Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari itu seperti biasa saja. Warga Jakarta disambut seorang penyiar berita, memberi semangat untuk menjalani aktivitas mereka. Ada keluarga kecil bahagia di perkotaan. Ada pasangan kekasih yang menunda pernikahan karena karier.
Baca: Film 22 Menit, Heroisme Polisi Taklukkan Pelaku Bom Sarinah
Di sudut lain, ada adik kakak di perkampungan yang akan mencoba mencari pekerjaan. Ada yang sudah berselancar di jalan raya. Ada yang masih duduk-duduk di serambi rumahnya. Ada yang sudah sibuk dengan ponselnya. Kota yang padat dan terbiasa dengan segala hiruk pikuknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba sebuah ledakan muncul di sebuah kedai kopi. Di tengah kota, di ring 1 Istana Negara. Disusul ledakan berikutnya di sebuah pos polisi. Korban berjatuhan, sipil dan petugas kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita di atas adalah fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata. Demikian sutradara Eugene Pandji dan Myrna Paramita menekankan asal-usul cerita film 22 Menit.
Film yang terinspirasi dari Bom Sarinah dua tahun lalu itu, disebut keduanya hanya mengangkat sekitar 70 persen kisah nyata. Sisanya, tentu saja fiksi dan bumbu pelengkap cerita.
Bumbu-bumbu itulah yang akhirnya membuat kisah polisi melumpuhkan kelompok bersenjata yang meledakkan dua bangunan serta menembak dan menyandera masyarakat sipil jadi begitu gurih.
Film 22 Menit
Kisahnya berfokus pada Ardi, tokoh utama yang juga polisi. Ardi memimpin penangkapan kelompok penjahat di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat.
Sebagai tokoh utama yang memimpin penangkapan penjahat bersenjata api, sungguh lucu saat Ardi yang begitu heroik tak melindungi kepalanya sendiri. Apalagi saat ada ledakan di mobil yang begitu dekat dengan posisi ia berada. Ardi hanya mengalami sedikit pengang, tanpa luka. Tak lama ia sudah bergerak mengejar penjahat yang kabur.
22 Menit benar-benar menunjukkan aksi polisi yang sigap, penuh perhitungan. Dalam satu hitungan waktu semua bergerak, berpencar melumpuhkan pelaku pengeboman dan penembakan.
Dalam hitungan lain, semua berhasil dilumpuhkan. Dan saat itu juga laporan dari beberapa daerah berdatangan, beberapa jaringan pelaku juga berhasil ditangkap. Semuanya berlangsung dalam kurun 22 meit, hitungan waktu yang menginspirasi judul film ini.
Memang secara keseluruhan Eugene dan Myrna begitu hati-hati mengangkat tema film ini. Tak ada istilah teroris yang mereka gunakan dan ditodongkan kepada peran penjahat yang ditaklukkan polisi. Padahal selama ini, polisi kerap menggunakan istilah tersebut kala membekuk satuan pelaku kejahatan yang melakukan pengeboman di Tanah Air.
Teknik pengambilan gambar yang dilakukan pun asyik. Begitu dekat dan terasa nyata, seperti detail senjata yang digunakan, termasuk teknik CGI yang digunakan untuk melengkapi suasana peledakan bangunan.Ario Bayu. Tabloidbintang.com
Dari sisi pemeranan, Ario Bayu sebagai Ardi tampil begitu sempurna sebagai polisi. Tubuh tegap, suara tegas, sorot mata tajam melengkapi perannya sebagai anggota pasukan antiteror.
Ini bukan kali pertama bagi Ario memerankan tokoh polisi. Kisah Anas (Ence Bagus) office boy yang jadi korban pengeboman begitu menyentuh dan menjadi bumbu humanis dari cerita heroisme polisi ini.
Sayangnya, di film ini kisah beberapa tokoh yang dihadirkan tak cukup diperdalam. Beberapa hanya hadir numpang lewat atau sekadar ada ceritanya. Termasuk drama di keluarga Ardi sendiri. Atau kisah Firman (Ade Firman hakim) seorang polisi lalu lintas yang galau soal jadi-tak jadi menikah dengan kekasihnya. Apalagi kehadiran beberapa tokoh yang tak begitu signifikan dalam cerita ini.
Dialog-dialog yang hadir di sepanjang film nyaris semuanya hambar. Apalagi di antara para pelaku pengeboman yang hanya melotot sok jahat, menggeram, bergumam tak jelas. Sehingga untuk tahu apa motif dibalik para pelaku, tujuannya saja nihil diketahui. Seolah mereka hanya kelompok yang iseng datang meledakkan bom dan menembaki orang tanpa arah lalu dibekuk polisi.
Cara Eugene dan Myrna menyajikan cerita film 22 Menit dengan alur maju-mundur sebetulnya cukup menarik. Meskipun terkadang ada adegan yang membuat harus memastikan soal kecocokan waktu dengan adegan lainnya. Hal menarik pada akhirnya hanya dari sisi teknis dan bagaimana segala hal tentang aksi polisi bisa ditampilkan begitu detail. Tapi sisanya cukup luput dari konteks dan cerita yang lebih kuat lagi.