Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAVY Linggar melihat dunia bukan terutama sebagai benda atau obyek. Lewat kamera polaroidnya, ia lebih menangkap garis, bidang, bentuk, dan warna. Ia lebih melihat komposisi.
Itulah yang tampak pada sejumlah karya fotonya, yang bersama sejumlah lukisan akriliknya disajikan dalam pameran yang bertajuk ”Sketch, Photo, Image” di Ark Gallery di Bakoel Koffie, Jakarta Selatan, sampai akhir pekan lalu. Foto itu sebagian besar merekam dunia ”pribadi”: kamar, tempat tidur, toilet.
Komposisi pada karya fotonya menggeser perhatian kita, membuat kita tak menganggap penting adakah obyek yang dijepret dengan kamera polaroid itu benar ada atau tidak. Kita tak melihat karya foto itu sebagai cerminan dari dunia nyata. Davy tampaknya ”meminjam” kenyataan untuk menampilkan ide-idenya. Dan ide itu adalah lekuk-liku garis, terang-gelap warna, keburaman serta ketegasan bentuk, dan sebagainya.
Inilah yang saya kira membuat karya foto Davy bukan lagi hanya sebuah potret, melainkan sebuah karya seni rupa. Itulah kesan yang pelan-pelan muncul, setelah beberapa lama berada di ruang yang memajang karya foto polaroid yang per foto berukuran 11 x 9 sentimeter, dikelompokkan menurut—rasanya—tema atau bentuk.
Tentu saja kita akan tetap mengenal sebentuk betis ditekuk menempel ke paha, wajah menengadah dan rambut tergerai, seseorang tiduran di kasur dengan satu kaki ditekuk ke atas membentuk segi tiga, dua lengkung pegangan tas, gedung pencakar langit dengan jendela-jendelanya, tanaman di pot di satu jendela apartemen, dan sebagainya. Tapi itu semua dikalahkan oleh kekuatan komposisi yang tampil. Garis lengkung betis yang bersilangan dengan garis tulang kering. Garis kaki bersilangan berpadu dengan lekuk pantat. Segi tiga yang terbentuk oleh kaki dengan latar cahaya yang masuk lewat jendela. Susunan vertikal kotak-kotak yang disatukan oleh garis tepi gedung pencakar langit.
Ukuran karya yang kira-kira hanya setelapak tangan itu mau tak mau memaksa kita mendekat, kadang harus berjongkok, karena karya digantung agak ke bawah. Bila kita pun ”tenggelam” dalam permainan garis bersilangan, bersejajar, komposisi yang menjulang, bidang yang terang dan gelap, kontras kelem-butan dan ketajaman, dan sebagainya itu, membuktikan bahwa memang ada sesuatu yang ”berdialog” dengan kita dari karya-karya itu.
Pada medio 1960-an, dua perupa—Srihadi Soedarsono dan Fadjar Sidik—menepis obyek dengan alasan masing-masing dan mengisi kanvas mereka sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa lukisan itu sendiri adalah obyek. Kedua perupa ini hanya menghadirkan cat di kanvas, mengajak langsung penikmat karyanya pada garis, bidang, dan warna itu sendiri. Kalau toh penonton berasosiasi pada obyek, itu pribadi sifatnya.
Fadjar meneruskan seni lukis nonfiguratifnya itu, sedangkan Srihadi kemudian kembali menghadirkan obyek, karena ia merasa begitu mudah menaburkan warna dan mencoretkan garis agar menjadi sebuah lukisan. Ia kembali mengisi kanvasnya dengan cerita, bukan lagi hanya garis dan warna. Ia membawa kita kembali menengok ke dunia yang diciptakan oleh Sang Mahapencipta (manusia, alam) atau karya besar manusia (Borobudur, kota). Ini semacam kebangkitan kembali obyek, tapi sudah dilandasi pengalaman non-obyektif. Landasan yang memberikan kebebasan untuk tak setia pada bentuk obyek demi menyuguhkan, misalnya pada lukisan penari-penari, gerak. Inilah semacam dunia sufi, yang memaknai benda sekadar sarana untuk hidup, agar benda itu tak menghalangi tujuan yang dianggap lebih bermakna—mencari jawab mengapa manusia dan alam semesta ada.
Karya-karya Davy Linggar, menurut saya, memberikan kesan proses kreatif yang sebaliknya dari Srihadi. Davy justru bertolak dari obyek, dari dunia, dan tak ada niat menghilangkannya. Sebab, pada benda atau obyek itulah ia menemukan ”dunia” yang mungkin ia cari. Dunia yang kontras (misalnya antara kaki dan cahaya dari jendela), dunia garis lengkung (betis dan paha, seluruh tubuh), dunia susunan kotak (foto gedung bertingkat).
Karya foto Davy mencerminkan kebebasan yang lain, yakni kebebasan untuk tetap setia pada obyek dan sekaligus ”melupakan”-nya. Ia mengajak kita bukan untuk melihat obyek, melainkan dunia ”lain” yang ada pada obyek itu. Obyek itu di mata Davy tak lagi sebagaimana obyek biasanya.
Bertolak dari karya foto polaroid inilah saya memahami lukisan-lukisan akrilik Davy Linggar. Ada yang berbeda antara karya foto dan karya lukisnya. Perbedaan itu terjadi karena proses terwujudnya kedua jenis karya seni rupa ini: yang satu tinggal ”klik” lalu selesai, yang satu lagi memerlukan serentetan proses kerja fisik.
Dan Davy tentunya menikmati kerja fisik itu. Ia menemukan keasyikan bermain-main dengan kuas dan cat, meski sebagaimana memfoto, proses melukisnya pun saya kira sudah atau hampir selesai dalam dirinya. Kalau ia tak menemukan keasyikan itu, mungkin ia hanya akan sibuk memfoto.
Sesungguhnya perupa ini memang memiliki dua keterampilan itu: melukis dan memfoto. Ia pernah belajar melukis di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (1993-1995) dan belajar fotografi di Universitaet Gesamthochschule Essen, Jerman (1995-1997). Pada karya-karya lukisnya yang dipamerkan ini tampaknya pengalaman meng-”klik” mempengaruhi benar proses melukisnya. Betapapun ia menemukan keasyikan menyapukan kuas, membuat blabar, ia ingin menyelesaikannya sebagaimana hanya ”klik” itu. Dan itu mungkin dilakukannya karena—seperti sudah disebutkan—sebenarnya proses kreatifnya telah selesai dalam dirinya. Hasilnya adalah lukisan-lukisan yang tanpa ”koreksi”: sekali sapu selesai. Menurut kurator pameran ini, Jim Supangkat, lukisan Davy ”membawa sifat-sifat sketsa: lukisan-lukisan dikerjakan dengan cepat”.
Namun perbedaan pada karya lukis dan fotonya bukan perbedaan substansial. Davy tetap saja bukan hendak merekam obyek, melainkan komposisi. Menurut saya, Davy menyapukan kuas, bukan digerakkan oleh emosi sebagaimana Srihadi Soedarsono. Atau, sementara Srihadi menyapukan kuas setelah ia ”menemukan” sesuatu yang hendak ia ”abadikan” pada kanvasnya (inilah proses yang melahirkan lukisan adalah jiwa tampak), Davy tidak demikian. Ia membuat lukisan seperti ia melihat dunia dari kamera polaroidnya, ia hendak ”mengabadikan” dunia komposisi.
Dari sudut inilah saya melihat bahwa lukisan Davy belum sepenuhnya komposisi. Obyek itu belum ”hilang” sebagaimana dalam karya fotonya. Pada karya-karya yang demikian ini, karena karyanya bukan ”jiwa tampak”, menurut kesan saya, karya lukisnya membawa sifat-sifat ilustrasi: karya yang hadir untuk ”mengiringi” karya yang lain. Bisa jadi karya lain pada lukisan Davy adalah karya fotonya. Boleh jadi, di bawah sadar, Davy melihat hal ini. Maka ia memerlukan sesuatu untuk mengguncangkan karya lukisnya agar menjadi lebih dari sekadar ilustrasi. Ia biarkan cat encer mengalir ke bawah, ndlewer, ”menodai” seluruh kanvas.
Lebih dari itu, Davy kemudian menciptakan karya ”lukisan foto” dalam ukuran besar. Proses ini mungkin dimulai dari Davy memotret, potret dibesarkan dan dilukisi, kemudian potret yang sudah dilukisi ini dipotret lagi, dan kemudian dicetak dalam ukuran besar. Proses itu bisa saja terbalik atau tak demikian; yang jelas, hasilnya adalah sebuah karya yang merekam dunia lebih sebagai susunan bidang buram, bukan rekaman obyek.
Alhasil, Davy tetap menghadirkan obyek nyata pada karya-karyanya, tapi gambaran (image) yang ditampilkannya bukan refleksi atau tiruan dari kenyataan. Dan ini bukan dilakukannya dengan cara ”lama”: menangkap kesan (seperti lukisan impresionistis), merekam emosi (seperti pada ekspresionistis), mendistorsi bentuk (seperti pada karya kubistis). Ia menangkap tanda-tanda dari obyek atau kenyataan dengan sekaligus ”menghilangkan” obyek dan substansinya. Secara kasatmata, yang tersaji adalah komposisi-komposisi yang bukan pada sendirinya memberikan rasa, melainkan sebuah komposisi yang mewakili kenyataan: sejumlah tanda.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo