Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rurouni Kenshin diangkat dari serial manga terkenal berjudul sama karya Nobuhiro Watsuki.
Film tentang seorang pengelana Kenshin yang tak terkalahkan.
Ditayangkan di platform Netflix.
DIA adalah seorang pengelana. Bertubuh ramping dan berwajah lancip tampan dengan codet huruf X di pipi, sang pengelana selalu bertutur halus dengan suara lirih. Namun, ketika pedang panjangnya menebas berpuluh lawan, para saksi percaya dan berkesimpulan bahwa dia mempunyai kekuatan supernatural tak terkalahkan. Di dunianya yang baru, pengelana itu dikenal dengan nama baru pula: Himura Kenshin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlahan-lahan sutradara memberitahukan masa lalu sang pengelana sebagai pembunuh berdarah dingin bernama Hitokiri Battōsai (diperankan oleh aktor Takeru Satoh dengan bagus sekali). Film yang dibuat berdasarkan serial manga populer ini bermula pada 1868 di Jepang, ketika perang saudara sudah hampir berakhir. Ini adalah sebuah masa transisi ketika banyak samurai merasa kekuasaan mereka mulai karatan karena Jepang memutuskan memasuki era modernisme, yang disebut Kenshin sebagai “the new age”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Takeru Satoh dalam Rurouni Kenshin: Origins
Pada babak pertama film Rurouni Kenshin: Origins, kita diperkenalkan ke bagaimana Kenshin baru saja selesai berpartisipasi dalam perang Toba-Fushimi yang menjadi pertanda usainya era Shogun Tokugawa. Kenshin melempar pedang panjangnya karena bersumpah tak akan lagi menjadi Hitokiri Battōsai si pembunuh, meski sesekali dia masih menghantam para begal yang merampok penduduk.
Syahdan, untuk beberapa saat, Kenshin hidup tenang di sebuah kampung kecil di Kyoto dengan penduduk setempat, menikmati pawai, berbelanja makanan pinggir jalan, sesuai dengan cita-citanya: Jepang modern di Zaman Baru. Namun, di masa transisi itu, banyak bandit berkeliaran: bandit yang mengenakan jas dan berjualan opium serta menggetok batok kepala orang dengan santai; bandit berbaju samurai; juga anak buah bandit berkostum ganjil dengan aneka rupa topeng. Bandit itu didukung banyak samurai yang antimodernisme karena mereka merasa perannya terkikis zaman.
Para bandit meninggalkan mayat lawan di sana-sini sehingga nama Battōsai yang sudah telanjur menjadi mitos sebagai si pembunuh berdarah dingin selalu saja dikaitkan dengan mayat-mayat itu. Ketika mayat seorang polisi yang tengah menyamar ditemukan tewas, para detektif menyimpulkan itu ulah Battōsai. Bos polisi Saitō Hajime (Yōsuke Eguchi) membantah dugaan anak buahnya: “Battōsai selalu meninggalkan pesan tertulis kepada korban.”
Takeru Satoh dalam Rurouni Kenshin: Begining. Warner Bros/Netlfix
Kenshin alias Battōsai, yang nama dan posternya disebar di mana-mana, terkejut melihat lukisan wajahnya terpampang di koran dinding. Dia merasa perlahan-lahan masa lalunya merayap dan akan meringkusnya. Kenshin juga tahu, pada masa pertobatannya, dia harus ikhlas jika kelak tewas di tangan mereka yang masih menaruh dendam kepadanya.
Apa yang disebut “Origins” dalam judul film pertama Kenshin ini sebetulnya bukanlah awal dari segalanya. Di dunia layar lebar, kisah Kenshin dimulai dari “tengah” cerita, ketika Kenshin sudah ingin bertobat dan membawa segenap sejarah yang berdarah di pundaknya. Kenshin yang biasa murung dan mendung tampak bahagia hanya setiap kali berada di antara tetangga di desa merayakan pelbagai festival bersama gadis manis Kamiya Kaoru pemilik studio Kendo.
Maka film berikutnya, Rurouni Kenshin: The Final, adalah episode saat Kenshin benar-benar menemukan musuh yang setara dengannya. Sementara dalam Origins dan The Beginning Kenshin yang bertubuh langsing seolah-olah bisa “terbang”, berjingkat dari dinding ke dinding, dari atap ke atap, menerabas semua kepala penjahat, dalam The Final, Kenshin berhadapan dengan Yukishiro Enishi, yang tak bisa kita sebut si jahat karena ia sekadar membalas dendam atas kejadian yang menimpa keluarganya.
Ada dua tema penting dalam film-film Rurouni Kenshin: pertobatan dan antidendam. Kenshin tahu, meski dia mencoba menjalani kehidupan “rakyat biasa” dan berjanji tak menggunakan pedangnya lagi sebagai warga sipil, masa lalunya terus berkejaran dengan impiannya untuk hidup damai.
Mackenyu Arata dalam Rurouni Kenshin: The Final. Warner Bros/Netflix
Kenshin sadar betul, saat bernama Battōsai, dia membunuh orang-orang yang dianggap sebagai angka saja. Belakangan, dia sadar bahwa “angka” itu adalah orang yang menjadi bagian dari suatu keluarga.
Ini mungkin tema yang cukup “biasa” di dunia martial art, baik dalam bentuk manga, animasi, maupun film adaptasi. Yang membuat film ini istimewa adalah kita tak sekadar melihat Kenshin sebagai sesosok jagoan dahsyat yang bisa menghabiskan puluhan, bahkan ratusan musuh. Kita juga kita menyaksikan Kenshin sebagai manusia: seseorang yang bertobat; lelaki yang jatuh cinta dan karena cinta pula akhirnya menemukan takdirnya.
Dalam serial manga dan animasi, begitu banyak tokoh muncul. Sedangkan dalam film layar lebar, penulis skenario Kiyomi Fujii dan Keishi Ōtomo mencukur begitu banyak karakter. Tak mudah menyeleksi tokoh-tokoh itu karena semuanya memiliki keunikan masing-masing. Tapi paling tidak, dalam trilogi yang ditayangkan Netflix, jagat Kenshin adalah jagat yang meyakinkan penonton. Baik Kenshin maupun musuh-musuhnya, termasuk segala peristiwa sejarah dan politik sebagai latar belakangnya, terasa organik.
Keistimewaan lain tentu saja kerja kamera yang menggarap segala dinamika gerakan tubuh Kenshin yang luwes dan gerak pedangnya yang seolah-olah memiliki roh sendiri. Saya rasa adegan duel panjang Kenshin melawan Enishi adalah salah satu adegan pertarungan pedang terdahsyat di antara semua film martial art.
Film-film Kenshin sudah menaikkan standar martial art bukan hanya karena koreografi perkelahian yang luar biasa, tapi juga lantaran karakterisasi Kenshin dan tokoh-tokoh di sekitarnya yang tetap terasa dekat dan hidup.
Netflix
RUROUNI KENSHIN
Sutradara: Keishi Ōtomo
Penulis skenario: Kiyomi Fujii dan Keishi Ōtomo
Berdasarkan serial manga berjudul sama karya Nobuhiro Watsuki
Pemain: Takeru Satoh, Emi Takei
Produksi: Warner Bros
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo