SAAT Ibu Kota diguyur hujan Sabtu malam pekan lalu, waktu seolah berhenti di gedung Jakarta Hilton Convention Center. Sekitar seribu pasang mata yang mengisi sepertiga ruangan bekas KTT NonBlok X itu hening terpaku menatap Patti Cath cart Andress di panggung. Selama empat puluh lima menit ia bersama suaminya, gitaris Tuck Andress, menghipnotis lewat irama musik jazz, blues, dan A Cappela. My Romance, lagu pertama Patti, mengalir romantis lewat tenggorokan leher yang nyaris terbenam dalam tubuh seratus kilogramnya. Desah vokal mezzosoprannya yang ringan membuat Patti jadi berkesan mungil. Tapi itu tak lama. Saat melantunkan All The Love wanita berkulit hitam ini mendadak terasa bengkak kembali. Napas gospelblues memadati vokalnya. Nomor cepat ciptaannya itu memaksa penonton mengangguk-anggukkan kepala mengikuti rentak jazz yang lincah. Lalu tanpa buang tempo ia seret penonton ke Time After Time, yang dibawakan dengan gaya pengkhotbah yang diselang-selingi "doochakdoowah" ala A Cappela. Suasanapun, semakin marak. Cara menyanyi tanpa syair dan menginstrumenkan suara manusia ini -- dikenal sebagai A Cappela -- memang sangat dikuasai Patti. Itulah yang jadi daya tariknya ketika ia diajak Tuck Andress bergabung dalam sebuah band jazz di San Fransisco 14 tahun lalu. Setelah menikah tahun 1981, keduanya lalu mengembara dari bar ke bar di seantero AS. "Cari uang buat sekadar makan," kenang Patti sambil cekikikan di ruang ganti. Usaha merilis album juga mereka tempuh. Tapi itu tak mudah. Pada masa 1980-an para produser rekaman lebih gandrung pada synthesizer, padahal pasangan ini hanya mengandalkan vokal dan instrumen akustik. Tak banyak yang tahu album pertama mereka. Baru setelah album kedua, Love Warriors, Tuck & Patti dihujani permintaan rekaman dan pertunjukan di televisi. Sukses menyusul album selanjutnya, Dream dan Tears of Joy. Kini, sebagai kelompok musik jazz akustik, Tuck & Patti sejajar dengan Turtle Island String Quartet, kelompok musik gesek yang terkenal di AS. Tuck Andress adalah juga sebuah pesona. Kelincahan jemarinya dalam memetik gitar menempatkan Tuck sejajar dengan virtuoso Mark O'Connor, seorang violis-gitaris yang melegenda di AS. Seperti istrinya, Tuck menganut universalisme musik -- tidak sekadar solois gitar jazz saja. Dari gitaris jazz, seperti West Montgomery dan George Benson, sampai pemain siter tradisional-kontemporer India, Ravi Shankar, dianggap berpengaruh dalam permainannya. Begitu juga gitaris blues Jimmy Hendrix. Bahkan dalam lagu Wanna Whole Lotta Love, Tuck ikut mendampingi Jimmy Page, gitaris super grup rock Led Zeppelin. Tuck & Patti jadi bintang A Mild Jazz Fest malam itu. Padahal pihak promotor Prada Enterpro menempatkan mereka sebagai salah satu pembuka dalam pementasan kelompok Spyro Gyra. Memang, buat penggemar jazz di Indonesia, Spyro Gyra jauh lebih dikenal ketimbang Tuck & Patti. Penampilan Spyro Gyra dan Special EFX, kelompok satunya lagi, bukannya tidak bagus, tapi rasanya belum layak mendapat catatan khusus seperti Tuck & Patti. Spyro Gyra, yang didukung oleh enam musisi memang rapi, namun tanpa roh. Ia ganti samba dengan blues dalam nomor ciptaannya Don't Go. Meski ramai oleh rengekan melodi elektrik, akornya masih tergolong standar blues. Tetap tak ada surprise. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini