Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mati-matian Melahirkan Jawara Badminton

Kemenangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo 2020 menjadi kabar menggembirakan bagi Perkumpulan Bulutangkis Jaya Raya. Bagaimana sistem pembinaan klub badminton hingga melahirkan juara?

11 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kisah PB Jaya Raya melahirkan juara dunia.

  • Resep pembinaan atlet bulu tangkis di PB Jaya Raya.

  • Riwayat PB Jaya Raya hingga melahirkan juara seperti Greysia Polii dan Apriyani Rahayu.

AZZAHRA Melani Arjisetya berusia 14 tahun ketika dia berhasil menyabet peringkat kedua tunggal putri dalam Sirkuit Nasional 2019 di Madiun, Jawa Timur. Kejuaraan ini adalah agenda penting dalam perbulutangkisan Indonesia karena dipakai sebagai tolok ukur pembinaan atlet muda badminton. Begitu menjadi salah satu pemuncak dalam kejuaraan itu, Azzahra langsung ditawari bergabung dengan Perkumpulan Bulutangkis (PB) Jaya Raya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tawaran yang tentu tak dia biarkan lepas. “Sistem latihan yang diberikan Jaya Raya kepada kami sebagai atlet keren banget,” kata pemain kelahiran 24 Mei 2005 itu di Gelanggang Olahraga PB Jaya Raya, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Rabu, 8 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azzahra adalah satu dari 44 atlet binaan Jaya Raya yang telah kembali berlatih di Bintaro pada masa pandemi. Sebelumnya, atlet-atlet klub ini dipulangkan ke kota masing-masing sepanjang September 2020 hingga Maret lalu. Masih ada sekitar 50 pemain lain yang belum kembali ke pusat pelatihan itu. “Sebenarnya yang 50 persen sudah mau dipanggil juga sejak Juli lalu, tapi tiba-tiba ada PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat), enggak jadi,” ujar Imelda Wigoena, Ketua Harian PB Jaya Raya yang juga pemain ganda putri nasional pada 1970-an.

Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wigoeno di PB Jaya Raya, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, 8 September 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Jaya Raya adalah salah satu klub paling disegani di olahraga tepok bulu Tanah Air. Tahun ini klub yang digagas oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu mencapai usia 45 tahun dan sekali lagi menorehkan prestasi bergengsi.

Dua atlet binaan Jaya Raya, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, meraih medali emas untuk Indonesia dari nomor ganda putri cabang bulu tangkis di Olimpiade Tokyo 2020, Agustus lalu. Menaklukkan pasangan Cina, Chen Qing Chen/Jia Yi Fan, dalam dua set langsung, Greysia dan Apriyani mencetak sejarah sebagai peraih medali emas pertama untuk ganda putri sejak cabang badminton diikutkan dalam Olimpiade 1992 di Barcelona.

Bagi Jaya Raya, emas yang didapatkan Greysia dan Apriyani menjadi emas Olimpiade keempat yang diraih alumnus mereka. Pemain klub tersebut yang pernah meraih prestasi setinggi ini adalah Susy Susanti di Olimpiade Barcelona 1992, Candra Wijaya/Tony Gunawan di Olimpiade Sydney 2000, dan Markis Kido/Hendra Gunawan di Olimpiade Beijing 2008.

Selain itu, pemain asal Jaya Raya telah menyumbangkan 9 medali emas kejuaraan dunia bulu tangkis, 13 gelar juara All England, 8 emas Asian Games, dan deretan prestasi lain untuk Indonesia.

•••

MEDALI dan piala itu tentu tak jatuh begitu saja dari langit. PB Jaya Raya menanam benih jauh sedari hulu lewat pengkaderan dan pembinaan pemain sejak dini. Trik pencarian bibit unggul yang cukup membedakan Jaya Raya dengan klub lain adalah jalinan afiliasi dengan klub-klub satelit. “Untuk sistem rekrutmen, saat ini kami mengandalkan sistem promosi dari klub satelit yang tersebar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara,” ucap Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wigoena.

Jaya Raya tak begitu saja menyerahkan pemantauan pemain potensial kepada klub satelit. Menurut Imelda, tanggung jawab terbesar pencarian bakat-bakat menjanjikan itu diemban pelatih Jaya Raya, yang kini berjumlah 18 orang. Tak jarang para pelatih datang langsung ke klub-klub satelit di daerah untuk berburu pemain potensial.

Suasana latihan para atlet di klub badminton PB Jaya Raya, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, 8 September 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Klub satelit berfokus pada pembinaan anak usia dini hingga usia lulus sekolah dasar. Selanjutnya, para pemain belia itu dapat mengikuti seleksi untuk memperoleh beasiswa ikatan dinas dari Sekolah Bulutangkis Jaya Raya. “Kami mengambil atlet-atlet terbaik dari tiap satelit untuk dipromosikan ke pusat, di Jaya Raya Bintaro,” kata Imelda, yang juga mantan pemain ganda putri sekaligus ganda campuran.

Sejumlah pemain yang ditemui Tempo di Bintaro menyatakan mereka termasuk yang sudah dipantau pelatih Jaya Raya sejak masih di klub. “Ketika ditawari bergabung, saya langsung join karena Jaya Raya memiliki fasilitas bagus dan variasi latihannya enggak bikin bosan,” ujar Chelsea Putri Mairera Sensa, salah satu pemain binaan Jaya Raya.

Salah satu klub satelit terbaru adalah PB Jaya Raya Solo, Jawa Tengah, yang berdiri pada Juni 2018. Meski usia klub itu tergolong paling muda, atlet-atletnya ada yang berhasil menembus level nasional. Begitu pula atlet dari PB Jaya Raya Abadi Probolinggo, Jawa Timur, yang telah melahirkan Sri Fatmawati. Pada 2019, Sri menjadi juara tunggal putri di Bahrain International Series. Klub Probolinggo membina sekitar 70 atlet usia 7-17 tahun.

Suasana latihan para atlet di klub badminton PB Jaya Raya, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, 8 September 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Selain bekerja sama dengan klub satelit, Jaya Raya mengembangkan beragam strategi pembibitan dan perekrutan pemain. Misalnya dengan memberikan sosialisasi manual latihan kepada klub-klub kecil daerah. Manual ini meliputi kriteria dan standar pengukuran kemampuan atlet anak-anak. Pelatihan juga diberikan kepada orang tua pemain muda agar dapat mendampingi langsung perkembangan keterampilan anak-anak mereka.

Imelda juga menginisiasi kejuaraan home tournament yang mempertemukan atlet-atlet belia dari Jaya Raya dan semua klub satelitnya. Kejuaraan ini digelar setiap tahun untuk memantau perkembangan talenta baru. Para pemenang kejuaraan diberi kesempatan bertanding di kejuaraan luar negeri, seperti di Thailand dan Singapura. Selain itu, mereka diboyong ke Bintaro.

Gelanggang Olahraga Jaya Raya di Bintaro menjadi pusat pelatihan Jaya Raya sejak 2016, setelah Gedung Bulutangkis Rudy Hartono di Ragunan, Jakarta Selatan, terasa tak mencukupi lagi. Diresmikan bertepatan dengan ulang tahun ke-40 Jaya Raya, arena Bintaro dibangun di atas lahan 1,3 hektare dengan 16 lapangan bulu tangkis dan tribun berkapasitas 500 penonton. Gelanggang ini juga dilengkapi dengan jogging track sepanjang 200 meter, gym, perpustakaan, ruang media, hingga kantin.

Asrama untuk atlet terdiri atas 50 kamar tidur yang dapat menampung 132 orang. Di kompleks ini juga berdiri Sekolah Bulutangkis Jaya Raya untuk tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Kehadiran sekolah ini memastikan para atlet tetap berkesempatan mengenyam pendidikan formal di luar menekuni program pembinaan atlet profesional.

Menurut Imelda, klub ini disokong penuh oleh perusahaan properti PT Pembangunan Jaya. Kucuran dana itu dipakai untuk program pelatihan pemain, biaya mengirim atlet ke pertandingan internasional, dan menyediakan guru-guru untuk pendidikan formal. “Memang pembiayaan terbesar berasal dari dana CSR (corporate social responsibility) PT Pembangunan Jaya, tapi ada juga dari sponsor seperti Yonex,” tutur Imelda.

•••

KELAHIRAN PB Jaya Raya dipicu oleh kemenangan berturut-turut Rudy Hartono di All England sepanjang 1968-1974. Tujuh gelar beruntun tersebut tak ingin disia-siakan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Sebelumnya, Ali memberikan mandat kepada pengusaha properti Ir Ciputra untuk berfokus membina sejumlah cabang olahraga.

Dalam video yang dirilis kanal YouTube Jaya Raya pada peringatan ulang tahun ke-45, (almarhum) Ciputra mengenang bagaimana Ali Sadikin meminta bantuannya untuk meningkatkan prestasi cabang atletik dan sepak bola Indonesia yang tertinggal jauh. “Saya menjawab secara spontan, kalau untuk dua olahraga itu kita tidak bisa menjadi juara dunia. Tapi ada satu olahraga yang kita bisa jadi juara dunia, yaitu bulu tangkis. Wah, dia tertarik. Itulah sejarah pertama saya mulai berkecimpung,” ujar Ciputra dalam wawancara itu.

Gedung latihan tempat para atlet PB Jaya Raya berlatih, di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, 8 September 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

PB Jaya Raya resmi berdiri pada 26 Juli 1976 dengan Rudy Hartono sebagai ketua merangkap pemimpin bidang teknik. Bergabung pula Retno Kustiyah sebagai sekretaris, bendahara, dan pelatih. Dalam buku 40 Tahun PB Jaya Raya: Tidak Pernah Henti Lahirkan Juara diceritakan bahwa klub belia ini mula-mula berlatih di Gelanggang Olahraga Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan. Beberapa bulan kemudian, barulah mereka dapat menggunakan GOR Ragunan, yang saat itu baru diresmikan.

Meski Jaya Raya baru berdiri, anggotanya sudah mencapai puluhan. Para pemain harus bergantian menggunakan tiga lapangan yang tersedia dengan fokus utama membenahi keterampilan dasar. “Ketika pertama kali klub Jaya Raya dibuka, anggotanya memang banyak,” ucap Retno Kustiyah dalam buku 40 Tahun PB Jaya Raya. “Cuma, tidak banyak yang memiliki dasar bermain bulu tangkis dengan baik. Jadi kami harus membenahi latihan keterampilan dasar, seperti cara memegang raket, teknik memukul, dan melangkah.”

Retno berperan besar. Tak hanya menjadi pelatih, dia juga tak jarang menyediakan diri menjadi sopir untuk mengantar-jemput para pemain. Pada tahun-tahun awal, latihan klub ini sempat terpecah antara Ragunan dan Pondok Indah, Jakarta Selatan. “Dengan kendaraan L-300, saya setir sendiri untuk membawa pemain dari asrama di Ragunan menuju GOR di Pondok Indah. Setelah latihan selesai, saya antar kembali pemain ke asrama di Ragunan,” kata Retno.

Sejumlah piala yang pernah diraih oleh atlet bulu tangkis PB Jaya Raya, dipajang di area Gedung Bulu Tangkis Rudy Hartono, kompleks Olahraga Ragunan, Jakarta, Mei 2016. TEMPO/Nurdiansah

Satu dekade setelah berdiri, Jaya Raya menginisiasi kejuaraan nasional antarklub untuk pertama kalinya. Turnamen ini pun menghubungkan perkumpulan bulu tangkis terbaik se-Pulau Jawa. Pada 1990, Ciputra membangun gedung bulu tangkis dengan empat lapangan di Kompleks Gelora Ragunan, Pasar Minggu. Gedung ini kemudian dinamai Gedung Bulutangkis Rudy Hartono, yang memiliki fasilitas untuk latihan teknik dan fisik, asrama, sekolah, hingga gedung khusus buat latihan pemain anak dan pemula.

Generasi Ragunan telah mencetak sejumlah nama besar badminton Indonesia. Generasi ini juga dikenang sebagai pencetak pemain putri kelas wahid, seperti Imelda Wigoena, Maria Fransisca, dan Verawaty Wiharjo. Lima dari sembilan anggota tim Piala Uber 1994 berasal dari Jaya Raya, yaitu Susy Susanti, Mia Audina, Finarsih, Lili Tampi, dan Rosiana Tendean. Kemudian lahir juga talenta seperti Adriyanti Firdasari, Pia Zebadiah, dan Greysia Polii.

Dari kelompok putra, Jaya Raya juga tak putus menyumbangkan pemain ke pemusatan latihan nasional. Pada 1990-an, kita mendengar nama Tony Gunawan, Candra Wijaya, Rudy Wijaya, dan Ronald Susilo. Dekade berikutnya, klub ini mengirimkan Rendra Wijaya, Hendra Setiawan, Joko Riyadi, dan Markis Kido ke tim nasional. Menurut Hendra, gelar-gelar penting yang ia raih sepanjang kariernya datang karena penggemblengan di Jaya Raya. “Di klub inilah saya mendapatkan pembinaan dasar bagaimana bermain bulu tangkis dengan baik dan benar,” tutur Hendra dalam buku peringatan empat dekade Jaya Raya.

•••

SELAIN mendidik fisik dan teknik bermain bulu tangkis, menurut Imelda Wigoena, PB Jaya Raya berfokus membina mental dan perilaku atlet muda. Ia mengatakan atlet yang bisa menjadi juara adalah yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. “Ikuti aturan, benar-benar punya integritas, disiplin, semangat, jadi mental juara itu berarti dia harus punya pola hidup yang bagus,” ucap Imelda.

Selama empat dekade lebih, Jaya Raya telah mengembangkan sistem pembinaan yang tertata rapi dan memiliki standar terukur. Klub ini menggandeng ahli dalam aspek teknik, fisik, psikologi, gizi, hingga sports science untuk merancang sistem kepelatihan yang ideal dan menyeluruh. Sistem ini diuji coba berulang kali dan terus diperbaiki. Klub tak hanya memperhatikan kemampuan teknis pemain, tapi juga kondisi psikologis, gizi, dan energi mereka. Sistem pembinaan berkesinambungan ini juga dilengkapi dengan metode pengukuran yang obyektif.

Ruang latihan atlet Badminton di PB Jaya Raya, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, 8 September 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Jumlah pelatih, baik untuk teknik maupun fisik, terus ditambah hingga dapat mencapai rasio satu pelatih untuk enam atlet. Tak jarang pemain yang telah gantung raket direkrut sebagai pelatih, seperti Lany Tedjo, Ratih Komaladewi, Adriyanti Firdasari, Erwan Purnomo, dan Wimpie Mahardi. Lany Tedjo salah satu pelatih yang pernah menggembleng Greysia Polii.

Dua-tiga kali dalam setahun, klub mengevaluasi fisik dan teknik para pemain dengan serangkaian tes. Evaluasi teknik, misalnya, dilakukan dengan menguji keakuratan pukulan para atlet. Adapun kemampuan fisik diuji lewat bleep test, yang mengukur kebugaran, ketahanan kardiovaskular, dan penyerapan maksimum oksigen dalam tubuh.

Salah satu aspek penting yang juga menjadi perhatian PB Jaya Raya adalah pendidikan formal untuk para atlet. Tak jarang hal ini terabaikan karena pemain berfokus pada latihan badminton. Klub menyediakan asrama dan sekolah dalam satu kompleks untuk memudahkan para pemain berlatih sambil mengenyam pendidikan formal. Atlet kelompok dewasa diberi pula pilihan untuk berlatih sambil kuliah di Universitas Pembangunan Jaya. Para atlet yang telah meraih gelar sarjana memperoleh kesempatan bekerja di grup Pembangunan Jaya. Fasilitas ini memastikan para atlet tetap mendapat pendidikan memadai dan jaminan masa depan sekalipun nanti tak lagi melanjutkan karier di dunia bulu tangkis.

IRSYAN HASYIM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus