Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Revolusi Mesin Seperseribu Rambut

Penemu mesin nano berukuran seribu kali lebih kecil dari diameter rambut meraih Nobel. Mampu mendeteksi sel berbahaya dalam tubuh.

17 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBERAPA kecil sebuah mesin bisa dibuat? Pertanyaan itu mengemuka ketika ahli fisika dan peraih Hadiah Nobel, Richard Feynman, membahas perkembangan nanoteknologi dalam kuliahnya pada 1984. Saat itu Feynman begitu yakin suatu saat manusia mampu membuat mesin berukuran supermungil dalam skala nanometer. Perkembangan teknologi membuat prediksi Feynman terbukti.

Adalah tiga ahli kimia dan pionir pengembangan nanomachine atau mesin nano, Jean-Pierre Sauvage, 71 tahun, J. Fraser Stoddart (74), dan Bernard L. Feringa (65tahun), yang mewujudkan prediksi Feynman itu dengan membuat dan mengkombinasikan ”suku cadang” nano menjadi mesin berukuran seribu kali lebih kecil dari diameter sehelai rambut manusia.

Mesin yang tersusun dari rangkaian molekul sintetis dan saling terkunci itu mampu meluncur bak sebuah mobil yang dikendalikan dari jarak jauh. Atas keberhasilan itu, mereka diganjar Hadiah Nobel untuk bidang kimia, penghargaan tertinggi di bidang sains, Rabu dua pekan lalu.

Komite Nobel menyebut perangkat yang dibangun ketiganya itu sebagai mesin terkecil di dunia yang pernah ada. ”Ini kejutan yang luar biasa. Saya merasa sangat terhormat bisa menerimanya,” kata Feringa dalam wawancara dengan perwakilan Komite seusai pengumuman Hadiah Nobel di Stockholm, Swedia.

Nurul Taufiqu Rochman, ahli nanoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan teknologi nanomachine adalah pencapaian riset yang luar biasa dan layak Hadiah Nobel. ”Mereka berhasil membuktikan teori dan perhitungannya,” kata Nurul, yang juga menjabat Kepala Pusat Inovasi LIPI, Rabu pekan lalu.

Menurut Nurul, dampak dari pembuatan mesin nano tersebut bisa sangat besar. Benda dalam skala nano memiliki ukuran yang lebih kecil dari sel darah manusia. Para ilmuwan bisa membuat alat nano untuk mengidentifikasi penyakit atau benda asing dalam tubuh.

Perangkat itu bisa diatur untuk menempel lalu mengirimkan obat ke target lebih spesifik. Konsep kerjanya seperti robot yang bisa masuk ke peredaran darah. ”Mungkin bentuknya tidak seperti robot yang selama ini kita kenal. Tapi teknologi membuat partikel nano itu bukan lagi mimpi,” ujarnya.

Temuan ini setara dengan penemuan motor listrik pertama pada 1830, yang menjadi cikal-bakal pengembangan kendaraan, kereta api, dan beragam mesin lain. ”Mereka membuka riset di bidang permesinan molekular dan menunjukkan bahwa sangat mungkin membuat mesin dalam skala molekul,” kata Goran Hansson, Sekretaris Jenderal The Royal Swedish Academy of Sciences.

Seperti pada mesin biasa, yang dibutuhkan untuk membuat mesin nano adalah komponen yang bisa bergerak. Para ahli kimia sudah lama mampu mensintesis molekul berbentuk mirip cincin yang saling terkait dan bisa difungsikan seperti komponen bergerak. Masalahnya, mereka tak tahu bagaimana cara membuat cincin-cincin molekul itu saling terkait.

Sauvage adalah orang pertama yang mendapatkan solusinya pada 1983. Ilmuwan asal Prancis ini menemukan bahwa ion tembaga yang dialiri listrik bisa berfungsi sebagai pin dalam pembentukan cincin yang saling terkunci. Alih-alih berbentuk ikatan kimiawi biasa, rangkaian cincin yang dikenal sebagai catenanes itu terjalin seperti untaian rantai.

Stoddart menambah komponen baru mesin nano ini pada 1991. Ilmuwan Skotlandia itu membuat rotaxanemolekul cincin yang membungkus semacam sumbu berbentuk dumbbell. Cincin-cincin itu bisa bergerak maju-mundur seperti bulir-bulir pada sempoa.

Stoddart bahkan mampu membuat tiga rotaxane menjadi landasan yang dapat terangkat. Dalam dunia nano, ini ibarat elevator molekular. Pengembangan lain yang dibuat Stoddart adalah otot dan chip komputer berbasis molekul.

Awalnya Stoddart tak percaya mendapat Nobel. Bertahun-tahun namanya disebut sebagai kandidat penerima Nobel sampai-sampai dia menganggapnya sebagai lelucon. Tapi, saat ia tertidur pada pukul empat pagi, teleponnya berdering. ”Aku mengenali ada aksen Swedia. Kali ini mereka tak bercanda,” kata Stoddart.

Temuan Feringa pada 1999 melengkapi konsep mesin nano. Ahli kimia asal Belanda ini adalah orang pertama yang membuat mesin penggerak berskala molekul. Bilah rotor buatannya dapat berputar ke arah yang sama secara terus-menerus dengan energi cahaya. Awalnya gerakan motor masih lambat. Namun, 15 tahun kemudian, Feringa mampu membuat motor dengan putaran 12 juta kali per detik.

Lima tahun lalu, ketiga ilmuwan itu berkolaborasi membuat ”mobil” molekul berpenggerak empat roda. Empat motor berputar seperti roda yang dihubungkan oleh sasis berukuran nano. ”Saya sempat syok ketika berhasil membuatnya. Saya tak percaya mesin itu bekerja,” ujar Feringa.

Mesin nano masih dalam tahap pengembangan dan belum dimasukkan ke aplikasi yang dapat segera dipakai. Meski begitu, para ilmuwan yakin mesin nano dapat digunakan untuk beragam bidang riset, dari pembuatan material baru, sensor, sistem penyimpanan energi, hingga alat pengirim obat yang efektif.

Feringa mengatakan mesin nano berfungsi ibarat robot kecil pengantar obat atau mendeteksi sel berbahaya dalam tubuh. Mesin nano juga dapat dikembangkan menjadi material pintar yang mampu beradaptasi, tergantung sinyal dan energi yang diberikan. ”Ini baru awal,” ujarnya.

Pemakaian nanoteknologi dapat menciptakan material yang memiliki kombinasi keunggulan bahan sebelumnya sesuai dengan unsur penyusunnya. Karbon adalah unsur paling banyak memiliki variasi struktur. Material carbon nanotube dibuat dengan memodifikasi strukturnya. ”Keras seperti intan tapi bisa menghantarkan listrik,” kata Nurul, peneliti dengan 18 hak paten.

Nanoteknologi juga dapat mengubah material biasa menjadi barang bernilai jual tinggi. Indonesia memiliki sumber daya dengan nilai berlipat setelah diolah dengan nanoteknologi. Produk olahan tersebut dipakai untuk beragam industri, dari pertanian, pangan, sampai medis. ”Tanaman obat seperti temulawak dan kumis kucing atau limbah kulit udang yang harganya sangat murah itu bisa bernilai tinggi dengan nanoteknologi,” ujar Nurul. GABRIEL WAHYU TITIYOGA (NOBELPRIZE.ORG, THE GUARDIAN, NEW YORK TIMES, NATURE, SCIENCE)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus