Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Film-film tanpa sensor

Video tape sudah melanda kota-kota besar. banyak film yang belum diputar di bioskop sudah dapat dilihat oleh remaja tanpa sensor, juga film biru. bsf belum bisa bertindak. (fl)

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WABAH Saturday Night Fever, pertunjukan musik kesohor dalam dunia pop Barat, yang disebar John Travolta si Raja, Disko, melanda dunia anak muda kita akhir-akhir ini. Dibarengi naiknya kembali grup musik Bee Gees yang berhasil memberi corak baru pada lagu-lagu disko yang digoyangkan Travolta itu -- dengan gayanya yang sama sekali baru dan bikin demam. Termasuk Guruh Sukarno dirasuki pengaruh ini. Kegandrungan pada tokoh pop itu menyebabkan riuhnya kamar para muda dengan lagu disko. Dan ketika terdengar pertunjukan musik SNF dibikin film, mereka pun menunggu film itu masuk dan diputar disini, dengan gemas. Tapi film tak kunjung datang, padahal di Singapura sudah lama beredar. Lalu, ketika tiba-tiba video kasetnya muncul, serentak disikat, jadi rebutan. Ekonomis Sejak itu -- meskipun banyak orang memiliki Video Tape Recorder (VTR) sudah sejak 2 tahun lalu -- video kase dan VTR-nya tentu sangat populer di kalangan tertentu muda-remaja kita. Mulai pelajar SLP sampai mahasiswa di kalangan ini mengenal dan pernah menontonnya, khususnya mereka yang tinggal di kota-kota besar, tempat orang kaya bermukim. Sebab toh hanya orang kaya yang sanggup membeli VTR yang harganya sekitar Rp 1 juta, ditambah TV berwarna -- alat pemancar gambarnya -- dengan harga separohnya. Bagi pecandu film di Jakara, konon memiliki VTR plus pelengkapnya seperti TV berwarna dan video kasetnya (kosong sekitar Rp 15.000 isi sekitar 40.000 sebiji) justru terasa lebih ekonomis. Alasannya? Pertama, kalau hendak menonton film baru, yang biasanya diputar di bioskop klas satu dulu (dan mereka tak sabar sampai film diputar di bioskop kelas dua), dengan karcis Rp 3-7 ribu, lagi pula biasanya mereka tidak nonton sendirian, berapa uang yang harus dikeluarkan dalam sebulan? Sedang, dengan membeli video kasetnya, ia bisa nonton dengan santai di rumah bersama keluarga ataupun teman-teman. Dan bisa diputar lagi kapan diinginkan. Kedua, banyak film yang tidak/belum masuk sini atau tidak/belum lolos sensor, bisa diperoleh. Ketiga, yang doyan film porno atau setengah porno, yang biasanya kena gunting BSF, bisa dipuaskan nafsunya. Kecuali itu pemilik VTR bisa merekam acara atau film yang disiarkan TVRI yang disukai -- meskipun jarang ada. Tapi di Surabaya, video kaset konon kurang begitu laku. Apalagi karena yang banyak beredar di sana video kaset hasil rekaman TV Hongkong. Porno, tidak? Menurut pemilik toko di Tunjungan, sebagaimana dikatakannya kepala Dahlan Iskan dari TEMPO, "film Indonesia jauh lebih berani." Yang paling menarik perhatian remaja -- maupun tua, bagi yang mau -- tentunya memang terbukanya kesempatan menonton film biru --yang menurut beberapa sumber TEMPO gampang didapat dan tanpa sensor. Misalnya Emmanuelle I, II, III, Detroit dan Deep Throat. Juga Last Tango in Paris. Benarkah para remaja kita nonton film gituan? Cewek-cewek klas 1 SMA yang papi dan maminya menyimpan film tersebut di lemarinya, dan ditanya TEMPO, cuma cekikikan. "Dih, jorok deh ! " komentar mereka. Di mana mereka nonton? "Di rumah teman. Di rumah sih nggak boleh. Tahu sendiri, mami sama papi 'kan rajin mengaji," kata seorang cowok, klas III SMA. "Film begituan cuma buat mereka. Diumpetin!" lanjutnya. Tapi toh mereka bisa menontonnya di rumah teman. Dan cowok itu ketawa, merasa lucu. Jadi, film itu betul tidak disensor? "Kalau disensor, nggak lucu lagi dong!" komentar seorang mahasiswa. "Kita mau nonton apanya?" Ketua Pelaksana Badan Sensor Film, Soemarmo, menjawab pertanyaan Abdul Muthalib dari TEMPO: "Sekarang ini sudah beredar kira-kira 4 ribu video kaset dan semuanya tidak melalui sensor. " Jadi benar. "Padahal kita tahun 1975 sudah kasih peringatan pada beberapa instansi." Dan sesudah film-film itu terlanjur beredar, Soemarmo tak punya daya. Disewakan "Kita tak mungkin mengejar-ngejar pemilik VTR. Tenaga dan biayanya tak tersedia," keluhnya. Jadi semua itu akan dibiarkan saja sampai keadaan lebih terlanjur? Untunglah tidak -- meski Soemarmo mengaku: "Sekarang ini belum sembodo, belum patut kita bertindak, sebab belum punya persiapan yang jelas. Segala sesuatunya sedang kita rumuskan." Yang sudah jelas, di Singapura dan Pilipina, menurut Soemarmo, video kaset diperlakukan sama dengan film biasa. Sejak di pabean, sensor sudah dilakukan. Yang perlu disensor, ditahan dulu. Sesudah itu baru dikembalikan kepada pemiliknya. Tapi di sini, sementara BSF/Deppen sibuk dengan rumusan, video kaset beredar terus dengan aman. Dan ternyata, sebagaimana dikatakan seorang gadis, "sekarang 'kan banyak yang menyewakan film video. Jadi nggak bakalan susah nyarinya." Tapi, meskipun dibilang banyak, yang tak punya VTR jangan harap bisa tahu siapa dan di mana alamat orang yang menyewakan itu. Biasanya, penjual VTR mencatat alamat orang yang beli -- lalu kontak dengan pemilik film. Keesokan harinya seseorang akan datang ke alamat si pembeli VTR dan menyodorkan daftar film. Dengan membayar uang sewa Rp 60 ribu per bulan, penyewa memperoleh 16 judul film. Diberikan 4 judul setiap minggu, sesuai dengan pesanan. Tapi ternyata tidak semua pemilik VTR menyewa langsung. Sebab umumnya terjadi barter antara mereka, baik yang saling mengenal baik pun yang kenal secara tak langsung: mereka meminjam dari tangan kedua atau ketiga. Dari 10 pemilik VTR yang dihubungi TEMPO, ternyata cuma 1 yang langsung menyewa -- yang segera setelah menontonnya, menyebarkannya pada teman-teman sampai habis masa sewa seminggu, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya dan ditukar dengan film lain. Lebih-lebih film musik semacam SNF dan Greese yang ditokohi Travolta itu. VTR telah menjadi mode atau semacam barang mainan baru kaum elite termasuk anak-anaknya -- setelah TV berwarna, Radio CB yang dipasang di mobil dan skate board -- yang sudah dianggap "kampungan" sekarang. Dan para produser/importir film serta pemilik bioskop -- meskipun tak sekeras BSF-mulai terdengar mengeluh, khawatir publiknya berkurang. Sebab 'kan banyak film yang beredar lebih dulu lewat kaset video sebelum diputar di bioskop.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus