Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUTRADARA Theo van Gogh sedang bersepeda menuju kantornya di pusat Kota Amsterdam pada suatu pagi, sekitar 15 tahun lalu. Tiba-tiba pria 47 tahun yang masih sedarah dengan pelukis Vincent van Gogh itu ditembak dan ditusuk hingga menemui maut di atas trotoar oleh Mohammed Bouyeri, 26 tahun, seorang muslim Belanda-Maroko. Kematian Van Gogh adalah harga terlalu mahal yang harus dibayarnya karena membuat film pendek Submission, yang ditayangkan di stasiun televisi nasional Belanda dan dianggap melecehkan Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naskah film itu ditulis anggota parlemen Belanda asal Somalia, Ayaan Hirsi Ali, yang dikenal sebagai pengkritik Islam. Salah satu adegan yang menyulut kemarahan sejumlah muslim adalah penampakan potongan ayat Al-Quran di punggung telanjang seorang perempuan. Van Gogh dan Hirsi Ali menyatakan bahwa film itu bermaksud mengkritik ketidakadilan yang dialami perempuan dalam tradisi patriarki Islam. Namun penerimaan penonton tentu beragam. Yang paling ekstrem adalah Van Gogh layak dibunuh karena karyanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kematian Van Gogh karena membuat film adalah contoh paling menyedihkan dari dampak penciptaan sinema bertema agama. Nyaris ada saja kontroversi tiap sebuah film bertema agama dirilis ke publik, tak jarang hanya berdasarkan judul atau trailer pendek. Kontroversi atas trailer serial Messiah yang dirilis Netflix pada Desember 2019 adalah yang terbaru, kendati, setelah serialnya ditayangkan, ternyata tak begitu banyak protes terdengar. Pengamat sinema Hikmat Darmawan menyatakan topik agama memang riskan mengundang protes ketika diangkat baik dalam film maupun buku. Pada Messiah, misalnya, kontroversi terjadi karena, “Ceritanya masuk langsung ke jantung emosi kebanyakan orang tentang kepercayaan mereka,” kata Hikmat.
The Last Temptation of Christ
Pada 1976, lima hari sebelum premier film Mohammed, Messenger of God di West End, London, sebuah pesan ancaman dilayangkan ke bioskop. Sutradara film itu, Moustapha Akkad, terpaksa mengganti judul film menjadi The Messenger. Film ini dirilis secara bersamaan dalam versi bahasa Arab dan Inggris dengan dua set pemain berbeda. Versi bahasa Inggris dimainkan Anthony Quinn dan Irene Papas dan diganjar nominasi Best Original Score oleh Oscar. Sepanjang film, tak sekali pun sosok Muhammad ditampilkan, hal yang memang tabu dalam kepercayaan Islam. Meski begitu, protes tetap muncul dan film ini dilarang tayang di banyak negara berpenduduk muslim. Di Amerika Serikat, teror lebih hebat terjadi ketika kelompok militan nasional, Muslim Hanafi, menyerbu sejumlah gedung di Washington, DC, menyandera sejumlah orang selama tiga hari yang berujung pada tewasnya dua orang. Tuntutan mereka: batalkan penayangan film The Messenger karena dianggap menodai agama.
Film Martin Scorsese, The Last Temptation of Christ (1988), yang diadaptasi dari buku karya Nikos Kazantzakis yang berjudul sama juga berpolemik. Plotnya memang mengguncang. Kristus (Willem Dafoe) diceritakan memiliki karakteristik manusia biasa yang juga bergulat dengan godaan seperti ketakutan, kecemasan, termasuk hasrat seksual. Dia selamat dari penyaliban dan melanjutkan hidup sebagai manusia biasa, lalu menikahi Maria Magdalena (Barbara Hersheys). Adegan hubungan intim antara Kristus dan Maria Magdalena tak pelak lagi mengundang murka. Pengumuman besar-besaran bahwa film ini murni fiksi tak banyak berpengaruh. Kelompok Katolik membakar bioskop Saint Michel saat film ini sedang ditayangkan. Scorsese juga menerima ancaman pembunuhan sehingga harus menyewa bodyguard sampai beberapa tahun setelahnya.
Ada pula kasus berbeda tatkala sebuah film diterima positif oleh kelompok agama tertentu tapi malah menyinggung agama lain. Saat Mel Gibson membuat drama Bibel The Passion of the Christ (2004), yang bercerita tentang jam-jam terakhir kematian Yesus Kristus, umat Kristiani berbondong-bondong menontonnya, menjadikan film ini sebagai yang terlaris saat itu dengan pemasukan total US$ 600 juta. “Banyak orang yang menganggap menonton film ini sebagai bagian dari ibadah karena mereka dapat turut merasakan penderitaan Yesus,” ujar Hikmat.
Namun, di luar gedung bioskop, sejumlah orang Yahudi menggelar demonstrasi. The Passion dianggap menyuarakan pesan-pesan anti-Semitik. Selain lewat dialog dan penggambaran karakter dalam film, nuansa anti-Semitik dikaitkan dengan sejarah personal Mel Gibson yang diketahui pernah mabuk lalu menyebut umat Yahudi sebagai penyebab perang di seluruh dunia.
Indonesia juga punya sejarah panjang terkait dengan protes film. Pada 1980-an, terjadi demam film bertema sembilan wali, yang dimulai dengan Sunan Kalijaga pada 1983. Film itu meraup pemasukan Rp 1 miliar dan setahun setelahnya langsung dirilis tiga film bertema Wali Songo, yaitu Sembilan Wali, Sunan Kalijaga & Syech Siti Jenar, dan Sunan Gunung Jati. Produser muda kala itu, Ram Soraya, menyatakan film bertema agama selalu sukses. Namun, menurut Hikmat, film-film itu tetap menuai protes karena unsur sinkretismenya.
Adegan dalam film The Message./imdb
Pada 2000-an, Hanung Bramantyo menjadi salah satu sutradara yang produktif membuat film bertema agama dan produktif pula memanen kontroversi. Film ? (Tanda Tanya) menjadi bahan perbincangan panas pada 2011. Hanung sempat kesulitan mencari pendana untuk film ini karena plotnya mengangkat tentang pluralisme, istilah yang tak lama sebelumnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Film ini mendapat banyak pujian, tapi juga kemarahan dari kelompok tertentu. Mengambil latar di Semarang, Jawa Tengah, film ini menceritakan tiga keluarga beragama Kristen, Islam, dan Buddha yang berinteraksi dengan harmonis dan menghargai keyakinan masing-masing. Namun interaksi yang digambarkan dalam film ini dianggap sejumlah orang melanggar batas. Misalnya restoran Cina milik Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) yang menyajikan babi digambarkan mempekerjakan Menuk (Revalina S. Temat), seorang perempuan berkerudung. Atau Surya (Agus Kuncoro), seorang muslim, yang menerima peran berakting sebagai Yesus pada perayaan Nasrani. MUI dan Front Pembela Islam memprotes peredaran film ini. Saat salah satu stasiun TV swasta hendak menayangkan film ? pada hari Idul Fitri, ratusan orang berdemonstrasi di depan kantor stasiun TV itu hingga penayangan akhirnya dibatalkan.
The Message
Lima tahun berikutnya, Hanung menyutradarai film Perempuan Berkalung Sorban, yang lagi-lagi dianggap menyesatkan, bahkan berisi fitnah terhadap Islam. Cendekiawan muslim seperti Fitriani Aminudin, dosen di Universitas Islam Negeri Jakarta, dan Ali Mustofa Yakub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, turut menyuarakan kritik atas film yang dibintangi Revalina S. Temat dan Joshua Pandelaki itu. Musababnya, Joshua yang berperan sebagai Kiai Hanan melarang Anissa, anak perempuannya, menuntut ilmu dengan menyitir hadis sebagai landasannya. Ini dianggap fitnah karena Nabi Muhammad tak pernah membatasi perempuan. Film ini sebetulnya dapat memantik diskusi tentang seberapa jauh tradisi yang diyakini sebagai ajaran Islam dan tradisi patriarki saling mempengaruhi.
Meski tema agama dalam sinema selalu memantik debat panas hingga ancaman kekerasan, Hikmat menilai sudah sepatutnya sebuah karya seni membuat orang berpikir ulang dan menciptakan percakapan. “Ada kemarahan dan perdebatan panas karena zaman sekarang memang semua diributkan. Siapa saja bisa terbakar,” kata Hikmat.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo