Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perhelatan seni berbasis teknologi Media Art Globale 2021.
Digelar secara daring dan luring.
PRESENTASI tersebut seperti kurang lazim. Di meja itu terserak bumbu dapur dan sayuran seperti cabai merah keriting, petai, tomat, terasi, jeruk nipis, bawang merah dan putih, serta terung. Namun susah untuk berprasangka si empunya bumbu, Utami Atasia Ishii, akan meraciknya menjadi sambal. Apalagi bahan-bahan tersebut terlihat disetrum dengan kabel-kabel yang terkoneksi ke mesin, laptop, dan pengeras suara. Di meja yang sama, ada pula mikroskop sebagai alat Utami menilik cabai dan empon-empon lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak lama setelah semua mesin dinyalakan, terdengar bebunyian yang seolah-olah muncul dari tempat nun jauh. Ada suara serupa denting beling, derik jangkrik, gelombang angin, dan sayup-sayup bisikan. Seolah-olah bumbu dapur dan sayuran tersebut sedang bertukar cerita. Sementara itu, di belakang punggung Utami, terpasang layar besar yang menyuguhkan tangkapan mikroskop atas satu per satu bumbu dapur. Utami menggabungkan suara dari bahan-bahan sambal tersebut dengan peranti lunak. “Musik itu saya rekam dan olah lagi untuk memperkaya atmosfer karya,” ujar lulusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut saat dihubungi pada Rabu, 15 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suguhan sambal digital itu menjadi bagian dari instalasi bertajuk How Do You Taste. Karya Utami satu dari enam kreasi yang unjuk gigi dalam festival seni berbasis teknologi Media Art Globale (MAG) 2021, yang tahun ini sudah ketiga kalinya digelar oleh Connected Art Platform. Pandemi Covid-19 membuat pameran berlangsung daring pada 8-19 September 2021 di situs MAG. Baru mulai 24 November hingga 5 Desember mendatang, pameran ini dihelat langsung di M Bloc Space, Jakarta, dan JNM Bloc, Yogyakarta.
Direktur Program dan Artistik MAG Mona Liem mengatakan pameran ini bersinergi dengan ekshibisi global Ars Electronica bertema “A New Digital Deal”, yang berpusat di Linz, Austria. Adapun untuk pameran di Indonesia, khususnya, spesifik ke tema “Infinity, an Adaptation Movement of Garden Indonesia”. “Kami berfokus pada apa yang Indonesia punya tapi tidak mereka miliki. Dalam hal ini, teknologi kita belum bersaing dengan negara lain, tapi ada kekayaan alam dan ragam kuliner yang bisa ditonjolkan,” katanya.
Karya instalasi Despora yang memadukan permainan ular tangga dan permaian digital masa kini. mediaartglobale.com
Dari situ, Mona memilih enam seniman untuk menggarap karya seni media terbaru atau new media art. Mereka adalah Utami Atasia Ishii, Despora dan Collective Concession, Widi Pangestu, Ady Setiawan dan Ratna Djuwita, Nantlab, serta URB-Sense. Keenamnya mengusung beragam isu, dari lingkungan dan perilaku manusia, kehidupan urban, peta mental virtual, eksistensi Internet, hingga permainan tradisional.
Jumlah seniman yang terlibat dalam pameran ini jauh lebih sedikit ketimbang pada festival pertama yang berlangsung di Teater Salihara, Jakarta Selatan, pada 2019. Ketika itu, 16 seniman Indonesia dan mancanegara memamerkan karya mengenai media sosial, gawai, dan interaksi virtual dengan tema “Transhuman Code”. Bukan hanya instalasi, ada pula virtual reality, video, juga augmented reality yang disuguhkan di sana. Sedangkan MAG 2020 yang bertema “Quantum Land” sepenuhnya berlangsung daring dengan melibatkan 21 seniman lokal dan internasional. Perkembangan situasi membuat penyelenggaraan festival tahun ini berlangsung secara hibrida.
Menurut Mona sebagai kurator, karya Utami menggambarkan paduan tradisi sajian kuliner dengan teknologi seni suara. Pilihan Utami untuk bermain-main dengan bahan sambal pun dianggapnya menarik. Itu karena Indonesia setidaknya punya lebih dari 300 sambal dengan latar sejarah masing-masing. Ide ini dikombinasikan Utami dengan mikroskop, benda yang sering menarik perhatian perempuan 25 tahun tersebut.
Dalam pameran Art Jog lalu pun Utami membuat lukisan yang terinspirasi tangkapan mikroskopis. Mikroskop, bagi dia, juga semacam media yang mengekspos visual dan menyuguhkan sudut pandang baru bagi audiens. Ada situasi romantis-kontemplatif saat menyusuri citraan yang lebih jelas dari obyek aslinya. Cabai yang kita identifikasi sebagai tumbuhan yang kebanyakan berwarna tunggal lahir kembali dalam wujud lebih eksentrik dan tak bisa ditebak. Efek bebunyian disengaja Utami untuk mengusik kesadaran audiens akan batas antara imaji dan realitas.
Sementara itu, Despora, yang beranggotakan tiga pengajar, Octavianus Frans, Emmanuel Putra, dan Budi Sriherlambang, berangkat dari eksistensi permainan tradisional ular naga yang makin tersisih oleh teknologi. Dulu ular naga menjadi dolanan primadona para bocah, kini ia tergantikan oleh permainan digital di gawai. Instalasi interaktif yang didesain Despora hendak memperkenalkan gagasan bahwa permainan tersebut, dalam sebuah komunal, dapat mengantarkan nilai kebersamaan, kerja keras, demokrasi, kepercayaan, dan kepemimpinan.
Widi Pangestu, yang mempresentasikan karya "Melting Landscape". mediaartglobale.com
Karena itu, mereka terpikir membuat instalasi yang memaksa audiens untuk berdiri, menggerakkan badan, dan berinteraksi. “Kami menyadari anak sekarang mungkin tak banyak yang melahap nilai-nilai itu dari permainan tradisional, tapi di sisi lain mereka harus bergerak dan beradaptasi,” ujar Budi, pengajar di Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
Lain halnya Widi Pangestu, yang mempresentasikan karya Melting Landscape. Ia bekerja dengan teknik paper making atau pembuatan kertas, yang digelutinya hampir empat tahun terakhir. Ia berfokus pada proses eksplorasi dalam pembuatan gambar dan obyek dengan memanfaatkan air dan zat aditif seperti karbon hitam dan kalsium karbonat. Keduanya disebut Widi dapat menjadi indikator dalam mendokumentasikan perubahan lingkungan. “Saya ingin menangkap momen geologis yang ada di lingkungan kita. Dalam proses pembuatan kertas, air dapat dianggap sebagai pusat dari semua proses, juga jejak material,” tuturnya.
Oleh Widi, zat itu dibekukan bersama air dan diletakkan pada permukaan serat selulosa (pulp). Pada suhu tertentu, es akan mencair. Itu menyebabkan komponen di dalamnya terlepas dan diserap serat selulosa di kertas. Proses inilah yang meninggalkan jejak material berbeda-beda sesuai dengan komponen gabungannya, Mengilustrasikan intensitas kerusakan, lahan yang sekarat, dan kehidupan yang menguap. Lenyap.
Jika kondisi memungkinkan dan aturan mengenai pandemi sudah lebih longgar, pameran ini akan digelar langsung di tiga ekosistem M Bloc, yakni di Pos Bloc Pasar Baru dan M Bloc Space, Jakarta, serta JNM Bloc, Yogyakarta . “Kami ingin bersama-sama dengan MAG mengeksplorasi seniman. Sebab, yang diidamkan M Bloc sejak awal adalah memberikan dukungan konkret kepada seniman dan membantu ekspor budaya kita ke luar negeri,” kata direktur program dan pendiri grup M Bloc, Wendi Putranto.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo