Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejaras cahaya jingga seolah membelah langit ketika saya tiba di pucuk gunung, suatu pagi pada Maret lalu. Pucuk-pucuk cemara tegak di tepian kawah, hening dan berkilau keemasan dalam cahaya fajar. Di ketinggian 1.670 meter, angin dingin menderu menusuk tulang. Johannes Voda, 61 tahun, menyuguhkan secangkir kopi jahe hangat. Nikmatnya bukan main. Apalagi kerongkongan sudah kering setelah mendaki Gunung Kelimutu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo