Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI kisah yang sangat khusus,” Luna menyodorkan sebuah buku kepada empat temannya, Clive, Scarlet, Jack, dan Selena. Penampilan Luna mirip badut. Rambutnya cepak, mengenakan topi bundar dan jas biru. Hidungnya sedikit berdot merah. Ia duduk tafakur. Selena membaca buku yang rupanya catatan harian Luna. Jack memainkan akordeon dengan irama sedih. Buku itu berisi pengakuan Luna yang mendamba seorang lelaki dari bulan.
The Girl Who Fell in Love with the Moon yang dipentaskan The Human Zoo Theatre Company di Salihara International Performing Arts Festival itu bukan pertunjukan berat. Pertunjukan teater yang meraih Best Young Production pada Brighton Fringe Awards 2015 itu berisi dongeng-mendongeng menggabungkan pola-pola akting gaya pemain sirkus.
Diceritakan, lima anggota tonil tersesat di sebuah hutan dalam perjalanan menuju tempat pentas. Di hutan yang gelap dan sepi itu, mereka menyalakan pelita. Kemudian satu per satu bergiliran mendongeng. Mereka membuat pertunjukan untuk penonton yang tak terlihat.
Ini sebetulnya gagasan menarik. Para aktor bisa beradu dongeng. Scarlet (Fleur Rooth) berbicara tentang bintang jatuh. Beberapa kali bintang-bintang kertas ditaburkan ke tubuh para pemain. Clive (Nick Gilbert) berkisah tentang lelaki dengan kepala di awan. Selena (Rosalind Hay) menjadi putri laut. Ia melakukan gerakan mendayung dan bertemu dengan gunung samudra. Ditingkapi tabla yang dipukul Jack (Jack Roberts), dia mendaki gunung itu dan kedinginan di puncak. Dan Jack berpura-pura menjadi burung raksasa, mengepak-ngepakkan sayap.
Semua adegan dilakukan tanpa set kecuali koper-koper tua. Para pemain memainkan akordeon, ukulele, atau saksofon. Mereka menyanyi, menari-nari. Ada adegan Selena mengenakan kacamata hitam dengan iringan lagu Bee Gees, Staying Alive, berjingkrak-jingkrak.
Namun panggung kurang menyajikan kejutan-kejutan ”unsur keajaiban dunia fairy tale”. Mereka berkisah tentang mimpi-mimpi bintang. Dari koper-koper tua itu cuma dikeluarkan sejumlah stoples yang berisi lentera-lentera kecil. Andai kata koper menjadi magic box, di mana keluar terus-menerus berbagai obyek tak terduga, tentu lebih maknyus. Ada adegan para pemain boneka perempuan yang badannya terpisah. Dari kotak itu, misalnya, bisa keluar aneka macam boneka lain.
Mendongeng tanpa set dengan bantuan sejumlah obyek seadanya adalah hal biasa di dunia teater tradisi. Agus Nur Amal dari Institut Kesenian Jakarta, yang mengadopsi gaya cerita PM Toh, tukang cerita Aceh, misalnya, seorang diri bisa mendongeng hal-hal antah-berantah dengan materi apa saja: tas kresek, sapu, atau mobil-mobilan. Musik dimainkan sendiri oleh mulutnya. Pertunjukan Agus kerap lucu, konyol, hangat, gokil, dan tak terduga. Sedangkan pertunjukan The Human Zoo Theatre, meski pergantian mendongengnya kompak, belum mampu membuat kita terperenyak. Spontanitas anak-anak muda London itu masih kurang nakal, humornya terkontrol, dan improvisasinya terjaga. Imaji visualnya standar saja.
”Kami sudah tidak punya cerita lagi, Luna,” kata Selena. Tapi, pada larut malam, Luna sang badut biru (Florence O'Mahony) masih menyimpan satu cerita yang sangat spesial. Sebuah kisah bagaimana ia menyusuri London sendirian pada dinihari. Ia menanti ada lelaki yang turun dari bulan. Dan, di pengujung, tiba-tiba ada sorot cahaya besar dari arah penonton menerangi tubuh mereka. Mereka mendongak menatap sorot itu. Penonton pun sampai ada yang menoleh ke belakang melihat-lihat mungkin dari atas turun ”sosok” sang lelaki bulan atau lainnya. Namun tak ada apa-apa. SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo