Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHMAD Kamil terbaring di ranjang Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta, Sabtu tiga pekan lalu. Matanya mengikuti gerakan petugas medis yang menunjukkan beberapa alat di sebelahnya dan memberikan instruksi. Di luar ruangan, beberapa kerabat menunggu dengan sedikit cemas. ”Baru sejam lalu Bapak selesai operasi,” kata Ikhsan Kamira, putra Ahmad.
Sejam sebelumnya, Ahmad terbaring di meja operasi. Dokter memasang alat pacu jantung (pacemaker) mini ke dalam jantung pria 73 tahun itukarena iramanya melambat. Lantaran denyut jantung yang pelan ini, Ahmad terserang stroke dua kali. ”Yang terakhir itu sekitar sepuluh hari yang lalu,” ujar Ikhsan.
Kelainan irama jantung atau aritmia memang bisa mengakibatkan masalah fatal. Menurut dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Yoga Yuniadi, kelainan ini disebabkan oleh gangguan sinyal listrik. Denyut bisa menjadi lebih cepat atau lebih lambat. Untuk yang denyutnya lambat, bisa mengakibatkan stroke atau membuat penderitanya sering tiba-tiba pingsan, seperti dialami Ahmad.
Untuk mengatasi masalah ini, dokter memasang alat pacu jantung agar denyutnya kembali normal. Alat pacu jantung sudah digunakan sejak 1958. Pertama kali dibuat, ukurannya masih sangat besar, dengan berat 73,4 gram dan ukuran 35 sentimeter kubik. Makin lama ukurannya makin kecil. Sejak dua tahun lalu, ada alat pacu jantung berukuran mini. Beratnya hanya 2 gram dengan ukuran 1 sentimeter kubik, lebih kecil daripada satu ruas jari orang dewasa.
Ahmad adalah pasien keempat yang dipasangi alat pacu jantung mini di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Pada hari itu, untuk pertama kalinya alat tersebut dipasang di Tanah Air. Indonesia merupakan negara kedua di Asia Tenggara yang sudah menerapkan alat pacu jantung mini itu setelah Malaysia.
Alat tersebut tak berbeda jauh dengan alat generasi sebelumnya yang mulai dipakai pada 2009. Hanya ukurannya mungil dan tanpa kabel. Sementara alat lama seukuranstopwatch, alat pacu jantung mini ini besarnya hanya sepersepuluh dari alat tersebut. Juga tanpa kabel, sehinggabisa langsung diletakkan di dalam jantung.Alat ini tak seperti alat jantung konvensional yang ditanam di bawah kulit dada dan dihubungkan dengan kabel ke jantung.
Meski ukurannya mini, performanya mumpuni. Baterai alat tersebut bisa bertahan 12 tahun, hampir sama dengan alat pacu jantung sebelumnya. Bedanya, pemasangannya membutuhkan waktu lebih singkat. Pada pemasangan di jantung Ahmad, misalnya, tim dokter yang mengoperasinya hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk meletakkan alat tersebut. Jika ditambah dengan waktu memasukkan alat pengantar aliasdeliverysystem, total pengerjaannya hanya sekitar sepuluh menit. Jauh lebih cepat ketimbang pemasangan alat lama, yang sekitar 45 menit hingga satu jam.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi, Faris Basalamah, yang menyaksikan operasi Ahmad, mengatakan mula-mula tim dokter membius bagian lipatan paha Ahmad. Setelah baal, lipatan tersebut disayat untuk menjumpai pembuluh darah vena femoralis yang diameternya seukuran jari.
Vena yang menuju jantung tersebut, kata dia, kemudian dimasuki deliverysystem untuk mengirim alat pacu jantung mini sampai ke serambi kanan jantung. Setelah pacemaker sampai di jantung, jangkar kecil yang ada di ujung alat tersebut dikaitkan pada dinding jantung. Kalau peranti tersebut sudah tertempel dengan baik, barulah dilepas dan ditinggal.
Selain ukurannya yang mungil, alat itu punya banyak keunggulan. Salah satunya tak berpotensi menyebabkan trombosis alias pembekuan darah, seperti pada alat lama. Menurut Direktur Utama Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Hananto Andriantoro, kabel pada alat lama yang disambungkan ke jantung melalui pembuluh darah berisiko membuat darah membeku. ”Alat yang baru ini tak ada kabelnya, jadi semakin aman,” ujarnya.
Alat lama yang ditanam di bawah kulit juga rentan menimbulkan infeksi dan kurang nyaman dipakai. Menurut Yoga Yuniadi, untuk orang tua yang kurus, alat yang ditanam di bawah kulit bisa menonjol. Lecet sedikit bisa mengakibatkan infeksi. Di Indonesia, kasus infeksi tersebut berkisar 0,2-1 persen dari total alat yang dipasang (sekitar 400 alat per tahun). Jika begini, alat harus dicabut dan diganti dengan yang baru. Masalah infeksi ini belum ditemukan pada pemasangan alat yang baru.
Keunggulan lain, meskipun ukurannya kecil, daya tahan baterainya cukup lama, sampai 12 tahun. Kalau baterainya habis, alat yang baru bisa dipasang lagi, tanpa mencabut alat lama. Jantung bisa menerima maksimal tiga alat yang sama. Jika dihitung, pasien bisa terbantu sampai 36 tahun. ”Namun, karena alat ini baru dua tahun, belum ada pengalaman habis baterai,” kata Yoga.
Di negara lain, seperti Amerika Serikat, alat tersebut bisa diatur dari jarak jauh dengan menggunakan sensor. Kecepatan pengaturan irama dan output baterainya bisa disesuaikan, tergantung kondisi pasien. Misalnya, dari 60 denyut per menit menjadi 90 denyut, disesuaikan dengan aktivitas pasiennya. ”Alat ini kecil-kecil cabe rawit,” ujarnya.Maka tak mengherankan jika harganya cukup mahal. Sementara alat biasa harganya berkisar Rp 30-70 juta, alat pacu jantung mini ini Rp 130-150 juta.
Di Indonesia, pengaturan jarak jauh belum bisa dilakukan karena belum ada pengaturan pada frekuensi medis. Jika dipaksakan, malah bisa bahaya. ”Malah nanti alatnya jadi melambat karena kebocoran frekuensi,” kata Yoga.
Tapi tak semua orang yang bermasalah dengan perlambatan irama jantung disarankan menggunakan alat baru ini. Bayi yang menderita kelainan irama jantung bawaan, misalnya, belum diperbolehkan menggunakannya. Sebab, sampai sekarang, jantung baru bisa menerima tiga alat tersebut, atau jika diakumulasi umur alat tersebut sekitar 36 tahun. Sedangkan bayi masih memiliki harapan hidup panjang. Ada kemungkinan melebihi tiga kali pemasangan alat pacu tersebut.
Untuk pasien yang memerlukan bantuan listrik pada dua kamar jantung, alat pacu jantung mini ini juga belum bisa menjadi solusi. Menurut Yoga, peranti tersebut baru bisa memacu satu kamar jantung, bilik saja atau serambi saja.
Jantung memiliki empat ruang, yakni bilik kanan dan kiri serta serambi kanan dan kiri. Berapa ruang yang dibantu dengan alat, tergantung masalah pada jantung. Misalnya, pada kelainan bawaan yang membuat anatomi jantung berubah sehingga akses ke bilik atau serambi menjadi sulit, bilik dan serambi mesti dibantu sekaligus.
Untuk kebutuhan seperti ini, alat pacu jantung konvensional masih menjadi jawaban. Alat tersebut bisa memacu dua ruang sekaligus, tinggal kabelnya dipasang di dua tempat tersebut. Namun, diperkirakan dalam 5-10 tahun ke depan, kebutuhan memacu dua ruang ini bisa dipenuhi alat mini yang baru. ”Ukurannya juga diperkirakan sepersepuluh dari yang sekarang,” kata Yoga.
Karena masih amat baru di Indonesia, dalam pertemuan tahunan dokter spesialis jantung yang dilaksanakan di Tangerang, 7-8 Oktober lalu, pemasangan alat mini ini juga didemonstrasikan secara langsung. Menurut Faris Basalamah, yang menjadi ketua pertemuan tersebut, pasien tetap dioperasi di RS Jantung Harapan Kita. Operasi tersebut langsung disiarkan di tempat pertemuan sehingga makin banyak dokter yang paham cara memasang.
Dia berharap pemasangan alat ini tak hanya dilakukan di RS Jantung Harapan Kita. Di RS Mitra Keluarga Bekasi, tempat Faris bekerja, alat tersebut juga sudah tersedia. ”Kami tinggal menunggu pasiennya,” ujarnya. NUR ALFIYAH
Evolusi Alat Pacu Jantung
1958
Berat: 73,4 gram Ukuran: 35 cc
1981
Berat: 55 gram Ukuran: 25 cc
1995
Berat: 14 gram Ukuran: 6 cc
2009
Berat: 23 gram Ukuran: 12,8 cc
2013
Berat: 2 gram Ukuran: 1 cc
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo