oposisi biner” itu yang disajikan Nano dan Slamet. Justru karena tidak berpretensi sebagai sebuah pertunjukan, latihan itu malah alami, apa adanya, dan enak ditonton. Bahkan, di sela-sela kalimat dialog, Slamet dan Nano bisa menanyakan apa maksud Sapardi. Misalnya ketika ada kalimat “Pernah dibedil Jepang?”, Slamet langsung berkomentar, “Wah, ini pengarangnya pasti mengalami zaman Jepang.” Nano sendiri mengatakan, meski terlihat sederhana, sesungguhnya naskah ini sulit. “Setelah didalami, karakter kedua orang ini sulit,” ujar Nano.

Akan halnya pertunjukan kedua, dosen muda dan mahasiswa Program Studi Teater IKJ menjadi penyaji. Pertunjukan ini semula dipersiapkan untuk dipentaskan pada Hari Teater Sedunia di Solo, Jawa Tengah, tapi batal karena pandemi. Tiga babak dimainkan oleh pasangan berbeda, yakni Richard Kalipung-Christian Pilongo, Siti Fatimah-Damar Rizal Marzuki, dan Gatot Prabowo-Indra Heriyanto. Tiap babak disajikan dengan konsep berlainan. “Naskah ini bisa dimainkan enam orang, sepuluh orang, terserah,” tutur Sapardi.

Pertunjukan kedua Ditunggu Dogot yang dimainkan oleh Gatot Prabowo-Indra Heriyanto./Facebook Elizabeth Luters

Saat Siti-Damar membawakan dialog, muncul beragam latar, dari suasana kafe, stasiun, sampai jalan simpang. “Kamu kenal Kong Hu Cu?” Secara parodi, tatkala kalimat itu diucapkan, latar yang muncul adalah gambar kaleng biskuit Khong Guan. Dari ketiganya, yang paling mendekati situasi “ditunggu-menunggu” adalah permainan Gatot-Indra. Gatot memasuki mobil dan menelepon, seolah-olah hendak pergi tergesa-gesa menemui Dogot. Namun yang diajak berpikir sebaliknya. Sedangkan Fachrizal Mochsen berdialog dengan suara-suara surround. Ide “monolog” yang menarik. Tapi, masalahnya, atmosfer “suara-suara” itu tak bisa dinikmati penonton secara online.

Pertunjukan Dogot lain ditampilkan pasangan suami-istri Sigit Hardadi-Elizabeth Lutters. Keduanya alumnus teater IKJ. Sigit aktor yang malang-melintang di jagat pertelevisian. Adapun Elizabeth penulis buku Kunci Sukses Menjadi Aktor. Pertunjukan mereka disajikan di Facebook secara bersambung. Duduk bersebelahan dengan meja kecil di tengah, mereka seperti pasangan yang bercekcok. Dialog disusupi nyanyian. “Dogot itu kakinya pincang atau tidak, mulutnya dower atau tidak, kamu harus bisa menjelaskan. Biar kalau ketemu aku bisa….” Elizabeth lalu bernyanyi, “Halo Dogot apa kabar? Maaf kami belum bisa ketemu, karena bertengkar mulu.”   

Sapardi pernah menerjemahkan Ditunggu Dogot ke bahasa Jawa. “Bahasa daerah itu mungkin lebih pas dengan apa yang hendak saya sampaikan,“ katanya. Sapardi mengatakan banyak naskah drama Indonesia yang bahasanya seperti bahasa buku. “Bila memakai bahasa lokal sehari-hari malah bisa lebih kena.” Termasuk unsur jenakanya tentunya. Samuel Beckett ketika hendak mementaskan Waiting for Godot sesungguhnya menginginkan Estragon dimainkan oleh Buster Keaton, aktor komedi film bisu Amerika Serikat. Gerak-gerik pantomimnya yang jenaka memikat Beckett. Tapi itu tidak kesampaian.

Jadi, lantaran Dogot itu nunggu, kita ini wajib ditunggu, gitu?                                                                                                   

Seno Joko Suyono
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus