WABAH Saturday Night Fever, pertunjukan musik kesohor dalam
dunia pop Barat, yang disebar John Travolta si Raja, Disko,
melanda dunia anak muda kita akhir-akhir ini. Dibarengi naiknya
kembali grup musik Bee Gees yang berhasil memberi corak baru
pada lagu-lagu disko yang digoyangkan Travolta itu -- dengan
gayanya yang sama sekali baru dan bikin demam. Termasuk Guruh
Sukarno dirasuki pengaruh ini.
Kegandrungan pada tokoh pop itu menyebabkan riuhnya kamar para
muda dengan lagu disko. Dan ketika terdengar pertunjukan musik
SNF dibikin film, mereka pun menunggu film itu masuk dan diputar
disini, dengan gemas. Tapi film tak kunjung datang, padahal di
Singapura sudah lama beredar. Lalu, ketika tiba-tiba video
kasetnya muncul, serentak disikat, jadi rebutan.
Ekonomis
Sejak itu -- meskipun banyak orang memiliki Video Tape Recorder
(VTR) sudah sejak 2 tahun lalu -- video kase dan VTR-nya tentu
sangat populer di kalangan tertentu muda-remaja kita. Mulai
pelajar SLP sampai mahasiswa di kalangan ini mengenal dan pernah
menontonnya, khususnya mereka yang tinggal di kota-kota besar,
tempat orang kaya bermukim. Sebab toh hanya orang kaya yang
sanggup membeli VTR yang harganya sekitar Rp 1 juta, ditambah TV
berwarna -- alat pemancar gambarnya -- dengan harga separohnya.
Bagi pecandu film di Jakara, konon memiliki VTR plus
pelengkapnya seperti TV berwarna dan video kasetnya (kosong
sekitar Rp 15.000 isi sekitar 40.000 sebiji) justru terasa lebih
ekonomis. Alasannya?
Pertama, kalau hendak menonton film baru, yang biasanya diputar
di bioskop klas satu dulu (dan mereka tak sabar sampai film
diputar di bioskop kelas dua), dengan karcis Rp 3-7 ribu, lagi
pula biasanya mereka tidak nonton sendirian, berapa uang yang
harus dikeluarkan dalam sebulan? Sedang, dengan membeli video
kasetnya, ia bisa nonton dengan santai di rumah bersama keluarga
ataupun teman-teman. Dan bisa diputar lagi kapan diinginkan.
Kedua, banyak film yang tidak/belum masuk sini atau tidak/belum
lolos sensor, bisa diperoleh. Ketiga, yang doyan film porno atau
setengah porno, yang biasanya kena gunting BSF, bisa dipuaskan
nafsunya. Kecuali itu pemilik VTR bisa merekam acara atau film
yang disiarkan TVRI yang disukai -- meskipun jarang ada.
Tapi di Surabaya, video kaset konon kurang begitu laku. Apalagi
karena yang banyak beredar di sana video kaset hasil rekaman TV
Hongkong. Porno, tidak? Menurut pemilik toko di Tunjungan,
sebagaimana dikatakannya kepala Dahlan Iskan dari TEMPO, "film
Indonesia jauh lebih berani."
Yang paling menarik perhatian remaja -- maupun tua, bagi yang
mau -- tentunya memang terbukanya kesempatan menonton film biru
--yang menurut beberapa sumber TEMPO gampang didapat dan tanpa
sensor. Misalnya Emmanuelle I, II, III, Detroit dan Deep Throat.
Juga Last Tango in Paris.
Benarkah para remaja kita nonton film gituan? Cewek-cewek klas 1
SMA yang papi dan maminya menyimpan film tersebut di lemarinya,
dan ditanya TEMPO, cuma cekikikan. "Dih, jorok deh ! " komentar
mereka. Di mana mereka nonton? "Di rumah teman. Di rumah sih
nggak boleh. Tahu sendiri, mami sama papi 'kan rajin mengaji,"
kata seorang cowok, klas III SMA. "Film begituan cuma buat
mereka. Diumpetin!" lanjutnya. Tapi toh mereka bisa menontonnya
di rumah teman. Dan cowok itu ketawa, merasa lucu.
Jadi, film itu betul tidak disensor? "Kalau disensor, nggak lucu
lagi dong!" komentar seorang mahasiswa. "Kita mau nonton
apanya?"
Ketua Pelaksana Badan Sensor Film, Soemarmo, menjawab pertanyaan
Abdul Muthalib dari TEMPO: "Sekarang ini sudah beredar kira-kira
4 ribu video kaset dan semuanya tidak melalui sensor. " Jadi
benar. "Padahal kita tahun 1975 sudah kasih peringatan pada
beberapa instansi." Dan sesudah film-film itu terlanjur beredar,
Soemarmo tak punya daya.
Disewakan
"Kita tak mungkin mengejar-ngejar pemilik VTR. Tenaga dan
biayanya tak tersedia," keluhnya. Jadi semua itu akan dibiarkan
saja sampai keadaan lebih terlanjur? Untunglah tidak -- meski
Soemarmo mengaku: "Sekarang ini belum sembodo, belum patut kita
bertindak, sebab belum punya persiapan yang jelas. Segala
sesuatunya sedang kita rumuskan."
Yang sudah jelas, di Singapura dan Pilipina, menurut Soemarmo,
video kaset diperlakukan sama dengan film biasa. Sejak di
pabean, sensor sudah dilakukan. Yang perlu disensor, ditahan
dulu. Sesudah itu baru dikembalikan kepada pemiliknya.
Tapi di sini, sementara BSF/Deppen sibuk dengan rumusan, video
kaset beredar terus dengan aman. Dan ternyata, sebagaimana
dikatakan seorang gadis, "sekarang 'kan banyak yang menyewakan
film video. Jadi nggak bakalan susah nyarinya." Tapi, meskipun
dibilang banyak, yang tak punya VTR jangan harap bisa tahu siapa
dan di mana alamat orang yang menyewakan itu.
Biasanya, penjual VTR mencatat alamat orang yang beli -- lalu
kontak dengan pemilik film. Keesokan harinya seseorang akan
datang ke alamat si pembeli VTR dan menyodorkan daftar film.
Dengan membayar uang sewa Rp 60 ribu per bulan, penyewa
memperoleh 16 judul film. Diberikan 4 judul setiap minggu,
sesuai dengan pesanan.
Tapi ternyata tidak semua pemilik VTR menyewa langsung. Sebab
umumnya terjadi barter antara mereka, baik yang saling mengenal
baik pun yang kenal secara tak langsung: mereka meminjam dari
tangan kedua atau ketiga. Dari 10 pemilik VTR yang dihubungi
TEMPO, ternyata cuma 1 yang langsung menyewa -- yang segera
setelah menontonnya, menyebarkannya pada teman-teman sampai
habis masa sewa seminggu, untuk kemudian dikembalikan pada
pemiliknya dan ditukar dengan film lain. Lebih-lebih film musik
semacam SNF dan Greese yang ditokohi Travolta itu.
VTR telah menjadi mode atau semacam barang mainan baru kaum
elite termasuk anak-anaknya -- setelah TV berwarna, Radio CB
yang dipasang di mobil dan skate board -- yang sudah dianggap
"kampungan" sekarang. Dan para produser/importir film serta
pemilik bioskop -- meskipun tak sekeras BSF-mulai terdengar
mengeluh, khawatir publiknya berkurang. Sebab 'kan banyak film
yang beredar lebih dulu lewat kaset video sebelum diputar di
bioskop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini